- Warga Waleh, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, punya banyak sumber kehidupan dari kebun maupun hutan sekitar. Mereka punya tanaman-tanaman andalan seperti pala, cengkih sampai kelapa. Bahkan, hutan dan lahan sekitar menyediakan tanaman sagu yang bisa mereka olah dan jual sebagai pendapatan keluarga.
- Perusahaan-perusahaan tambang beroperasi di Weda Utara, salah satu PT BPN, yang nambang di hulu Sungai Waleh. Dampaknya, air sungai dari hulu ke hilir tercemar limpahan tanah tambang (ore nikel) dan air berubah menjadi kemerah-merahan. Warga pun jadi kesulitan gunakan air sungai yang biasa jadi sumber air bersih sehari-hari termasuk untuk proses pengolahan sagu.
- Di desa sekitar tambang, PT BPN masuk memang melakukan kesepakatan dengan warga. Setiap pemuatan atau satu kali pengapalan ore nikel, desa mendapatkan Rp100 juta fee untuk desa. Meskipun begitu, untuk urusan pencemaran air belum tampak upaya dari perusahaan maupun pemerintah.
- Anhar Safar, Sekretaris Desa Waleh mendesak, pemerintah dan perusahaan segera memperbaiki kondisi ini termasuk memikirkan penyediaan air bersih untuk warga terutama di Wale.
Jasmani Robo, warga Waleh, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, baru saja pulang dari kebun yang tak jauh dari kampung, sore itu. Tiba di rumah, langsung melepas saloi. Saloi ini keranjang biasa digunakan perempuan Halmahera untuk bawa hasil kebun. Ada pala yang sudah terpisah biji dan fulinya, jambu sampai pisang.
Satu-satu dia turunkan isi saloi. Pala dan fuli Jasmani pisahkan buat jemur esok hari. Biji dan fuli pala ini jadi sumber pendapatan utama warga Waleh selain kelapa, cengkih dan sagu. Sagu biasa mereka bikin tepung, lalu jual per karung atau bentuk lempengan.
Pala, sagu dan kelapa, adalah tanaman utama yang biasa ada di lahan warga. Tak heran, setiap warga yang pulang dari kebun akan membawa hasil- hasil pangan ini.
Jasmani dan suami sebenarnya memiliki pekerjaan utama yakni mengolah sagu. Dari sagu mereka bisa mendapatkan uang lebih cepat ketimbang pekerjaan lain semisal bekerja di perusahaan tambang yang memerlukan tenaga ekstra dengan waktu kerja sangat ketat.
Mereka hidup dari kebun dan mengolah sagu, di tengah warga lain yang ramai-ramai bekerja di perusahaan tambang yang tak jauh dari wilayah ini.
“Hampir semua orang di kampung ini dan Weda sibuk bekerja di tambang. Torang usaha ini sudah, karena sagu banyak dan mudah menghasilkan uang,” katanya baru baru ini di Waleh.
Di dapur Jasmani terlihat dua karung tepung sagu baru diolah dua hari lalu.
“Saya dan suami mengolah sagu untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Satu karung harga Rp100.000. Sehari dari pokok sagu yang diolah bisa hasilkan tiga karung kecil, jika langsung dijual bisa dapat uang Rp300.000,” katanya. Dalam tiga hari olah sagu, mereka hasilkan sekitar Rp1 juta.
Baca juga: Orang Tobela Dalam Khawatir Perusahaan Tambang Rusak Hutan Ake Jira
Karena mudah mendapatkan uang dari usaha ini, bagi dia berkebun dan mengolah sagu itu memberi harapan lebih dalam mengisi hidup sehari-hari.
“Lebih baik saya olah sagu satu hari sudah Rp300.000 juga sudah ada makanan,” katanya.
Bahkan dari sagu yang mereka olah meski belum selesai sudah ada yang datang menawar atau membayarnya.
“Sagu-sagu ini baru dijual di kampung sendiri saja sudah laku. Sagu sangat laku.” Hari itu dia tak olah sagu karena sedang panen pala.
Kalau olah sagu, mereka kerjakan tak seperti bekerja di perusahaan tambang dengan waktu begitu panjang. Pagi, ke kebun menebang batang sagu, dipotong pendek-pendek lalu giling dengan mesin parut kelapa. Oro atau bungkil dari sagu yang digiling bawa ke tempat peremasan di pinggir sungai atau sumur di kampung. Usai diremas sudah bisa menghasilkan bahan makanan dari sagu.
“Tidak perlu menunggu lama selain bisa dijual juga sudah jadi bahan makanan yang bisa diolah jadi makanan seperti sinyole atau popeda.”
