- Beragam persoalan masih terus mengintai perikanan tuna sampai sekarang. Persoalan itu, mencakup banyak hal dan harus terus diperbaiki. Bahkan, sejak 2015 organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) mencatat jumlah armada tuna Indonesia mengalami penurunan tajam
- Di antara yang harus diperbaiki, adalah kelengkapan informasi kapal, data catch and effort, data size frequency, pembatasan ukuran ikan untuk spesies berparuh (billfish), dan pembaruan daftar kapal pelaku penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF)
- Semua resolusi yang harus diperbaiki tersebut, menjadi tantangan yang harus dihadapi Indonesia. Meskipun pada 2022, Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) sudah menasbihkan Indonesia sebagai negara peraih nilai kepatuhan tertinggi dengan 81 persen
- Selain tantangan di atas, Indonesia juga menghadapi tantangan menjaga kualitas produk tuna agar bisa memiliki daya saing tinggi di negara tujuan ekspor. Tantangan tersebut bisa dilewati, salah satunya melalui penerbitan sertifikasi tuna yang diterbitkan sejumlah organisasi nirlaba dunia
Indonesia terus berjuang untuk memainkan peran penting dalam penangkapan tuna di wilayah perairan Samudera Hindia. Sejauh ini, upaya tersebut terus berjalan, walau masih diperlukan upaya untuk memperbaiki pelaksanaan resolusi penangkapan tuna berkelanjutan.
Perbaikan resolusi tersebut di antaranya adalah peningkatan kepatuhan yang mencakup kelengkapan informasi kapal, data catch and effort, data size frequency, pembatasan ukuran ikan untuk spesies berparuh (billfish), dan pembaruan daftar kapal pelaku penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF).
Selain itu, menurut Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (SDI DJPT KKP) Ridwan Mulyana, di Jakarta, Rabu (24/5/2022) perbaikan resolusi juga mencakup laporan observer untuk pelaksanaan proyek percontohan untuk melaksanakan alih muat kapal antara kapal kayu pengangkut ikan dan kapal long line tuna.
Penilaian tersebut dipaparkan dia, setelah Indonesia berhasil mendapatkan nilai tertinggi tingkat kepatuhan pada Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) selama pelaksanaan resolusi 2021 dengan raihan persentase mencapai angka 81 persen.
Capaian signifikan tersebut meningkat 7 persen dari penilaian tahun sebelumnya, dan menjadi yang tertinggi sejak pertama kali dilakukan penilaian tingkat kepatuhan pelaksanaan resolusi di IOTC pada 2010. Pada penilaian 2022, rerata nilai tingkat kepatuhan negara-negara anggota IOTC adalah sebesar 69 persen, atau menurun 4 persen dari tahun lalu.
baca : Tuntutan Perikanan Tuna Global Makin Ketat Terkait Ketelusuran dan Aspek Ekologisnya
Semua informasi tersebut didapatkan Indonesia pada sidang internasional IOTC yang berlangsung di Seychelles, 9-20 Mei 2022. Pertemuan tersebut dihadiri 25 negara anggota, 1 negara bukan anggota, dan 12 oberserver internasional.
Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Ketua Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan Prof Indra Jaya, fokus menghadiri empat pertemuan yang digelar selama sidang tersebut. Pertemuan pamungkas dari kegiatan tersebut, adalah 26th Session of the Indian Ocean Tuna Commission (S26).
Lewat pertemuan S26, dibahas tentang isu utama seperti tuna sirip kuning/madidihang (yellowfin tuna/YFT), cakalang (skipjack/SKJ), tuna mata besar (big eye tuna/BET), dan rumpon (fish aggregating device/FAD). Pembahasan kemudian difokuskan pada pembatasan hasil tangkapan dan pengendalian penangkapan.
Setelah melalui proses pembahasan, IOTC kemudian menyetujui untuk mengadopsi prosedur managemen (management procedure/MP) untuk BET, namun belum sepakat untuk mengadopsi terkait usulan proposal mengenai pembatasan tangkapan SKJ dan pengelolaan rumpon.
“Kita sampaikan posisi Indonesia dalam pengelolaan tuna di wilayah IOTC. Kita mendukung dan menyetujui rebuilding stock untuk YFT melalui interim plan untuk memastikan keberlanjutan dan mempercepat pemulihan sumber daya dan ekonomi,” jelas Ridwan Mulyana.
