Mongabay.co.id

KKP : Capaian Semester 1 Catatkan PNBP 111 persen, Tetapi Nelayan Masih ada yang Merana

 

Capaian semester pertama tahun 2022 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatatkan hasil yang cukup baik, yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan tumbuh sebesar 111,8 persen, tertinggi di antara komoditas non-mineral dan batubara lainnya.

“Ini adalah kenaikan tertinggi PNBP di luar minerba yang besarannya mencapai 111,8 persen yang berasal dari laju PNBP perikanan tangkap,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP Muhammad Zaini dalam konferensi pers Capaian Kinerja KKP Semester I-2022 yang berlangsung secara hybrid dari Media Center KKP, Jakarta Pusat, Kamis (28/7/2022).

PNBP perikanan tangkap per hari ini sudah diangka Rp.731,18 miliar. Angka tersebut melonjak drastis bahkan hampir mendekati capaian sepanjang tahun 2021 sebesar Rp.784 miliar.

Pada semester 1 ini, capaian produksi perikanan mencapai 3,92 juta ton dari angka target 8,3 juta ton, PNBP mencapai Rp731,18 miliar dari target Rp1,675 triliun dan nilai tukar nelayan (NTN) yaitu sebesar 107,46 dari target 106.

NTN merupakan alat ukur perkembangan kesejahteraan yang diperoleh dari perbandingan antara indeks harga yang diterima dengan indeks harga yang dibayar dibandingkan tahun dasarnya (2018).

“Ini sudah cukup luar biasa pencapaiannya. Meskipun di bulan Juni mengalami penurunan, yaitu sebesar 106,96,” jelas Zaini.

baca : Catatan Akhir Tahun : Era Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap Dimulai pada 2022

 

Dari kiri : Dirjen Perikanan Budidaya TB Haeru Rahayu, Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto, Artati Widiarti Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Dirjen Perikanan Tangkap Muhammad Zaini dalam konferensi pers Capaian Kinerja KKP Semester I 2022 yang berlangsung secara hybrid dari Media Center KKP, Jakarta Pusat, Kamis (28/7/2022). Foto : KKP

 

Lebih lanjut, ia juga menyampaikan realisasi penyerapan anggaran menjadi 50,77 persen, tetapi yakin bisa sampai 99,50 persen pada akhir tahun nanti. “Kita harapkan bisa capai 99 persen. Bukan semata-mata kita mementingkan penyerapan anggaran, tetapi sejauh mana bisa tingkatkan kinerja dan manfaat bagi nelayan sehingga ini harus diperhatikan,” jelas Zaini.

Ia merasa optimis capaian PNBP perikanan tangkap sampai akhir tahun nanti bisa mencapai target Rp.1,67 triliun. Peningkatan ini menurutnya seiring perbaikan regulasi, kemudahan mengurus perizinan, serta aksi jemput bola pengurusan perizinan yang dilakukan oleh pihaknya di beberapa tempat.

Abdi Suhufan, koordinator nasional Destructive Fishing Watch, mengapresiasi kenaikan PNBP tetapi mengatakan bahwa hal tersebut mesti diikuti oleh pemanfaatan untuk kegiatan produktif secara efisien, efektif dan transparan. “Kenaikan PNBP mesti dikembalikan untuk membiayai kegiatan perikanan dan bermanfaat bagi nelayan kecil dan pelaku usaha,” jelasnya.

Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, mengatakan bahwa salah satu sasaran program DJPT adalah kesejahteraan nelayan meningkat tetapi realita yang terjadi adalah masifnya perampasan ruang tangkap nelayan untuk kepentingan berbagai industri.

Ia mencontohkan wilayah perairan tangkap di Desa Sukarela Jaya di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang dialihfungsikan menjadi terminal khusus perusahaan tambang nikel, padahal secara ruang hal itu bertentangan dengan peraturan yang ada.

Contoh lainnya adalah aktivitas kapal cantrang yang masih intens terjadi di perairan Kepulauan Masalembu, Madura, sehingga meresahkan dan menyebabkan kerugian bagi nelayan lokal, baik dari sisi jumlah ikan yang semakin sedikit mereka dapat dan rusak bahkan hilangnya rumpon nelayan lokal yang diakibatkan oleh nelayan cantrang.

“Bagaimana nelayan semakin sejahtera jika alat produksi dan ruang tangkapnya diganggu bahkan dirusak oleh industri lainnya? Sedangkan tindakan KKP atas dua contoh kasus tersebut masih tidak ada tindakan nyata untuk melindungi nelayan tangkap,” tandasnya.

perlu dibaca : Kapal Cantrang Asal Luar Madura Kembali Resahkan Nelayan Masalembu

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Investasi yang meningkat

Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil melaporkan realisasi investasi semester 1-2022 diperkirakan mencapai Rp4,04 triliun atau meningkat 36,29% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.

“Di triwulan I, realisasinya Rp2,34 triliun naik 59,28 persen dibanding periode serupa tahun lalu. Kalau semester I 2022 ini diperkirakan akan mencapai Rp4,04 triliun atau naik 36 persen lebih. Angka pastinya baru akan keluar akhir bulan ini,” ungkap Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP, Artati Widiarti pada kesempatan yang sama.

