Mongabay.co.id

Mengulik Harvest Strategy Tuna di Indonesia

 

Aktivitas penangkapan yang tidak memperhatikan keberlanjutan ekologis, dikhawatirkan mengancam populasi ikan jenis tertentu, salah satunya tuna. Demi mencegah dampak buruk itu, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan strategi pemanenan, yang dikenal dengan nama harvest strategy tuna.

Harvest strategy merupakan inisiatif untuk mencapai manfaat sosial dan ekonomi berkelanjutan dari penangkapan tuna di perairan Indonesia. Tujuan pengelolaannya, memastikan keberlanjutan sumberdaya madidihang (yellowfin tuna), tuna mata besar (bigeye tuna) dan cakalang (skipjack tuna).

Rencana penerapan harvest strategy telah diinisiasi sejak 2014, seturut hak dan kewajiban Indonesia sebagai anggota organisasi manajemen perikanan regional (RFMO). Setahun berselang, Pemerintah Indonesia menegaskan komitmen itu lewat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.107/2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol.

Meski telah memiliki desain pemodelan, pengembangan harvest strategy terus diperkuat dengan pemutakhiran data-data ilmiah. Wildan, Fisheries Manager Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) menyebut, data-data itu berupa data biologi, operasional kapal, dan kajian sosial-ekonomi.

Harvest strategy tuna masih berproses, tapi data perikanan tuna semakin baik atas kolaborasi berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun dengan mitra LSM dan asosiasi perikanan,” kata Wildan ketika dihubungi Mongabay, Selasa (15/8).

baca : Cara Indonesia Memaksimalkan Potensi Tuna di Lautan Lepas

 

Sekelompok ikan tuna sirip kuning (yellow fine tuna). Foto : fisheries.noaa.gov

 

Dari sisi pengelolaan, lanjutnya, Framework for Harvest Strategies menyepakati lima tindakan pengelolaan prioritas. Di antaranya, pembatasan penggunaan rumpon, penutupan daerah pemijahan dan penutupan sementara daerah tertentu, pengaturan jumlah hari penangkapan, pengaturan jumlah kapal penangkapan dan penetapan hasil tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) pada tiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Kemudian pada tahun 2021, masih menurut Wildan, The 4th Stakeholder Harvest Strategy Implementation Workshop meneruskan rekomendasi yang lebih spesifik terhadap tindakan pengelolaan. Misalnya dengan mendorong pengembangan data, kajian sosial-ekonomi, komunikasi antara pemangku kepentingan, pengembangan rencana aksi dan langkah-langkah pengelolaan yang adaptif.

Dalam aspek sosial, forum-forum publik disebut sebagai ruang komunikasi untuk membagikan data, informasi dan perkembangan harvest strategy. Lewat forum publik, pemerintah baik pusat maupun daerah dapat menjelaskan konsep sekaligus menerima masukan dari masyarakat.

Di saat bersamaan, informasi yang diperoleh dari masyarakat berkontribusi pada akurasi data untuk pengembangan harvest strategy. Juga, merupakan referensi untuk mendorong pelibatan aktif seluruh pihak berkepentingan.

“Dengan kita rutin membicarakan harvest strategy ini, mudah-mudahan semua pihak, pelaku usaha, nelayan, pelan-pelan terlibat. Karena harvest strategy ini sangat ilmiah, jadi tidak mudah. Harus dipahami bersama, perlu energi dan waktu lebih untuk mewujudkannya,” terang Wildan.

baca juga : Tuntutan Perikanan Tuna Global Makin Ketat Terkait Ketelusuran dan Aspek Ekologisnya

 

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebagai bentuk partisipasi pengembangan harvest strategy tuna di Indonesia, MDPI terlibat dalam penyelenggaran Pertemuan Reguler Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) tingkat provinsi dan Pertemuan Tahunan Regional IV KPBP Tuna di Bali, pada penghujung Juli 2022.

