Mongabay.co.id

Dari Taman Buru Masigit Kareumbi, Untuk Hutan Jawa

 

Jika palaga operasi “pagar betis” dalam menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tak dituntaskan di wilayah timur Bandung. Mungkin Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi Ibrahim Adjie, tak akan pernah memprakarsai pengembangan kawasan Taman Buru Kareumbi Masigit (TBKM) pada 1966 silam.

Rumah bergaya Belanda di salah satu pintu masuk kawasan di Blok KW menjadi penandanya. Dalam beberapa memoarnya, jenderal bintang tiga itu memang penyuka suasana alam dan berburu.

Alasan itulah menjadi awal mula diintroduksi rusa sambar (Cervus unicolor), rusa timor (Cervus timorensis), dan rusa tutul (Axis axis) ke kawasan hutan yang berjarak 60 kilometer dari Gedung Sate. Tujuannya, kelak dibuka wisata berburu setelah over populasi.

Namun, TBKM tak sekalipun dibuka untuk aktivitas perburuan hingga saat ini. Padahal, kawasan konservasi itu satu-satunya yang diperbolehkan undang-undang untuk jadi medan perburuan.

Menurut Manajer Pengelola TBKM Sandyakala Ning, banyak pertimbangan menyoal itu. Salah satunya, mengenai tolok ukur pemulihan konservasi yang dianggap belum ideal untuk dijadikan taman buru.

baca : Kondisi Hutan Jawa Bagian Barat Kini, dan Bandingan Masa Lalu Zaman Junghuhn

 

Foto udara kawasan Taman Buru Kareumbi Masigit di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Foto ; Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Agak ruwet memang jika merunut sejarah tercetusnya TBKM ini. Pasca kemerdekaan, kawasan itu berada dibawah Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat. Selanjutnya tahun 1976, ditetapkan sebagai Hutan Wisata dengan fungsi Taman Buru melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.297/Kpts/Um/5/1976. Enam tahun berselang, Departemen Kehutanan memasang batas sepanjang 120 kilometer dan dipancang 2.143 buah pal batas oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 2 Februari 1982.

Sempat berada dibawah naungan Perum Perhutani sebagai hutan produksi. Kini, TBKM berstatus lahan konservasi yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat dan Yayasan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri. Kawasan ini memiliki luas sekitar 12.420,70 hektar meliputi Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Garut.

“Tujuan kemitraan ini dalam upaya pemulihan ekosistem pasca reformasi,” kata Sandyakala yang kerap disapa Echo, saat ditemui beberapa waktu lalu. Kedua lembaga itu bersepakat menjalin kerja sama sejak tahun 2008.

Krisis ekonomi kala itu pemicunya. Penjarahan secara sporadis mengakibatkan hutan menjadi kopong dan boyak. Jelas saja. Rusaknya ekosistem hutan mengancam kehidupan manusia.

Echo, yang juga anggota Wanadri, menuturkan, kekhawatiran itu lantas menjadi pondasi mengembalikan fungsi hutan. Dimana dari 14 taman buru di Indonesia belum ada satupun kawasan yang dibuka sebagaimana fungsinya.

“Dan sebetulnya kami melihat itu sebagai tantangan (membuka taman buru),” katanya.

Konsep pengelolaannya dibikin sederhana. Kata Echo, Nu asalna leweung, kudu jadi leuweung deui (yang asalnya hutan mesti jadi hutan kembali).

baca juga : Menjaga Hutan Gunung Slamet Agar Tak Jadi Silent Forest

 

Warga melewati bangunan yang didirikan Ibrahim Adjie di Blok KW kawasan Taman Buru Kareumbi Masigit di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto ; Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Merujuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Menurut UN Environment Programme atau UNEP (lembaga PBB tentang Lingkungan) secara esensial, hutan merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang menjadi sumber air. Hutan adalah rumah oksigen dengan pepohonan yang ada di dalamnya.

“Definisi hutan menjadi tidak relevan disebut hutan jika sudah tidak berpohon kan?” tanya Echo. Namun, dia mafhum, konsep menghijaukan hutan macam mirip idiom mengukir langit atau menggarami lautan. Pekerjaan sia-sia.