Pada 2021, IOTC juga menyepakati dilakukan pengurangan batasan tangkapan (catch limit) YFT melalui resolusi 21/01. Kemudian pada 2022, terdapat usulan peningkatan pengurangan batasan tangkapan YFT untuk memulihkan stok YFT yang saat ini masih dalam kondisi overfished dan overfishing.
baca juga : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?
Tentang resolusi 21/01, Indonesia secara resmi menyatakan belum bisa menariknya karena sumber data yang digunakan untuk menentukan batasan tangkapan YFT dinilai belum sesuai. Hal tersebut berakibat munculnya dampak negatif pada perikanan skala kecil dan artisanal Indonesia.
Saat ini, data tersebut masih dalam proses estimasi ulang yang dilakukan secara bersama antara Indonesia dengan sekretariat IOTC. Proses tersebut yang membuat forum belum menemukan kata sepakat, sehingga diusulkan akan dibahas kembali pada sesi khusus yang dijadwalkan kemudian.
Selain hal di atas, pada pertemuan IOTC juga Indonesia menegaskan komitmennya untuk mematuhi tindakan konservasi dan pengelolaan (conservation and management measures/CMM), di antaranya penyampaian data tangkapan tuna. Juga, sejak 2021 Indonesia bekerja sama dengan IOTC untuk mengatasi perbedaan data tangkapan tuna.
Kerja keras untuk menerapkan komitmen tersebut, berbuah naiknya tingkat kepatuhan Indonesia terhadap CMM dalam sepuluh tahun terakhir. Utamanya, sepanjang 2021 yang menghasilkan tingkat kepatuhan tertinggi bagi Indonesia.
Pada sidang IOTC, Indonesia juga menyampaikan usulan berupa proposal untuk merevisi resolusi 21/02 tentang alih muatan kapal (transshipment). Melalui usulan tersebut, Indonesia mengajukan penambahan lima unit kapal pengangkut ikan berbahan kayu, dari semula 12 menjadi 17 unit.
“Alasannya untuk menjaga mutu ikan tuna segar dan beku Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pasar serta untuk menekan biaya operasional akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),” tegas Ridwan Mulyana.
Setelah penyampaian usulan tersebut, tak satupun anggota IOTC yang menolak dan karenanya perubahan resolusi 21/02 langsung ditetapkan bersamaan dengan usulan perubahan resolusi tersebut yang diajukan oleh Jepang.
baca juga : Potensi Besar Ekspor Tuna dari Sumatera Barat
Di sisi lain, untuk meningkatkan level kepatuhan dan sekaligus menjadi penegasan dari komitmen negara anggota dalam mengelola tuna di Samudera Hindia, diperlukan sejumlah langkah yang bersifat tindak lanjut krusial.
Sejumlah langkah itu, di antaranya adalah perbaikan pendataan statistik, ilmiah, dan mengadopsinya ke dalam legislasi nasional. Adopsi tersebut dilakukan untuk beberapa ketentuan dalam resolusi yang sudah diadopsi sebelumnya.
Selain itu, tindakan krusial juga mencakup peningkatan peran aktif dan kerja sama dari pelaku usaha dalam pelaksanaan kewajiban resolusi yang diadopsi IOTC. Kemudian, peningkatan kepatuhan dalam pelaporan observer untuk pelaksanaan proyek percontohan alih muat kapal kayu pengangkut ikan.
Diketahui, sidang internasional IOTC diawali dengan pertemuan the 19th Session of the Compliance Committee (CoC19) IOTC, kemudian 19th Session of the Standing Committee on Administration and Finance (SCAF), 5th Session of the Technical Committee on Management Procedures (TCMP), dan diakhiri pertemuan 26th Session of the Indian Ocean Tuna Commission (S26).
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam berbagai kesempatan menyampaikan perhatiannya pada upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. Dalam mengelola perikanan tuna, ia menilai perlu memperhatikan keseimbangan aspek ekologi, sosial dan ekonomi dalam upaya pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
baca juga : Suka Duka dari Kampung Nelayan Tuna Fair Trade Ternate
Pada kesempatan berbeda, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia juga mengkampanyekan pentingnya meningkatkan daya saing Indonesia di level internasional dalam lingkup penangkapan tuna. Untuk mencapainya, ada tantangan yang harus bisa dilewati oleh Indonesia dengan baik.
Tantangan yang dimaksud, salah satunya adalah melakukan sertifikasi untuk bisa menghasilkan produk tuna yang berkelanjutan dan bisa bersaing di pasar internasional. Utamanya, sertifikasi bisa meningkatkan kualitas produk di mata negara tujuan ekspor.
Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, pelibatan sertifikat akan mengatasi permasalahan perikanan yang tidak berkelanjutan dan menjaga pasokan hasil laut masa depan. Selama ini, daya saing menjadi turun karena kualitas dan persoalan yang ada di dalam perikanan tidak bisa dipecahkan.
Dia menerangkan, beragam tantangan yang harus dihadapi oleh nelayan dan para pelaku usaha perikanan itu, di antaranya adalah terus meningkatkan stok perikanan yan ditangkap dengan cara tidak berkelanjutan. Bahkan, pada 2017 angkanya sudah mencapai 34,2 persen dari total stok yang ditangkap.
Kondisi tersebut dibarengi dengan fakta bahwa ada sebanyak 39 juta orang yang bekerja langsung di subsektor perikanan tangkap.
Saat berkelanjutan menjadi persoalan mendasar, pada saat yang sama perikanan dunia menghadapi tantangan besar seiring terus meningkatnya daya konsumsi ikan secara global. Selama periode 1990 hingga 2018, tingkat konsumsi sudah naik lebih dari 122 persen.
Angka tersebut menegaskan bahwa ada sebanyak 3,3 miliar orang di dunia yang sudah mengandalkan laut sebagai pasokan pangan, dan 20 persen di antaranya sudah mendapatakn pasokan protein hewani secara langsung dari ikan.
perlu dibaca : Pengelolaan Stok Tuna Berkelanjutan Berbuah Sertifikat MSC
Pada periode yang sama, produksi perikanan tangkap secara global juga mengalami kenaikan hingga lebih dari 14 persen. Itu berarti, sekitar 10 persen populasi manusia di bumi sudah mengandalkan perikanan sebagai mata pencaharian utama mereka selama ini.
Dengan segala persoalan yang terus dihadapi tersebut, salah satu solusi yang bisa dipilih oleh para pihak berkepentingan di sektor perikanan adalah dengan melaksanakan sertifikasi. Menurut Moh Abdi Suhufan, sertifikasi akan menjadi penghubung cara berkelanjutan dari laut menuju kehidupan dan sajian di piring makanan.
Melalui sertifikasi, maka akan terwujud standar perikanan dan standar rantai pengawasan yang sama baiknya. Hal itu untuk memastikan keberlanjutan stok, dampak ekosistem yang minimum, dan pengelolaan yang efektif. Juga, untuk memastikan dan menelusuri produk bersertifikasi ke sumber perikanan yang berkelanjutan.
Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Erwin Dwiyana menambahkan bahwa peningkatan daya saing tuna di level internasional mutlak harus dilakukan oleh Indonesia.
Dengan meningkatkan daya saing, maka volume dan nilai ekspor juga bisa dinaikkan secara bersamaan. Itu berarti, kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat perikanan juga akan bisa digapai pada saat yang sama.

Pengamat Perikanan M Zulficar Mochtar beberapa waktu lalu mengatakan, untuk mewujudkan pengelolaan perikanan tuna yang ideal dan berkelanjutan, diperlukan upaya ekstra keras dengan menggabungkan kekuatan regulasi dan praktik di lapangan.
Perlunya ada kombinasi yang kuat, karena sampai sekarang praktik perikanan tuna masih dihantui praktik penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF). Kemudian, masih adanya praktik pengelabuan ukuran kapal perikanan tuna.
Praktik mark down masih marak untuk kapal-kapal armada tuna,” ungkap pria yang pernah menjabat Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP itu.
Tak hanya itu, tantangan juga belum hilang karena masih ada armada perikanan tuna menjalankan praktik dengan izin ilegal, kapal mangkrak, dan juga melakukan praktik perbudakan. Praktik tersebut merusak tata kelola perikanan tuna yang sedang diarahkan menuju keberlanjutan.
Pengelolaan yang berkelanjutan juga akan sangat bergantung kepada regulasi pengelolaan perikanan di lingkup nasional, regional, dan internasional. Karenanya, kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku di masing-masing area, juga menjadi kunci untuk pengelolaan yang baik.
“Jadi sorotan juga, adalah Indonesia memiliki sistem rantai dingin yang lemah. Produksi ikan ada di Indonesi Timur, namun fasilitas rantai dingin ada di Indonesia Barat. Jadi berpengaruh kepada kualitas ikan yang diproduksi,” tutur dia.