Usaha sagu di kampung ini sebenarnya tidak hanya Jasmani dan suami. Di Waleh ini, ada puluhan orang mengolah sagu. “Hutan banyak, sagu jadi yang penting mau, dengan mudah bisa diolah untuk jual.” Terlebih, katanya, di desa ini banyak kebun sagu warisan orang tua secara turun temurun.
“Di hutan hutan tepi Sungai Waleh sagu cukup banyak. Di daerah Sil (nama kawasan di desa) banyak sagu dan itu bisa diolah bertahun tahun,” katanya.
Mereka juga bisa olah kelapa jadi kopra dengan perlu waktu lebih lama dari olah sagu. Olah sagu, katanya, paling lama tiga hari sudah dapat uang jutaan. Kalau kelapa, katanya, harus ba-paras (pembersihan lahan pohon kelapa), panen, belah kelapa sampai bafufu (pengasapan) baru jual.
Baca juga: Kerukan Tambang, Sungai Tercemar dan Protes Warga Trans Waleh
Air tercemar
Saat Mongabay mendatangi rumah Jasmani, di belakang dapur terlihat perahu dilengkapi alat peremasan untuk meremas oro menjadi tepung sagu. Biasa proses pemerasan ini mereka lakukan di sekitar kebun di Sungai Waleh.
Dalam setahun ini, Jasmani dan warga lain alami kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka yang biasa mengolah oro atau bungkil sagu jadi tepung di tepi Sungai Waleh, terpaksa berpindah ke kampung. Air Sungai Waleh tidak bisa lagi mereka gunakan lagi.
Sungai Waleh keruh, kuning kemerah-merahan, tak jernih seperti sebelumnya.
Pantauan Mongabay di muara Sungai Waleh air sangat keruh bahkan masuk sampai ke laut di sekitar Desa Waleh.
Kejadian ini diduga kuat karena air sungai terkontaminasi material kerukan perusahaan tambang nikel yang beroperasi di hulu Sungai Waleh.
Anhar Safar, Sekretaris Desa Waleh mengatakan , warga terpaksa tak bisa memanfaatkan air Sungai Waleh lagi karena sudah tidak bisa digunakan.
“Terpaksa harus mereka bawa ke rumah. Ini kondisi yang kami alami. Jelas menyusahkan.”
Dia berharap kondisi ini bisa segera pulih dan masyarakat sudah bisa kembali memanfaatkan sungai itu.
Anhar bilang , kepadatan sagu yang menghiasi sepanjang bantaran Sungai Waleh menjadi modal masyarakat membangun sumber pangan turun temurun. Proses olah sagu ini, katanya, sangat bergantung air sungai. Bahkan, air sungai ini tak hanya untuk mengolah sagu juga sumber protein mereka yakni kerang maupun ikan.
Sayangnya, ikan dan kerang-kerangan di sungai juga tak berani mereka konsumsi setelah air berubah keruh. Kalau musim hujan lebih parah lagi, warna air oranye atau kemerah-merahan itu jauh ke laut. Bahkan ketika terkena jaring nelayan di laut Desa Waleh, warna jaring menjadi seperti tanah merah.
“Nanti, kalau pas banjir lalu lihat jaring milik nelayan warna merah seperti tanah merah yang dikeruk perusahaan tambang nikel,” kata Jasmani.
Tak hanya warga tempatan yang hidup sejak lahir di Waleh alami ini. Warga transmigrasi, kebanyakan dari Jawa Barat dan beberapa daerah lain juga menghadapi hal sama. Mereka sampai saat ini tidak lagi memanfaatkan air sungai untuk konsumsi.
Alaudin Kasim, warga Trans Waleh bilang, sempat protes ke perusahaan. DPRD Halmahera Tengah juga turun ke trans Waleh mengecek langsung kondisi sungai ini.
Saat ini, warga tak lagi memanfaatkan air sungai untuk konsumsi tetapi pakai sumur pompa. Padahal, selama ini warga transmigrasi Waleh memanfaatkan air sungai untuk makan minum maupun mandi.
“Kami sudah tak bisa lagi gunakan air sungai ini,” katanya.
Di hulu sungai, ada perusahaan beroperasi bernama PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN).
Sebelum ada perusahaan beroperasi, kata Anhar, tidak pernah air sungai mengalami kekeruhan kecuali di musim hujan dan banjir. Itupun, katanya, hanya keruh sesaat, usai banjir akan kembali bersih. Saat ini, meski tanpa hujan warna air tetap keruh.
Sebelum ini, warga trans minum dari air Sungai Waleh, tetapi kini untuk mandi saja berasa gatal. Kejadian ini, katanya, mulai akhir 2019.
Sampai saat ini, kata Anhar, tanggung jawab perusahaan terhadap pencemaran air belum ada. “Hal ini yang sebenarnya mereka harus atasi.”
