Mongabay.co.id

Polemik Cantrang : Akurasi Data Jadi Modal Utama Perikanan Terukur (6)

 

Skema perikanan terukur tengah digagas pemerintah untuk mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Kendati payung hukum kebijakan itu telah disusun, rencana yang digagas sejak lama itu masih menyisakan sejumlah persoalan.

Peneliti senior dari Fisheries Resource Center Indonesia (FCRI) Irfan Yulianto menilai, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terlalu buru-buru melempar wacana soal kebijakan perikanan terukur. Akibatnya, berbagai polemik terus mengiringi semenjak diluncurkan.

“Dari sisi gagasan, ini memang cukup idealis untuk mewujudkan perikanan yang lestari. Tetapi, saya melihat KKP terlalu buru-buru melempar wacana ini keluar sehingga memicu banyak polemik,” kata Irfan, Selasa (18/7/2022).

Menurutnya, satu hal yang harus benar-benar disiapkan oleh pemerintah adalah data. Ketersediaan data yang akurat sangat penting guna memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Koordinator Nasional Destructif Fishing Watch (DFW) Mohammad Abdi Suhufan sepakat dengan itu. Menurutnya, selama ini, pemerintah cukup lemah dalam menyediaan data perikanan. “Beberapa hal pemerintah memang menyediakannya. Tetapi, bagaimana metodologinya sehingga muncul data itu masih perlu dipertanyakan,” terang Abdi.

Sebagai contoh adalah data tentang stok sumber daya ikan (SDI) yang oleh KKP disebutkan mencapai 12,9 juta ton. Menurut Abdi, ada banyak pertanyaan terkait dengan munculnya data stok tersebut. Bagaimana proses mendapatkan data itu, seperti apa proses sensusnya, bagaimana validitasnya adalah beberapa diantaranya.

“Apakah data itu cukup representatif secara kewilayahan dan sebagainya, kapan data itu dikoleksi? Karena bagaimana metode sensus stok ikan itu didapat masih jadi perdebatan sampai sekarang? Sensus yang di darat saja kadang sering bermasalah, apalagi ini di bawah air,” terang Abdi.

baca : Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1)

 

Nelayan membongkar muatan hasil tangkapan ikan di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dikatakan Abdi, akurasi data stok itu menjadi sangat penting lantaran dalam waktu yang sama, pemerintah juga menyampaikan tingkat eksploitasi SDI ini yang ‘hanya’ 6 juta ton. Pihaknya pun mempertanyakan data ini. Sebab, selisih antara jumlah stok dan tangkapan meninggalkan gap yang cukup besar. Adanya gap yang cukup besar itu pula menjadi dasar pemerintah terus berupaya melakukan eksploitasi besar-besaran meski dikemas dalam skema ‘perikanan terukur’.

Abdi memberikan gambaran terkait situasi dan kondisi perikanan di Indonesia. Menurutnya, karakter perikanan di Indonesia jauh berbeda dengan negara lain. Terutama dari sisi keragaman jenis (diversity). Kendati memiliki banyak ragam, tetapi dari sisi jumlah, sangat sedikit.

Soal data jumlah kapal juga menjadi persoalan yang tak kalah pelik. Menurut Abdi, antara Kementerian Perhubungan dan KKP memiliki data berbeda terkait jumlah kapal perikanan.

 

KKP-Kemenhub Beda Data

Penuturan Abdi ada benarnya. Berdasar penelusuran Mongabay Indonesia, data jumlah kapal kedua lembaga negara itu sangat kontras. Bahkan, selisih jumlah kapal antara kedua kementerian ini mencapai ratusan ribu.

Berdasar laporan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan misalnya, hingga Juli 2022 lalu, jumlah kapal perikanan yang tercatat hanya sebanyak 50.094 unit dengan jumlah gross tonnage total mencapai 2.503.964.

Secara rinci, puluhan ribu kapal itu terbagi ke beberapa kelompok. Yakni, range 7-29 GT sebanyak 27.167 unit (total 527.454 GT); kemudian 30-99 GT sebanyak 17.175 unit (893.454 total GT); lalu 100-299 GT sebanyak 5.250 unit (total 818.097 GT) dan lebih dari 300 GT sebanyak 502 unit dengan total 264.959 GT.

