Mongabay.co.id

Polemik Cantrang : Perizinan Kapal Berbelit Jadi Peluang Pungli (7)

 

Gunari hanya bisa menggerutu. Berbekal uang pinjaman yang ia peroleh dari bank, pemilik kapal dengan kapasitas 70 GT ini berharap untuk bisa segera bisa melaut. Akan tetapi, yang terjadi sungguh di luar perkiraannya.

“Sejak dari Desember urus izin tidak beres-beres. Duit pinjaman yang tadinya akan dipakai untuk operasional sampai mau habis,” kata Gunari, yang ditemui di sebuah warung kopi, tak jauh dari pelabuhan Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, akhir Juni lalu.

Siang itu, Gunari memang sengaja datang ke warung untuk menemui pengurus Asosiasi Nelayan Indonesia (ANI) Dampo Awang, Kabupaten Rembang guna menyampaikan keluhannya. Sekaligus berharap pihak agar pihak asosiasi bisa membantunya mengurus dokumen perkapalan.

Gunari rupanya tak sendirian. Lestari Priyanto, sekretaris ANI Dampo Awang Rembang menyebut, ada ratusan nelayan eks cantrang seperti Gunari yang tak bisa melaut karena terkendala perizinan. Padahal, sebelumnya orang-orang seperti Gunari ini sudah terlanjur meminjam bank untuk modal melaut.

“Ini sudah hampir tujuh bulan tidak melaut. Teman-teman ini sumpek karena terlanjur pinjam bank untuk operasional, ternyata izin nggak kelar-kelar. Lama-lama duit pinjaman habis juga,” kata Riook, sapaan akrab Lestari Priyanto.

Sebagai pengurus asosiasi nelayan, Riook, mengaku prihatin dengan apa yang dialami koleganya sesama nelayan saat ini. Banyak dari mereka yang terjebak utang pinjaman ke bank tanpa jelas kapan bisa melaut.

baca : Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1)

 

Kapal ikan harian yang mulai banyak menggunakan jaring minitrawl diparkir di Pelabuhan Perikanan Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Riook mengatakan, operasional kapal memang cukup besar. Untuk kapal di atas 60 GT, kebutuhan operasional awal sebelum melaut bisa lebih dari Rp300 juta. Karena itu, sebagian nelayan biasanya mengandalkan pinjaman sebagai modal.

“Harapannya, duit pinjaman itu untuk belanja perbekalan, bayar retribusi, urus izin, dan bisa melaut. Tapi ketika sudah pinjam bank, ternyata dokumen belum beres karena kuota habis, akhirnya duit pinjaman itu habis,” ungkap Riook.

Penerapan kuota izin kapal, terutama di atas 30 GT oleh pemerintah memang membuat para nelayan kalang kabut. Di Kabupaten Rembang, dari sekitar 260 kapal cantrang berukuran besar, hanya 130-an kapal yang pembaruan izinnya tuntas hingga akhir Juni lalu. Kapal-kapal yang izinnya belum beres pun hanya bisa parkir di pelabuhan.

Persoalan lainnya, cuaca di perairan Laut Jawa sedang tidak bersahabat. Ombak tinggi disertai angin kencang mengombang-ambing deretan kapal yang sedang pakir itu, sehingga banyak yang rusak.

Catatan asosiasi, sedikitnya ada 40 unit kapal berukuran di atas 60 GT yang alami kerusakan. Dari yang lambung retak hingga bumper dek pecah. “Dan (perbaikan kapal) itu butuh duit. Dan pemerintah tidak melakukan apa-apa. Bahkan tidak boleh gunakan listrik untuk melakukan perbaikan kapal karena kuatir memicu kebakaran,” kata Riook.

Padahal kondisi sebelumnya, kawasan Pelabuhan Tasikagung, Rembang sangat ramai. Setidaknya ada 10-20 kapal yang melakukan bongkar muatan saban hari, 10 unit kapal kecil (non cantrang) dan 10 kapal besar. Banyak masyarakat terlibat menjadi pekerja, sehingga roda perekonomian pun jalan.

Tetapi, setelah harga BBM terus meninggi, plus prosedur perizinan yang seabrek dan banyak menyita waktu itu, pemandangan itu tidak lagi terjadi. Mongabay yang beberapa hari melakukan reportase di penghujung Juni lalu hanya mendapati 2-4 kapal bongkar muatan saban pagi.