Tapi mau bagaimana lagi, laju deforestasi sudah menggerogoti hutan-hutan di separuh kota besar di Jawa. Hal itu sama saja membuka pintu bagi hadirnya bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Pekerjaan yang tak ada berujung ini, akhirnya perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan ruang hidup.

Apalagi, TBMK masuk dalam dua daerah aliran sungai (DAS) besar, Citarum dan Cimanuk. Wilayah itu menjadi vital karena menjadi DAS hulu bagi 13 anak sungai. Berdasarkan peta citra satelit, setidaknya perlu mereforestasi 1.500-an hektare atau 12 persen dari total wilayah, kata Echo.

Melihat pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup banyak penduduk, muncul pemikiran ke arah pengelolaan hutan secara lestari. Salah satunya mengharapkan adanya pelibatan masyarakat untuk turut mengelola dan mengambil manfaatnya bagi kehidupan mereka.

Untuk itu, Echo tak ingin program penanam hanya sebatas nyecebkeun tapi dilurkeun (hanya menanam tidak dirawat). Maka, digagaslah program wali pohon di tiga lokasi seluas 600 hektar yang dikelola oleh Wanadri.

Mengusung konsep patungan, program itu melibatkan publik sebagai pengadopsi yang terdaftar di basis data Yayasan Wanadri. Selanjutnya, masyarakat sekitar hutan difungsikan sebagai penyemai benih.

baca juga : Hutan Kampung yang Menyelamatkan Kuta

 

Manajer Pengelola TMBK Sandyakala Ning Tias, persemaian Wanadri di kawasan Taman Buru Kareumbi Masigit di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto ; Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Skema ini penting, kata Echo. Melihat selama ini kaitan antara isu konservasi dan isu kesejahteraan amat lemah. Alhasil, isu konservasi sulit berhasil. Karena itu, konservasi tidak bisa dipisahkan dengan isu kesejahteraan masyarakat. Katanya, konservasi akan berhasil jika ada pelibatan modal sosial dan kultural masyarakat.

Setelah berjalan lebih dari satu dekade, kini sudah tertanam sekitar 250 ribu pohon. Angka itu hasil sumbangan dari sekitar 13 ribu donator.

Echo, sedikit berbangga. Setidaknya, itu menunjukan kepedulian terhadap hutan. Walaupun pohon yang tumbuh sebanyak itu baru dapat merehabilitasi hutan sekitar 180 hektar.

“Segitu saja masih sangat kecil dibandingkan laju deforestasi. Itu teh, diurusi betul-betul,” terang Echo tersenyum.

 

Hutan menciut

Barangkali, ada korelasi antara taman buru dengan hutan di Jawa. Posisinya sama-sama di ambang kehancuran. Pulau yang luasnya hanya 132.187 kilometer persegi atau tidak sampai 7 persen daratan Indonesia itu kini sudah dipadati sekitar 145 juta orang atau 60% penduduk negeri ini. Dengan tingkat kepadatan 1.184 orang per kilometer persegi itu sangat berpengaruh pada perubahan tata guna lahan.

Efek dominonya adalah laju konversi lahan untuk perkebunan dan pertanian serta permukiman kian membikin hutan menciut. Dan ketimpangan itu telah menampakkan gejalanya. Di musim kemarau, misalnya, krisis air dan peningkatan suhu udara menjadi masalah baru akhir-akhir ini.

Belum lagi desakan kebutuhan sandang, pangan, dan papan penduduk yang begitu padat belum sepenuhnya dimitigasi. Atau kesenjangan antara kebutuhan air bersih yang terus meningkat dan ketersediaannya yang terus menurun. Bahkan, defisit air sudah terjadi sejak lama di kota-kota di Jawa, termasuk Bandung Raya.

baca juga : Hutan Jayagiri, Tangkuban Parahu, dan Cekungan Bandung

 

Manajer Pengelola TMBK Sandyakala Ning Tias, persemaian Wanadri di kawasan Taman Buru Kareumbi Masigit di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Secara data di atas kertas, hutan Jabar berada di angka 816.000 hektar. Sedianya pertumbuhan manufaktur diatas 60% berikut sekian persennya dikalkulasikan dengan pembangunan infrastruktur penunjang, agaknya, lahan yang berhutan sudah jauh berkurang.

Artinya, secara kuantitas masih tetap tapi tidak dengan kualitasnya. Hutan saat ini menjadi pertaruhan nasib bagi 50 juta penduduk Jawa Barat di masa depan.