Jumlah itu jauh lebih sedikit dari jumlah kapal yang terpublikasi pada portal data statistik milik KKP. Dimana, pada laman tersebut, total jumlah kapal perikanan mencapai 572 ribu unit. Sepuluh kali lipat lebih banyak dari data yang dirilis Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub.

baca juga : Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)

 

 

Pun demikian dengan data kapal di atas 30 GT, yang proses perizinannya menjadi otoritas KKP. Versi Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub, data jumlah kapal di atas 30 GT tercatat mencapai 22.927. Angka itu jauh lebih banyak dibanding jumlah SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) yang dikeluarkan KKP. Dimana, hingga 20 Juli lalu, jumlah SIPI yang diterbitkan KKP hanya 6.192 izin dengan jumlah GT mencapai 608.267.

Sebagai catatan, selama ini, otoritas pemberi izin kapal terbagi menjadi dua pihak. Kapal dengan ukuran sampai 30 GT menjadi kewenangan provinsi untuk melakukan pendataan. Dan di atas 30 GT, menjadi kewenangan pusat (KKP) untuk menerbitkan izin.

Sekretaris Asosiasi Nelayan Dampo Awang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Lestari Priyono sepakat bahwa data berperan penting sebagai dasar pemerintah dalam mengambil kebijakan. Sebab, tidak adanya data yang jelas justru akan menimbulkan kekacauan di lapangan.

Langkah KKP yang tiba-tiba menutup perizinan kapal pada Januari 2022 lalu, tanpa mempertimbangan jumlah kapal yang ada adalah contohnya. Imbasnya, kebijakan itu memicu gejolak di kalangan nelayan.

“Bagaimana tidak terjadi gejolak, wong misalkan kapal di Rembang ini ada 1.200 kapal, KKP tiba-tiba menutup izin. Yang 500 kapal dikasih izin, sisanya ditutup. Lha terus nasib mereka bagaimana? Kami yang di bawah ini jadi bingung. Mbok ya pemerintah berpikir itu,” ungkap Lestari Priyono yang akrab dipanggil Riook. Tak pelak, kebijakan itu menuai protes dari berbagai kelompok nelayan di sepanjang Pantura Jawa.

Memang, pada akhirnya pemerintah kembali membuka kembali pengurusan dokumen kapal. Namun, bagi Riook, kesemrawutan yang terjadi sebelumnya itu cukup membuktikan bahwa kebijakan yang diambil tanpa persiapan matang. Belum lagi kecakapan serta jumlah SDM yang terbatas, menjadi persoalan tersendiri.

baca juga : Polemik Cantrang: Nelayan Pantura Enggan Berganti Alat Tangkap (3)

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Selain data jumlah kapal, data hasil tangkapan juga memunculkan persoalan yang tak kalah pelik. Abdi bilang, salah satu upaya memerangi IUUF (ilegal, unregulation, unreporting fishing) adalah dengan mengimplementasikan pendataan hasil tangkapan. Karena dari sana, berapa tingkat eksploitasi SDI (sumber daya ikan) akan diketahui. Masalahnya, kegiatan pendataan tak berjalan maksimal.

Dikatakan, penerapan pendataan melalui sistem elektronik (E-logbook) seperti yang berjalan saat ini sejatinya cukup ideal. Pada saat kegiatan penangkapan ikan berlangsung, nelayan diminta mengisi E-Logbook untuk menyampaikan jenis dan jumlah tangkapan kala itu juga. Untuk melapisinya, nelayan kembali diminta melaporkan data hasil tangkapan setelah melewati timbangan di lokasi pendaratan.

Namun, yang terjadi tidak demikian. Pelaporan data tangkapan hanya berdasar rekapitulasi tangkapan di atas kapal, yang itu berarti hanya berdasar perkiraan. Sebab, kenyataan di lapangan, sebagian besar kapal yang mendarat tak melaporkan ulang jumlah tangkapannya setelah ditimbang.