“Karena banyak kapal yang tidak bisa melaut itu,” kata Riook. Padahal, tenaga kerja yang terlibat sangat banyak. Dari sopir angkutan, buruh angkut, hingga emak-emak penyortir hasil tangkapan.

baca juga : Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)

 

Suasana bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Padahal, jika saja sektor ini dikelola maksimal, akan banyak memberi kontribusi pada PDB, termasuk pemasukan negara. “Dengan menurunnya kapal yang bongkar muatan, kawan-kawan yang sebelumnya bisa bekerja, kini tidak bisa melaut. Hal-hal seperti ini apa juga jadi pertimbangan pemerintah?”

Riook mengungkapkan, menurunnya aktivitas pelabuhan tidak hanya berdampak pada masyarakat sekitar. Kegiatan ekonomi daerah yang memang berpusat di pesisir Rembang ini pun jauh berkurang. Banyak industri-industri kecil pengolahan ikan mangkrak tanpa aktivitas.

“Pokok intinya, nelayan itu bisa melaut karena perizinan. Namun, karena erat kaitannya dengan urusan perut, sebagian nelayan tetap nekat melaut kendatipun tak mengantongi izin,” kata Riook.

Sepinya Pelabuhan Tasikagung, Kabupaten Rembang imbas dari pembatasan perizinan diakui oleh Kadromi, ketua Paguyuban Cantrang Dukuh Pabean. Dengan hanya 2-4 kapal yang sandar tiap hari, banyak orang sekitar yang tak bisa bekerja.

“Dampaknya sangat besar. Kita hitung saja. Dari 130 kapal, satu kapal saja ada 30 orang ABK. Itu yang di kapal, belum yang buruh lepasnya, tukang pilih ikan, tukang angkut, termasuk di pabrik pengolahan. Kalau bahan baku ikannya tidak ada, semuanya tidak bekerja,” ujarnya.

Kadromi bilang, pemerintah telah melakukan kesalahan dengan membiarkan sektor yang menjadi tempat bergantung hidup banyak orang dibiarkan kacau seperti ini. “Kami diminta ganti ke JTB (jaring tarik berkantong), kami siap. Tapi pengurusan suratnya itu tolong dipermudah, dipercepat, jangan dipersulit supaya kami ini bisa melaut,” katanya.

perlu dibaca : Polemik Cantrang: Nelayan Pantura Enggan Berganti Alat Tangkap (3)

 

Suasana bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Adanya penutupan izin kapal-kapal besar (di atas 30 GT) itu juga dibenarkan Hadi Sutrisno, Koordinator Front Nelayan Bersatu (FNB) Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pembatasan itu dimaksudkan sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah kapal usaha penangkapan yang banyak beroperasi.

Hanya saja, kuota yang diberikan dinilai tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. “Untuk wilayah Jawa Tengah, pemerintah hanya memberikan kuota 800 kapal,” katanya. Menurut Hadi, angka itu jauh dari cukup mengingat jumlah kapal skala besar di Jawa Tengah saat ini yang mencapai ribuan.

Masalah lainnya, kata Hadi, distribusi kuota untuk masing-masing daerah juga dinilai tak proporsional. Misalnya, Kabupaten Rembang yang memiliki banyak kapal eks cantrang hanya mendapat slot untuk 160 kapal. Akibatnya, banyak kapal eks cantrang yang ingin beralih ke JTB tidak bisa memperbarui izin. “Ini membuat teman-teman bergejolak,” kata Hadi.

 

Jalur Belakang

Masyarakat banyak yang tak bisa bekerja, dan area labuh yang penuh kapal karena tak bisa melaut bukan satu-satunya persoalan dari kebijakan pembatasan kuota izin kapal. Temuan di lapangan, kebijakan itu pada akhirnya juga memunculkan praktik lancung tentang adanya praktik pengurusan izin lewat jalur belakang.

Di Juwana, Adi seorang pemilik kapal terpaksa mengeluarkan biaya lebih demi mendapatkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Tak tanggung-tanggung, angkanya mencapai Rp50 juta hanya untuk ‘ongkos jasa’.

“Saya kemarin habis Rp130 juta. Untuk jasanya saja Rp50 juta. Ini ada WA-nya. Memang mahal, tapi istimewa, tiga hari sampai 1 minggu (izin) sudah jadi. Kalau nggak pakai itu (pengurusan) bisa berbulan-bulan,” katanya, sembari menunjukkan isi percakapan dari sang calo.