Pertemuan tahunan itu menghadirkan perwakilan nelayan dari 8 provinsi, seperti NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku dan Papua Barat. Selain nelayan, pertemuan tersebut juga menghadirkan pelaku usaha, peneliti, pegiat LSM serta perwakilan pemerintah pusat dan daerah.

Di samping mengadakan pertemuan reguler untuk membahas keberlanjutan tuna, MDPI turut mengkontribusikan data dari 12 lokasi kerja pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Data-data tersebut juga menjadi persyaratan laporan tahunan RFMO.

 

Data Penangkapan Tuna

WPPNRI 713, 714 dan 715 memiliki sumber daya ikan tuna yang melimpah. Namun tingginya tingkat penangkapan di wilayah perairan tersebut, oleh sejumlah penelitian, dianggap mengancam regenerasi spesies ini.

Fayakun Satria, Kepala Pusat Riset Perikanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan, seturut data tim harvest strategy, pada tahun 2018 total tangkapan tuna di WPPNRI 713-717 diperkirakan mencapai 526.778 ton. Dari jumlah tersebut, 398.353 ton (75,6%) di antaranya merupakan hasil tangkapan di WPPNRI 713, 714 dan 715. Dengan rincian, skipjack (cakalang) 215.010 ton (54%), yellowfin (madidihang) 167.363 ton (42%) dan bigeye (tuna mata besar) 15.755 ton (4%).

Pada tahun 2020, total tangkapan tuna di WPPNRI 713-717 memang sedikit turun di angka 514.687 ton. Namun, persentase tangkapan di WPPNRI 713-715 menunjukkan peningkatan menjadi 423.038 ton atau dikisaran 86%. Jumlah itu terdiri dari skipjack 203.984 ton (48%), yellowfin 201.195 ton (48%), bigeye 17.691 ton (4%), serta albacore (albakora) 168 ton.

perlu dibaca : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?

 

Seorang nelayan membawa ikan tuna sirip kuning. Foto : WWF/ Jurgen Freund

 

Persoalannya, berdasarkan hasil analisa Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC) pada tahun 2019, limit reference point atau titik acuan batas skipjack tuna di perairan Indonesia berada di angka 0,14. Padahal, dalam dokumen Interim Harvest Strategies for Tropical Tuna in Archipelagic Waters of Indonesia, titik acuan batas seharusnya berada di atas 0,2 dari jumlah biomassa memijah pada saat tidak terdapat kegiatan penangkapan, dengan probabilitas sebesar 90%.

“Jadi (angka 0,14) cukup mengkhawatirkan dibanding wilayah region yang lain. Kita sepakat limit reference point kita adalah 0,2 dengan probabilitas 90%. Jadi kalau misalkan ada 10 proyeksi, hanya ada 1 proyeksi yang jatuh di bawah limit 0,2,” kata Fayakun Satria dalam Pertemuan Regional IV Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) Tuna di Bali, Kamis (28/7).

Limit reference point adalah nilai acuan yang digunakan sebagai batas pengendalian pemanfaatan, yang dianggap berisiko atau tidak diinginkan. Pada titik ini, stok ikan dikategorikan dalam kondisi yang mengancam keberlanjutan perikanan. Sehingga, harus lebih mengedepankan keberlanjutan stok ikan dari pada aspek ekonomi dan sosial. Demikian tertulis dalam Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP No.17/2017 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Dokumen Strategi Pemanfaatan Perikanan.

Berdasarkan kajian Lilis Sadiyah (2021), kutip Fayakun, indeks kelimpahan skipjack tuna dari tahun 2010-2020 diketahui cenderung turun. Pada tahun 2015, Fayakun mencontohkan, target CPUE (catch per unit effort) berkisar di angka 1.500 kg per harinya. Sedangkan beberapa tahun belakangan, stabil di angka 750 kg per harinya.