Riset yang dilakukan DFW beberapa waktu lalu justru mendapati para nakhoda melakukan praktik curang terkait pelaporan hasil tangkapan ini. Misalnya dengan membuat laporan under-reported alias membuat laporan palsu. Jumlah yang dilaporkan jauh lebih rendah dari jumlah tangkapan sebenarnya.

Bahkan, dalam satu kapal itu bisa banyak versi laporan. Misalnya, laporan hasil tangkapan yang akan diserahkan kepada pemilik kapal, laporan internal sesama kru dan laporan kepada KKP. “Dan masing-masing laporan itu bisa beda-beda,” seloroh Abdi.

Penelusuran Mongabay Indonesia di beberapa sentra nelayan Pantura Jawa mengonfirmasi penuturan Abdi. Kegiatan pendataan hasil tangkapan, seperti di Lamongan, Rembang, Pati, hingga Tegal, sejauh yang teramati tidak berjalan ketat. Bahkan nyaris tidak ada.

Alih-alih merekap ulang hasil timbangan dan melaporkannya otoritas terkait, sebagian ikan yang didaratkan langsung pindah tangan ke para pengepul. Tidak ada petugas yang mendata dan menghitung total jenis tangkapan berikut volumenya.

baca juga : Polemik Cantrang Pantura: Dinilai Merusak, Bagaimana dengan JTB? (4)

 

Suasana di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tarmolan, salah satu pemilik kapal cantrang asal Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur mengakui hal itu. Menurutnya, pendataan hasil tangkapan yang berjalan selama ini berjalan sekadarnya. “E-Logbook ya dikira-kira saja,” katanya. Kendala lainnya, adalah gangguan signal karena sistem ini mengandalkan konektivitas jaringan internet. Sementara di atas laut, stabilitas internet kerap terganggu.

Di Jawa Tengah, produksi perikanan tangkap mengalami penurunan signifikan dalam setahun terakhir menurun signifikan dibanding lima tahun sebelumnya. Catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat pada 2021 lalu, produksi perikanan tangkap ‘hanya’ 352.939 ton. Jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 503.938 ton.

Betapa data menjadi hal yang penting setidaknya juga bisa terlihat dari kacaunya penyusunan pengalokasikan kapal sebagai bagian dari implementasi perikanan terukur. Pada Juni lalu, sebagaimana data yang dipublikasikan Direktorat Perizinan dan Kenelayanan KKP, alokasi kapal penangkapan ikan adalah sebanyak 10.494 unit dengan jumlah total GT mencapai 1.278.410.

Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari total alokasi kapal dan GT di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang tersebar di 11 lokasi. Namun, sekitar sebulan kemudian, KKP mengkoreksi jumlahnya menjadi 10.639 unit kapal dengan total GT mencapai 1.294.150. Jumlah alokasi tersebut bertambah kemungkinan karena ada kapal yang habis SIPI-nya.

Perlu dicermati pula, data alokasi kapal itu juga tidak sinkron dengan total alokasi kapal dari masing-masing WPPNRI. Sebab, saat data alokasi kapal di masing-masing WPPN-RI itu dijumlahkan, angkanya jauh lebih banyak dari total yang dialokasikan. Yakni, 11.486 kapal. Dengan kata lain, total jumlah kapal yang dialokasikan di seluruh WPPNRI, jauh lebih banyak dibanding alokasi nasional dengan selisih 847 unit kapal.

baca juga : Polemik Cantrang Pantura : Nelayan Sepakat soal Kebijakan Perikanan Terukur, Tapi… (5)

 

 

Abdi mengemukakan, selain akurasi data, pengawasan yang ketat juga tak kalah penting guna memastikan perikanan terukur berjalan maksimal. Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan pemerintah meningkatkan pengawasan di tengah keterbatasan sumber daya manusia (SDM)?.

Abdi bilang, secara nasional, total ada sekitar 526 pelabuhan yang berfungsi sebagai lokasi pendaratan ikan. Akan tetapi, dari jumlah tersebut, hanya ada sebagian yang ditunjuk dan mendapat SK dari KKP sebagai lokasi pelabuhan atau pendaratan ikan.