Adi terpaksa menggunakan jasa calo perizinan lantaran terdesak kebutuhan ekonomi. Sebab, sudah dua bulan lebih ia tak bisa melaut. Apa boleh buat, uang Rp1 miliar dari hasil pinjaman di bank pun ia sisihkan untuk mengurus perizinan lewat calo. “Memang begitu. Kalau izin diurus sendiri susah, dipersulit. Tapi kalau ada yang bawa, cepat. Kan sampeyan tahu birokrasi kita ini seperti apa,” ungkapnya.

baca juga : Polemik Cantrang Pantura: Dinilai Merusak, Bagaimana dengan JTB? (4)

 

Nelayan sedan bersantai di depan kapal yang diparkir di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Di sisi lain, adanya praktik pungutan liar, sebagaimana pengakuan Adi dibenarkan Koordinator FNB Kabupaten Pati, Hadi Sutrisno. “Betul itu. Semua sudah paham, sudah menjadi rahasia umum. Dan tidak hanya Rp50 juta,” terangnya.

Dikatakan Hadi, munculnya praktik pungli itu bukan hanya imbas dari ribetnya proses pengurusan perizinan kapal. Tetapi, juga buntut berubahnya tata cara pengajuan izin kapal dari offline ke online melalui online service submission (OSS). Pasalnya, sebagian nelayan belum memiliki kecakapan yang memadai untuk mengakses internet.

Dampaknya, banyak pemilik kapal yang memanfatkan jasa calo, meski dengan biaya yang lebih besar. “Jalur cepat, lewat belakang, habisnya malah lebih banyak. Banyak juga yang ketipu ratusan juta, bahkan miliaran rupiah,” kata Hadi.

Keluhan soal perizinan bukan hanya datang dari nelayan eks cantrang. Fandholi, koordinator nelayan mini purseine juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, dokumen yang harus dilengkapi untuk bisa melaut dinilai terlalu banyak. Meliputi dari surat PAS kapal, surat ukur, sertifikat kelayakan, SIUP (surat izin usaha perikanan), hingga gross akta kapal.

“Yang utama, kalau kapal untuk mencari ikan, itu harus ada SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan). Mengurus SIPI ini harus ada SIUP dulu. Kalau sudah clear, baru bisa mengurus SPB (Surat Persetujuan Berlayar) yang dikeluarkan PPP (Pungutan Pengusahaan Perikanan),” kata Fandholi. Dan yang merepotkan, pengurusan izin atau dokumen perkapalan itu tidak di satu lokasi.

Dikatakan Fandholi, ada banyak instansi yang terlibat dalam penerbitan izin atau dokumen perkapalan ini. Misalnya, Syahbandar untuk dokumen awak kapal, surat ukur, PAS tahunan, surat kelaikan, SIUP hingga gros akta. “Untuk SIPI, itu tergantung GT kapal. Untuk 30 GT ke atas, itu kewenangan Pemerintah Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP). Antara 11-29 GT itu provinsi dan di bawah itu daerah,” terangnya. Selain itu, ada juga izin kelaikan operasi yang diterbitkan KKP.

baca juga : Polemik Cantrang Pantura : Nelayan Sepakat soal Kebijakan Perikanan Terukur, Tapi… (5)

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Bila ditotal, untuk satu kapal, ada belasan dokumen yang harus dilengkapi agar bisa melaut. Itu pun, masa berlaku masing-masing dokumen tidak sama. Misalnya, untuk PAS hanya berlaku setahun sekali, dokumen kelaikan operasi tiga bulan sekali.

Fandholi pun mengeluhkan adanya perubahan masa berlaku beberapa dokumen kapal. Seperti buku PAS kapal yang sebelumnya berlaku tiga tahun, kini hanya setahun, SIPI dari tiga tahun menjadi setahun.

Perubahan masa berlaku dokumen kelaikan operasi bahkan lebih parah. Dari setahun, kini hanya menjadi tiga bulan. “Ini juga banyak menjadi keluhan nelayan karena akan merepotkan untuk kapal-kapal yang besar. Karena sekali trip, mereka bisa lebih dari tiga bulan,” katanya.

Keputusan pemerintah yang memperpendek umur sejumlah dokumen, jelas sangat merepotkan bagi nelayan. Sebab, hal itu jelas akan memakan banyak waktu dan biaya. “Dan teman-teman banyak yang mengeluhkan soal ini. Kenapa tidak dibuat simple seperti STNK, BPKB, dan buku KIR. Kenapa dibikin repot seperti ini?”.