“Kalau kita lihat (data) di tahun-tahun terakhir, (tangkapan skipjack tuna) kisarannya rata-rata di 750 kg per hari. Sementara berdasarkan simulasi yang kami kerjakan, (CPUE) mestinya ada di atas 2.000 kg per hari,” katanya.

“Itu artinya kita sudah diberi sinyal bahwa penangkapan kita sudah terlalu tinggi, sehingga perlu bersama-sama memikirkan untuk menurunkan hasil tangkapan, kalau ingin tetap berkelanjutan di CPUE yang tinggi,” tambahnya.

baca juga : Potensi Besar Ekspor Tuna dari Sumatera Barat

 

Setelah 20 hari melaut, awak KM Bandar Nelayan sedang menurunkan ikan tuna beku di pelabuhan Benoa, Bali pada Februari 2017. Foto : shutterstock

 

Penangkapan Ikan Terukur

Sebagai upaya mewujudkan harvest strategy, Pemerintah Indonesia melalui KKP menjadikan penangkapan ikan terukur sebagai satu dari tiga program utama pembangunan perikanan, di samping budidaya berorientasi ekspor dan budidaya untuk kearifan lokal.

Muhammad Zaini, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP dalam Pertemuan Regional IV KPBP Tuna di Bali, Kamis (28/7/2022) menjelaskan, penangkapan ikan terukur merupakan penangkapan ikan berbasis kuota yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Program ini bertujuan untuk menjaga nilai ekosistem dan nilai ekonomi.

Dalam program penangkapan ikan terukur, dia menyebut, terdapat pergeseran konsep pengendalian sumber daya. Dari input control pada output control. Dari pengendalian jumlah dan ukuran kapal, pada kontrol kuota komoditi.

Dicontohkannya, berdasarkan masukkan Komnas Kajiskan tahun 2022, potensi total ikan Indonesia sekitar 12,04 juta ton dari seluruh WPPNRI. Dari jumlah itu, yang bisa diambil sebanyak 9,94 juta ton per tahun. Tujuannnya, agar proses regenerasi sumber daya ikan dapat mencapai potensi yang sudah ditentukan.

“Dari 9,94 juta ton itu apa sudah terambil semua? Produksi ikan kita, tahun 2021 lalu, ini masih data sementara, diperkirakan hanya 7,4 juta ton. Berarti masih ada 3 juta ton di laut yang bisa diambil menjadi nilai ekonomi tapi tidak terambil,” kata Zaini.

“Nah sisa inilah yang akan kita dorong agar ada investasi baru. Karena kalau dibiarkan pada teman-teman investasi yang sudah ada, tidak mungkin terambil,” terangnya.

baca juga : Pengelolaan Stok Tuna Berkelanjutan Berbuah Sertifikat MSC

 

Dua orang perempuan gembira menunjukkan ikan cakalang segar di Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Foto : shutterstock

 

Pemerintah Indonesia disebut tetap akan mengutamakan investasi dalam negeri di wilayah perairan yang potensi perikanannya belum termanfaatkan dengan baik. Upaya menarik pelaku usaha luar negeri dimungkinkan jika tidak ada atau tidak mencukupinya investasi dari dalam negeri.

Syaratnya, terang Zaini, perusahaan asing yang ingin berinvestasi wajib berbadan hukum dalam negeri. Di samping itu, pelaku usaha luar negeri hanya boleh memiliki saham maksimal 49%. Sedangkan, 51%nya berasal dari investasi dalam negeri.

“Sekali lagi itu adalah investasinya, bukan perusahaan asing beroperasi di sini. Nelayan kecil atau pengusaha yang sudah eksis, kita lindungi. Tetap kita beri alokasi, berapapun yang dibutuhkan. Berapapun mereka menangkap, kita berikan. Tidak akan dikurangi, bahkan naik boleh. Kalau masih ada sisa kita hitung baru kita carikan investor,” pungkasnya.

 

Exit mobile version