Kenyataannya, tidak sedikit kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di luar pelabuhan dimaksud. Seperti pelabuhan umum, pelabuhan swasta atau yang lain dengan berbagai alasan. Akibatnya, berapa data tangkapan ikan yang didaratkan tidak terlapor.

Karena itu, untuk menyiasati keterbatasan SDM, Abdi pun menyarankan KKP memperkuat keterlibatan pemerintah daerah, provinsi atau kabupaten. Selain sebagai bentuk desentralisasi, juga membantu meningkatkan pengawasan.

“Karena kan kita jarang sekali mendengar provinsi berbicara soal tata kelola, perluasan wilayah konservasi, karena semua seperti dimonopoli Jakarta, jadi biar ada pembagian tugas,” terang Abdi. Apalagi, dari sisi anggaran, provinsi juga sangat rendah. Hanya 3-6 persen dari total anggaran yang ada.

baca : Mencari Solusi Cantrang

 

Hasil tangkapan ikan Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Legalisasi Kapal Asing

Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menyambut baik inisiatif KKP untuk membangun sektor perikanan dan kelautan secara berkelanjutan. Akan tetapi, gagasan yang dibangun melalui konsep perikanan terukur itu justru sarat masalah. Bahkan, cenderung keluar dari substansi persoalan.

Salah satunya, kata Parid, soal data. Terutama data stok dan juga tangkapan, yang dari proses serta metodologinya diragukan. Padahal, menurut Parid, data yang akurat menjadi modal penting untuk menentukan kebijakan sektor perikanan ke depan.

Parid yang juga aktif di organisasi Muhammadiyah ini sepakat bahwa sektor perikanan tangkap banyak menghadapi tekanan karena over exploited. “Maka, seharusnya yang dilakukan adalah membangun kebijakan pemulihan stok semua kelompok jenis ikan di seluruh WPP,” katanya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Melalui konsep perikanan terukur, pemerintah membuat skema kontrak bagi pelaku industri berskala besar. Tak terkecuali bagi kapal-kapal asing. Parid menilai, langkah pemerintah yang membuka peluang masuknya kapal asing justru kontraproduktif dengan kebijakan yang berlangsung belakangan ini.

“Dan pasti itu akan merugikan nelayan lokal karena mereka dipaksa bersaing dengan kapal-kapal asing. Percuma dong, selama ini kita berusaha keras untuk memerangi kapal asing yang masuk, ini malah mau dikasih ruang,” terang Parid.

Secara tidak langsung, Parid menilai, skema perikanan terukur yang ada saat ini tak ubahnya upaya pemerintah untuk memberi karpet merah kepada pemodal besar untuk mengeksploitasi sumber daya ikan sebesar-besarnya. Dengan kata lain, bentuk lain dari liberalisasi sumber daya ikan yang ujungnya meminggirkan nelayan lokal.

“Ini seperti pemberian konsesi tambang di darat yang coba diterapkan di laut,” jelas Parid.

baca juga : Dialog Dengan Jokowi, Nelayan Curhat Ketidakstabilan Harga Ikan dan Isu Cantrang

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Persoalan lain yang tak luput dari sorotannya adalah terkait dengan kewajiban bagi pelaku usaha untuk mendaratkan ikan tangkapannya pada pelabuhan terdekat dengan WPP yang diizinkan. Misalnya, kapal yang melakukan kegiatan penangkapan di WPP 718 (Laut Aru), maka, lokasi pendaratannya adalah di pelabuhan setempat.

Menurut Parid, kebijakan tersebut sejatinya cukup menarik karena menjadi bagian dari upaya pemerataan ekonomi. Akan tetapi, secara infrastruktur ia menilai belum siap. Kelaikan pelabuhan sebagai lokasi pendaratan, gudang penyimpanan, akses jalan, dikatakannya belum cukup memadai.

“Dari sisi cost itu kan juga pasti ada pengaruhnya. Ajak dulu bicara para nelayan, jangan buru-buru. Bagaimana jalannya, tempat penyimpanan ikannya siap atau tidak, itu kan juga perlu disiapkan,” kata Parid.