 

Terlalu Banyak Dokumen

Apa yang dikeluhkan Fandholi masuk akal. Untuk pengurusan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) misalnya, setidaknya ada 17 dokumen yang harus dipersiapkan. Yakni, Surat Tanda Kebangsaan Kapal (STKK), Surat Ukur, Sertifikat Kesempurnaan, Sertifikat Radio Kapal, Sertifikat Kelaikan dan Pengawakan Kapal Penangkap Ikan, SPB terakhir, pernyataan nakhoda tentang pemberangkatan kapal.

Kemudian, SIPI atau SIKPI, Surat Laik Operasi (SLO), Barcode, Tanda Pelunasan Pungutan Perikanan (TPPP), Surat Tanda Bukti Kedatangan Kapal (STBKK), Log Book Perikanan, Buku Kesehatan, Surat Pembebasan Tikus, Surat Pernyataan Nakhoda tentang Kedatangan Kapal, Foto kopi KTP dan data diri ABK, serta ijazah kecakapan untuk perwira deck dan perwira mesin.

Dokumen-dokumen tersebut belum termasuk ketika pemilik kapal mengajukan cek fisik atau perubahan kontruksi kapal. Masing-masing memerlukan delapan dokumen lagi. Seperti fotokopi KTP pemilik kapal, fotokopi NPWP, surat tukang, surat permohonan, surat keterangan verifikasi (ukur ulang), fotokopi SIUP, fotokopi gross akta, fotokopi SIPI, dan fotokopi surat ukur.

baca juga : Polemik Cantrang : Akurasi Data Jadi Modal Utama Perikanan Terukur (6)

 

Deretan kapal berukuran lebih dari 150 GT tengah sandar di Sungai Selogonggong, Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Persoalannya, proses pengurusan dokumen memakan waktu lama dan berbelit. Untuk pengurusan SIPI misalnya, menurut Fandholi, banyak pemilik kapal yang bahkan harus mengurus jauh hari sebelumnya. “Banyak yang sudah mulai mengurus dari Februari, tapi nggak selesai-selesai juga. Syaratnya banyak banget,” terang Fandholi.

Fandholi bahkan berani mengklaim, di antara ribuan kapal purseine yang ada di Indonesia, baru SIPI kapalnya yang keluar. Itu pun setelah tiga bulan mengurusnya. “Pengajuan November, Januari baru kelar,” ungkapnya.

Pengurusan perizinan yang sebelumya dilakukan secara manual ke OSS (Online Single Submission) juga menjadi problem tersendiri bagi nelayan. Itu karena sebagian besar nelayan belum memiliki kapasitas yang cukup dengan mekanisme ini karena tidak terbiasa.

Sebaliknya, ia juga tidak meyakini seluruh pegawai yang ada di KKP mengerti dengan seluruh tahapan perizinan perkapalan. Imbasnya, proses perizinan banyak yang mengantre dan terkatung-katung tanpa ada kejelasan.

Tak ingin kondisi itu berlanjut terus, Fandholi pun meminta pemerintah berbenah. Caranya, membuat gerai satu atap yang di dalamnya terdiri banyak instansi. Mulai dari DKP, PPP, KKP, Syahbandar, hingga pihak perbankan.

“Jadi cukup dalam satu gedung. Nelayan hanya perlu pindah meja saat mengurus dokumen. Tidak perlu di-oper kemana-mana. Bayar apapun juga bisa langsung disitu. Pemerintah harus jemput bola, itu namanya pelayanan pada nelayan, tidak seperti ini dibuat pontang-panting untuk mengurus dokumen,” ungkapnya.

Ketua Paguyuban Cantrang Dukuh Pabean, Desa Tasikagung, Kabupaten Rembang, Kadromi mengakui pengurusan izin menjadi masalah paling utama dihadapi nelayan sekarang ini. Sebab, selain ada banyak dokumen, pengurusan izin secara online, seperti yang berlaku saat ini juga menjadi persoalan tersendiri bagi nelayan.

“Ya kan harus diakui, nelayan itu kan juga susah kalau harus lewat online begitu, belum terbiasa, banyak yang tua juga. Makanya ini kami kerahkan mahasiswa, kami urunan, kami bayar bareng-bareng,” ungkap Kadromi.

perlu dibaca : Pemerintah Harus Tepati Janjinya untuk Pangkas Proses Perizinan Kapal Perikanan

 

Alat tangkap ikan dan kapal ikan yang terparkir di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Ia bilang, menyusul larangan cantrang oleh pemerintah, sebagian nelayan sejatinya sudah bersedia untuk beralih ke Jaring Tarik Berkantong (JTB). Sayangnya, proses pembaruan izinnya juga tak semudah yang dibayangkan.