Sumber investasi terbesar adalah kredit investasi sebesar Rp1,3 triliun, penanaman modal asing (PMA) Rp0,52 triliun, dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp0,49 triliun. Sedangkan bidang usaha yang paling mendominasi investasi adalah pengolahan hasil perikanan disusul perdagangan, budi daya, penangkapan, dan jasa perikanan.

Artati menambahkan, lima daerah di Indonesia dengan geliat investasi kelautan dan perikanan cukup tinggi adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara. “Untuk PMA, investasi terbesar datang dari Singapura, Belanda, Tiongkok, India dan Jepang. Belanda dan Singapura itu nilainya Rp0.16 triliun,” papar Artati.

Namun, Susan mengatakan bahwa realisasi di lapangan bahwa investasi tersebut belum dinikmati oleh pembudidaya ikan di tingkat tapak. “Apakah investasi tersebut untuk pembudidaya skala besar, ataukah siapa target jelasnya? Nelayan dan pembudidaya dampingan kami masih dengan kondisi yang sama yaitu memperjuangkan ruang hidupnya agar tidak dirampas dengan motif ‘relokasi’ seperti yang dialami oleh nelayan tangkap dan nelayan pembudidaya di muara angke. Nelayan di Masalembu, Jawa Timur, masih terus berjuang agar kapal besar/modern tidak masuk dan beraktivitas di wilayah perairan tradisional mereka. Jadi, investasi seperti apa yang dimaksud oleh KKP, apakah investasi tersebut sesuai mandat dari nelayan tradisional atau sesuai kebutuhan nelayan tradisional?” tukasnya.

baca juga : Ada Aksi Korporasi dalam Regulasi Kelautan dan Perikanan

 

Suasana bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Lebih lanjut, Artati menyatakan bahwa kinerja ekspor produk kelautan dan perikanan juga mencatatkan hasil positif. Surplus neraca perdagangan Indonesia naik 15,89% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya dengan nilai sebesar US$2,74 miliar atau Rp40,59 triliun.

Nilai ekspor Indonesia mencapai Rp7,86 triliun naik dari bulan sebelumnya dan masih net-fish exporter. Total nilai ekspor Indonesia di semester pertama 2022 mencapai USD3,06 miliar atau Rp45,36 triliun, naik 18,18% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara nilai impor semester I hanya US$321,82 juta atau 10,52% dari nilai ekspor.

Udang, tuna, tongkol, cakalang (TTC), cumi – sotong – gurita, dan rumput laut menjadi komoditas ekspor utama Indonesia. “Pasar tujuan kita yang pertama itu Amerika Serikat, kemudian Tiongkok, Asean, Jepang, dan Eropa,” terang Artati.

Abdi Suhufan dari DFW menyatakan bahwa meskipun nilai investasi naik, tetapi belum tersebar merata, terutama di wilayah timur Indonesia yang merupakan sentra penangkapan ikan. “Artinya, konsentrasi industri perikanan masih akan terpusat di Jawa dan Indonesia barat,” jelasnya. “KKP belum dapat menarik investasi pada sentra perikanan di Papua, Maluku dan Maluku Utara, yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah.”

Susan pun mempertanyakan soal investasi yang berbasis utang tersebut. “Siapa yang nantinya akan dibebankan untuk melakukan pembayaran utang tersebut? Apakah yang dikorbankan adalah pembudidaya ikan/udang atau komoditas lainnya dengan menaikkan pajak kepada mereka?” jelasnya.

baca juga : Ironis, Nelayan Natuna Terusir di Laut Sendiri karena Kapal Asing

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Persoalan BBM

Data perizinan tangkap menunjukkan jumlah surat izin usaha perikanan (SIUP) yang diterbitkan mencapai 4.659 dokumen. Sementara, perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan mencapai 5.711 dokumen dan subsektor pengangkutan ikan sebanyak 497 dokumen.

Muhammad Zaini mengatakan bahwa penerbitan perizinan masih tidak terlalu berbeda. “Orang masih antusias untuk urus izin kapal-kapal penangkap ikan. Tetapi, dari segi penangkapannya, dari 8.000 sudah menjadi 18.000 untuk BBM. Jadi hanya tinggal 50% di periode yang sama di tahun 2021, ada penurunan,” tandasnya.

Ia menyatakan banyak kapal yang sudah punya izin tetapi tidak lakukan penangkapan ikan. “Kalau dipaksakan, akan terjadi kerugian. Satu kapal ukuran 60 GT berlayar satu tahun hanya (keluarkan biaya) Rp.2 miliar dengan 4 kali melaut, sekarang bisa capai Rp.5 miliar. Kalau setahun kapal di bawah 100 GT harus keluarkan biaya Rp.5 miliar, maka ia tidak akan dapatkan untung, bahkan potensi rugi sangat besar,” lanjutnya.

Ia memprediksikan bulan Agustus akan lebih parah sehingga kemungkinan produksi di bulan ini akan menurun. “(KKP) bersama-sama dengan KSP (Kantor Staf Presiden), dengan Pak Moeldoko, beliau ingin memperjuangkan, skema harga (BBM) khusus 2 kali PSO yaitu Rp 10.000,” jelasnya.

Sedangkan Abdi Suhufan juga menyatakan bahwa ini adalah masalah yang menyebabkan terhambatnya kegiatan penangkapan ikan. “Masalah ini akan berdampak langsung pada target dan nilai produksi dan ekspor, termasuk pemenuhan konsumsi ikan nasional,” jelasnya.

 

Exit mobile version