Pihaknya tidak ingin hanya karena mengejar implementasi perikanan terukur ini, pemerintah bertindak serampangan. Misalnya, mengizinkan kembali operasional pelabuhan dan perusahaan penangkapan ikan yang dulu bermasalah.

“Itu kan ada pelabuhan dan juga beberapa perusahaan yang dulu sempat terlibat kasus perbudakan ABK. Masa sekarang kembali dikasih izin sebagai lokasi pendaratan, kan gawat ini. Jadi, saya rasa pemerintah masih banyak PR, siapkan dulu semuanya, tidak usah buru-buru,” katanya.

Sekretaris Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Dampo Awang, Kabupaten Rembang, Lestari Priyanto mengatakan, nelayan memang mendapatkan dua pelabuhan sebagai lokasi sandar kapal. Yakni, pelabuhan dimana kapal itu berasal dan pelabuhan terdekat di kapal mendapat izin penangkapan ikan.

Menurut Riook, bila kemudian kegiatan bongkar diwajibkan di pelabuhan kedua, banyak hal yang harus dipertimbangkan. “Pertama tentu soal harga. Kalau pasarnya baik, harganya bagus ya tidak masalah. Karena kan nelayan itu yang dicari untung,” jelasnya.

 

Kapal-kapal ikan yang terparkir di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati juga turut mempertanyakan kebijakan perikanan terukur berbasis kuota yang tengah digagas pemerintah saat ini. “Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin penentuan kuota berlangsung transparan, tanpa ada main-main?” tanyanya.

Menurut Susan, mencuatnya skandal korupsi benih lobster yang menyeret mantan Menteri KKP, Edy Prabowo merupakan efek dari skema ini. Ketimbang meneruskan skema yang sarat permasalahan, ia menyarankan pemerintah untuk lebih dalam mendengar suara para nelayan.

“Coba usulan nelayan (soal tidak adanya izin kapal baru) itu diapresiasi. Dikunci terkait dengan izin. Karena kalau kuota, pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin bahwa yang mendapat izin adalah nelayan yang benar-benar berhak. Kita sama-sama tahu, yang namanya dunia perizinan, ‘amplop’ itu menjadi biasa,” ujar Susan.

Kadromi, ketua Peguyuban Nelayan Cantrang Pabean, Kabupaten Rembang sepakat dengan pernyataan Susan. Menurutnya, kebijakan soal perikanan terukur yang digagas pemerintah saat ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja di sektor kelautan. “Dan nyatanya, regulasi ini tidak cukup menjawab persoalan dan berbagai kerumitan yang dihadapi para nelayan,” tutupnya.

Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Said mempertanyakan kebijakan pemerintah yang membuka peluang bagi kapal asing. Menurutnya, kebijakan itu dinilai kontraproduktif dengan usaha menghalau kapal asing, seperti yang selama ini dilakukan.

“Dulu kami kapal-kapal besar di Pantura sampai dikerahkan ke Natuna, untuk membantu mengawasi kapal asing. Ini malah dibuka, mau jadi kayak apa nelayan kita ini,” ujar Said. Sejumlah spanduk bernada protes atas kebijakan itu pun banyak bertebaran di kawasan pelabuhan Tegalsari, Kota Tegal.

 

Sebuah spanduk yang menolak kapal ikan asing di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Pelabuhan Percontohan

Ada empat pelabuhan di Jawa Tengah yang menjadi bagian dari pelaksanaan program ini. Yakni, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal; PPP Klidanglor, Kabupaten Batang; PPP Bajomulyo, Kabupaten Pati; dan PPP Tasikagung, Kabupaten Rembang.

“Keempat pelabuhan ini menjadi lokasi percontohan pelaksanaan program perikanan terukur terkait dengan pemberlakuan Permen KP 85/2021 tentang jenis dan tariff Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kelautan,” kata Kurniawan melalui penjelasan tertulisnya, pertengahan Juli lalu. (bersambung).

 

 

Seri liputan tentang cantrang Pantura Jawa ini merupakan hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI)

 

 

 

Exit mobile version