Pada pengurusan surat ukur misalnya. Menurut Kadromi, waktu yang diperlukan untuk mengurus dokumen ini sanga lama. Bisa mencapai setahun. Itu pun belum tentu lulus karena ada dua instansi yang terlibat. Yakni Kementerian Perhubungan dan KKP.

“Kalau dari Kementrian Perhubungan tidak lulus, pasti tidak lulus juga dari KKP. Dan kalau setahun nggak selesai juga, ya setahun itu juga nelayan tidak bisa melaut,” jelasnya. Tak jarang, nelayan harus mengeluarkan biaya tambahan sebagai pelicin agar izin cepat selesai.

Romi, sapaannya pun sepakat dengan usulan berbagai asosiasi nelayan yang menghendaki adanya penyederhanaan perizinan baik dari prosedur maupun substansinya seperti pada kendaraan di darat.

Dijelaskan Romi, di darat, kendaraan niaga hanya perlu STNK, surat jalan, serta SIM bagi pengemudi. Tapi di laut, sebuah kapal penangkap ikan memerlukan belasan dokumen untuk bisa melaut. Bahkan, nama pada dokuman yang satu dengan yang lainnya harus berkesuaian.

“Kalau ada dokumen yang tidak sesuai, misal kapal masih atas nama si A, surat-surat itu tidak akan selesai di KKP. Jadi kapal harus dibalik nama dulu. Dan itu prosesnya juga lama. Saya juga tidak tahu kenapa bisa lama,” keluhnya.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Tengah seolah mengonfirmasi pernyataan Romi. Pada kapal dengan ukuran di atas 30 GT saja misalnya, setidaknya terdapat 874 kapal, 571 di antaranya merupakan kapal cantrang. Namun, dari jumlah tersebut, baru 300-an kapal yang pembaruan izinnya selesai dari cantrang ke JTB. Sehingga masih ada 271 kapal yang proses perizinannya belum tuntas.

Padahal, bila pun seluruh dokumen itu telah dikantongi, para nelayan dipastikan tetap kerepotan. Sebab, masa berlaku masing-masing izin itu tidak bersamaan. Bila dari belasan surat itu ada yang mati tiap bulan, maka, itu berarti tiap bulan para nelayan harus balik ke daratan untuk mengurusnya.

“Kalau nggak, pas ada operasi itu yang repot. Dendanya bikin ngeri, bisa sampai ratusan juta,” katanya. Romi menilai, buruknya pelayanan perizinan menjadi bukti pemerintah masih setengah hati membenahi sektor ini.

baca juga : Negara Harus Telusuri Kapal Ikan Tak Berizin

 

 

Karena itu, dalam kegiatan Sosialisasi dan Konsultasi Perizinan Berusaha Subsektor Perikanan Tangkap yang digagas KKP di Semarang, 18 Juli lalu, keluhan itu soal perizinan itu juga ia sampaikan. “Dan itu juga sudah kami sampaikan saat audiensi dengan KKP dan DPR RI pekan lalu, termasuk juga ke Sekretariat Presiden,” terang Romi.

Atas keluhannya itu, pihak KKP menjanjikan untuk melakukan pembenahan. Tetapi dia tidak tahu bagaimana hasilnya. “Bagaimana mau bicara perikanan yang berkelanjutan kalau pemerintah dan birokrasinya juga belum siap,” jelasnya.

 

Tarif PNBP Terlalu Tinggi

Romi mengakui, nelayan saat ini tidak sama dengan dulu. Dari hasil tangkapan misalnya, ia mengaku banyak alami penurunan, meski tanpa menyebut detil angkanya. Menurut dia, situasi itu terjadi karena banya faktor. Terutama cuaca yang belakangan makin sulit diprediksi.

“Kalau arusnya baik, cuacanya baik, ya dapat ikan. Kalau tidak, ya cari terus sampai dapat ikan. Jadi, selama logistik masih ada, nelayan tidak akan balik sebelum tangkapannya penuh,” ujar pemilik tiga kapal ini.

Romi bilang, kendati sebagian nelayan sepakat dengan peralihan canntrang ke JTB, pihaknya merasa tetap perlu mengklarifikasi adanya anggapan bahwa cantrang merusak terumbu karang. Menurutnya, ikan karang bukan termasuk yang menjadi sasaran tangkapan alat tangkap ini. Sekalipun diakuinya bahwa cantrang menyasar ikan dasar laut (demersal).