***
Menurut Anhar, perusahaan ini sebelum eksploitasi tambang membuat kesepakatan dengan warga. Setiap pemuatan atau satu kali pengapalan ore nikel, desa mendapatkan Rp100 juta fee untuk desa. Untuk fee ini ada dua desa yang mendapatkan yakni Waleh dengan Fritu. Desa Waleh telah menerima fee desa sekitar Rp500 juta karena sudah lima kali pengapalan.
Saat ini, perusahaan setop operasi sementara. Pantauan lapangan, ore nikel sudah beberapa bulan ini menumpuk di tepi pantai tak jauh dari Desa Waleh. Di pintu masuk tempat penampungan, misal terlihat hanya dua petugas keamanan setiap hari berjaga. Ada beberapa mobil dan alat berat parkir.
Anhar bilang, karena daerah hulu sudah digusur, atau sekitar 10 kilometer dari kampung sudah ditambang, meski perusahaan berhenti air tetap keruh. Sejak kejadian ini, pemerintah sudah turun mengecek tetapi kondisi air tetap begitu saja.
Persoalan ini, katanya, akan sangat sulit teratasi karena penambangan di hulu sungai. Ketika turun hujan, kawasan yang kena tambang tergerus hujan dan masuk ke sungai.
”Yang digusur untuk tambang itu di atas hulu Sungai Liguna. Sungai Liguna ini air dialirkan ke Sungai Waleh. Akhirnya tetap tercemari material tambang.”
Dia mendesak perusahaan dan pemerintah segera memperbaiki kondisi ini termasuk memikirkan penyediaan air bersih untuk warga terutama di Waleh.
Said Thamin, Jurubicara PT BPN mengatakan, tidak mungkin menutupi masalah ini. Kasus ini, katanya, ada di depan mata dan diketahui umum. Untuk itu, ada berbagai langkah telah diambil perusahaan berdasarkan rekomendasi pemerintah terutama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral maupun Badan Lingkungan Hidup. Antara lain, katanya, perbaikan sedimen pond atau kolam endap. Ini kolam yang dirancang untuk mengendapkan bahan-bahan padat dari air buangan tambang. Air sungai tercemar tanah dan bahan padat lain.
BPN, katanya tidak mau membiarkan masalah ini berlarut. Prinsipnya, perusahaan mau melakukan perbaikan. “Kami tidak abaikan. Soal ini tidak bisa disembunyikan. Jelas karena masyarakat mendapatkan langsung manfaat dan dampak dari tambang ini.”
Sebenarnya, kata Said, kasus lingkungan ini tidak hanya terjadi di BPN tetapi merata dilakukan perusahaan tambang yang beroperasi di Halteng. “Kalau mau jujur sebenarnya ada juga perusahaan lain yang beroperasi di Weda Tengah dan Weda Utara.”
Dia bilang, tambang ini apapun aktivitasnya tetap ada dampak tetapi tidak semata-mata kesalahan semua ditimpakan kepada BPN juga perusahaan lain yang beroperasi di kawasan ini yang melakukan hal sama.
“Jadi harus fair melihat masalah pencemaran ini. Saya katakan ini bukan menutupi kasus di Waleh tetapi ini nyata di depan mata, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah ini sebenarnya juga melakukan hal sama. Karena itu harus fair.”
Dari tulisan Mongabay sebelumnya, mengutip laporan Korsup Minerba KPK, ada sekitar 66 izin usaha pertambangan sedang ‘mengepung’ daratan Halteng. Izin operasi seluruh perusahan ini sekitar 142,964,79 hektar, dan diperkirakan terus bertambah.
Luas daratan Halteng 227.683 hektar, 62% area IUP tambang. Saat ini, perusahaan pemegang izin yang sudah dan tengah bersiap operasi antara lain, PT Takindo Energi, PT Weda Bay Nickel (WBN), PT First Pasific Mining, PT Zong Hai, dan PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN). Proyek pembangunan smelter dan PLTU pun sedang dilakukan PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP).
Berdasarkan analisis data dari Forest Watch Indonesia (FWI) total deforestasi Halteng periode 2000-2017 mencapai 48.388 hektar.
Lokasi deforestasi ini tersebar di beberapa titik seperti area tambang 16.232 hektar, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) seluas 3.510 hektar, dan lahan tumpah tindih 8.723 hektar. Tertinggi deforestasi terjadi di lahan di luar izin 19.923 hektar. Adapun luas hutan produksi dapat dikonversi 27.280 hektar.
Untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Ake Waleh Halteng, luas 19.622 hektar, selama periode 2000-2017, deforestasi terjadi di area 4.540 hektar.