Namun, informasi publik ihwal luasan hutan tersisa pun tak tersedia di kanal-kanal intansi pemerintah. Data yang tersedia hanya berupa luas lahan domain dari pemangku kewenangan masing-masing. Adapun data milik Dinas Kehutanan Jawa Barat, mencatat laju kerusakan hutan mencapai 23.341 – 33.951 hektar per tahun. Itupun data tahun 2011. Jika dikalkulasikan hingga tahun 2022? Bisa dibayangkan sekian luasan hutan hilang.

 

Upaya dari bawah

Terlepas dari suramnya nasib hutan, pelestarian kawasan TBMk masih memerlukan partisipasi semua pihak. Saat ini, pembibitan milik Wandari sudah menyemai 16 jenis pohon endemik, seperti puspa, manglid, suren, salam, dan rasamala.

Program wali pohon sendiri memiliki durasi 3 tahun. Dalam perjanjiannya, penanam bertindak sebagai wali pohon dengan memberikan bekal Rp50.000 per pohon.

Menurut Petugas Lapangan Wanadri, Dian purnama (27), nominal tersebut turut mensejahterakan warga sekitar. Mereka yang merawat pohon mendapatkan Rp20.000 per 100 pohon per orang.

Keterlibatan warga menjadi unsur penting. Alasannya, kawasan TBKM tak memiliki buffer zone atau zona pembatas. Sehingga kesadaran masyarakat pinggiran hutan diharap mampu menjaga kawasan itu.

menarik dibaca : Satwa Berlabel “Jawa” di Tubir Kepunahan

 

Manajer Pengelola TMBK Sandyakala Ning Tias, persemaian Wanadri di kawasan Taman Buru Kareumbi Masigit di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto ; Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Masalah yang dihadapi kini, menyoal intervensi terhadap kawasan terbilang tinggi. Dian menyebut, tindakan perambahan kayu hingga perburuan burung masih menjadi masalah yang sulit terurai. Saking masifnya, di TBKM terjadi krisis burung.

“Untuk saat ini kami baru bisa mengakomodir kurang dari 100 warga di penanaman dan perawatan. Jumlah itu terlampau kecil jika dibanding orang-orang yang lalu-lalang masuk hutan dan tak sedikit pula melakukan pelanggaran,” ungkapnya.

Tapi, Dian percaya jika wali pohon bisa jadi bagian solusi, “Kepedulian para donatur bukan saja membantu menghijaukan kawasan, tapi juga memberdayakan warga yang mau ikut peduli.”

Sebetulnya untuk meningkatkan perhatian pada area konservasi, di kawasan ini juga dibuat ekowisata. Fasilitas yang disediakan antara lain tracking kawasan, perahu kano, sepeda alam, hingga penelitian. Kehadiran para pengunjung itu jadi ajang bagi Wanadri untuk mengedukasi menyoal taman buru.

Echo bilang, taman buru kerap dipersepsikan sebagai tempat yang tidak konservatif. Bahkan, tidak populis. Padahal, kawasan ini bukan semata mengkampanyekan perburuan yang semestinya dilakukan.

Lebih dari itu, TBKM menjadi gerbang terakhir bagi keanekaragaman hayati tersisa. Setidaknya, data Wanadri mencatat, ada 59 jenis tumbuhan yang separuhnya merupakan endemik. Rumah bagi 114 spesies burung, salah satunya, elang jawa dan habitat terakhir bagi spesies kunci seperti macan tutul jawa.

Agaknya, persepsi terhadap taman buru satu-satunya di Jawa-Bali ini selaras dengan persepsi kita terhadap hutan tersisa di pulau padat ini. Apatis. Padahal membiarkan hutan hilang adalah langkah awal dari penghancuran kehidupan manusia sendiri.

Diujung perbincangan Echo menghela nafas panjang. Katanya, rusa timor sudah mencapai 45 ekor. Sebetulnya, jumlah itu cukup untuk disimulasikan berburu. Tapi sekali lagi, TBKM belum juga bisa dibuka. “Kawasan ini entah kapan akan menjadi taman buru yang ideal. Perkara hutan saja kita masih belum tuntas,” pungkasnya.

 

Exit mobile version