Untuk melakukan aktivitasnya, nelayan dibekali dengan sounder, sebuah alat yang berfungsi mendeteksi keberadaan ikan dan terumbu karang. Dengan begitu, ketika mendapati bawah laut penuh terumbu karang, nelayan akan berpindah tempat untuk menghindari cantrang rusak terkena karang.

baca juga : Tak Ada Sistem Kontrak dalam Penangkapan Ikan Terukur

 

Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara, Brondong Kabupaten Lamongan, Jatim, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Justru yang jadi keluhan nelayan saat ini adalah terkait rencana perubahan skema pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dari yang sebelumnya pra bayar saat perpanjangan SIUP menjadi pasca produksi yang dibayar setiap kali kapal melakukan pendaratan ikan.

Pada skema pra produksi saat ini, PNBP yang wajib dibayar adalah Rp1.680.000 setiap GT-nya untuk kapal di atas 60 GT dan Rp825.000 per GT untuk kapal dengan range 30-60 GT. “Kalau kapalnya 100 GT, ya berarti 168.000.000 yang harus dibayar,” ujar Kadromi.

Sedangkan pada skema pasca produksi yang berlaku tahun depan, PNBP yang harus dibayar adalah lima persen dari total perolehan harga jual ikan yang didaratkan untuk kapal dibawah 60 GT, 10 persen untuk kapal di atas 60 GT dan 25 persen untuk kapal di atas 100 GT.

Kadromi menilai perubahan skema itu dirasa memberatkan. Sebab, penerapan PNBP pasca produksi didasarkan pada jumlah total ikan yang didaratkan. Bukan berdasar pada total keuntungan. Dengan kata lain, masih dalam bentuk pendapatan kotor karena belum dikurangi biaya operasional.

“Dan itu belum termasuk biaya perpanjangan SIUP yang untuk di atas 100 GT itu mencapai Rp40.200.000,” kata Romi. Sebagai alternatif, pihaknya pun mengusulkan pemerintah mengubah aturan tersebut dengan pungutan yang lebih rendah. Misalnya, 5 persen untuk kapal 60-100 GT dan 3 persen kapal dengan ukuran di bawah 60 GT.

baca juga : KKP : Capaian Semester 1 Catatkan PNBP 111 persen, Tetapi Nelayan Masih ada yang Merana

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Terima Masukan

Terkait lamanya proses perizinan yang menjadi keluhan banyak nelayan, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Tengah, Kurniawan Priyo Anggoro mengaku telah mengantisipasinya dengan menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait perizinan. Bahwa semua perizinan berusaha, khususnya sektor perikanan tangkap dilakukan melalui aplikasi perizinan berusaha berbasis risiko (OSS RBA).

“Sistem ini terintegrasi dengan sistem informasi manajemen kapal daerah (Simkada)” kata Kurniawan, melalui jawaban tertulisnya kepada Mongabay, pertengahan Juli lalu.

Sebagai dinas teknis, lanjutnya, DKP senantiasa berkolaborasi dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Tengah dalam rangka peningkatan pelayanan. Termasuk, membuka gerai perizinan untuk percepatan.

Penuturan yang sama disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini. Dalam sebuah pertemuan bersama nelayan di Semarang, pertengahan Juli lalu, pihaknya menegaskan untuk terus meningkatkan pelayanan di bidang perizinan.

“Masalah perizinan sudah clear. Kapal eks cantrang didorong untuk beralih menggunakan JTB, tapi tidak untuk kapal baru,” terangnya, seperti dikutip dari portal Kemenkominfo, infopublik.id, 2 Agustus lalu.

Terkait desakan nelayan agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No.85 Tahun 2021 tentang PNBP pasca produksi, Zaini menyatakan akan segera melakukan kajian. Nelayan, pelaku usaha dan juga ahli terkait akan dilibatkan dalam proses tersebut.

KKP, kata Zaini memastikan untuk menindaklanjuti semua kritik dan masukan dari para pihak. Termasuk, terkait pengurusan Surat Laik Operasi (SLO) kapal yang memang menjadi salah satu poin keberatan para nelayan. Pihaknya akan menerjunkan tim ke lapangan untuk mempercepat proses pengukuran. ****

 

 

Seri liputan tentang cantrang Pantura Jawa ini merupakan hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI)

 

 

Exit mobile version