Mongabay.co.id

Ini Kendala yang Dihadapi Pedagang Kepiting di Jakarta

 

Diantara lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan raya Banjir Kanal Timur (BKT), Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, DKI Jakarta, sejumlah pedagang terlihat menunggu para pembeli. Selain buah-buahan yang dijual, sebagian besar dari pedagang itu nampak menawarkan aneka ragam hasil laut, termasuk kepiting bakau (Scylla spp.).

Karena kondisi hewan yang masuk kelompok suku Portunidae ini masih hidup, sehingga penjual mengikatnya dengan tali rafia. Setelah itu, kepiting dipajang di lapak non-permanent yang dipasang dipinggir jalan. Sehingga, dengan mudah menjadi perhatian pengendara yang lewat.

Ukuran karapas kepiting yang dijual beragam, dari yang seukuran tiga jari hingga selebar telapak orang dewasa.

Abdullah, 40 tahun mengaku, kepiting yang dijual tersebut merupakan jenis kepiting bakau. Ia membelinya bukan langsung dari nelayan, melainkan dari pedagang lain yang kemudian dijual kembali.

Kepiting-kepiting itu, katanya, dikirim dari Papua, Kalimantan, dan Ambon. Dullah, panggilan akrabnya, melanjutkan, selama 10 tahun berjualan kepiting banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya yaitu pasokan terbatas atau kadang barangnya kosong. Jika kondisinya seperti itu agak susah mencarinya.

“Tidak setiap hari barangnya ada. Padahal, kalau saya jualan itu tidak pernah tidak laku. Ketika barangnya ada, setiap hari pasti ada saja yang membeli kepiting,” ujar dia disela menciprat-cipratkan air garam ke hewan bercapit keras itu, awal bulan November 2022. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar kepiting tidak mati dan mampu bertahan hidup.

baca : Para Perempuan Pencari Kepiting dari Hutan Mangrove Merauke

 

Pedagang menawarkan kepiting, ikan, kerang, ke pembeli di pinggir jalan Bogor Raya depan Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, DKI Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Daging Menyusut

Bagi Dullah, dalam berdagang kepiting ini tentu saja tidak selalu berjalan dengan mulus, adakalanya ia harus bersedia menerima risiko kerugian. Misalnya, jika dalam jangka waktu tiga hari kepiting yang dia beli dari pedagang lain itu tidak habis terjual maka resikonya kepiting bisa mati.

Dalam kondisi mati, harga jualnya menjadi turun. Hal tersebut dikarenakan kondisi daging Crustacea unggulan penghuni mangrove ini menyusut dan sudah tidak segar lagi. Ketika kondisinya masih hidup dan segar Dullah menjualnya dengan harga Rp120 ribu per kilo.

Untuk kepiting hidup bertelur dijual dengan harga Rp140 per kilo. Sedangkan yang kondisinya sudah mati harganya turun menjadi Rp50 ribu per kilo.

“Kalau misalnya yang mati kondisinya sudah jelek dan baunya sudah tidak enak ya saya buang,” jelasnya. “Jika sudah begitu ya rugi,”. Untuk itu, sampai saat ini dia masih mencari pola bagaimana merawat kepiting agar bisa bertahan hidup lebih lama.

Untuk mengantisipasi agar kepiting tidak cepat mati, dan masih bisa bertahan beberapa hari, setiap harinya ia harus mencuci dan menyiraminya dengan menggunakan air garam.

baca juga : Budi Daya Kepiting Bakau, Upaya Mengurangi Penangkapan di Alam

 

Pedagang mengaku dalam berdagang kepiting ini tentu saja tidak selalu berjalan dengan mulus, adakalanya ia harus bersedia menerima risiko kerugian. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan pengalaman yang dia rasakan, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum pandemi COVID-19 melanda, yang membeli kepiting lebih banyak. Kalau sekarang ini dalam sehari rata-rata ia mampu menjual 10 hingga 15 kilo.

Senada, Mantra, 52 tahun, pedagang kepiting mengatakan, saat ini penjualan memang sedang sepi. Mulanya sebelum pagebluk, dia mampu menjual kepiting 10 kilo per hari. Namun, sekarang ini ia hanya mampu menjual 4-5 kilo dalam sehari.

Meski begitu, ia mengaku masih cukup senang menjual kepiting. Sebab, di hari-hari tertentu kepiting masih laku keras, misalnya pada saat imlek maupun tahun baru. Selain kepiting, di lapak kaki lima beratap terpal itu Mantra juga menjual kerang hijau (Perna viridis), kerang dara (Anadara granosa), dan aneka ragam ikan hasil tangkapan di laut.

Terpisah, Rifa’i, 36 tahun, pedagang ikan di pinggir jalan Bogor Raya depan Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, DKI Jakarta, mengaku, baru sebulan ini dia mencoba menjual kepiting. Menurut dia, saat menjajal rupanya peluang jualan kepiting di tengah kota itu bagus. Hanya saja kadang dia merasa kesulitan mendapatkan kepiting untuk dijual lagi.

Pembelinya selain dari kalangan rumah tangga, beberapa kali ia juga melayani permintaan dari warung-warung seafood. Pria berkumis tebal itu mengaku tidak tahu apakah kepiting yang dibeli dari pedagang lain itu berasal dari alam atau hasil budidaya.

baca juga : Setelah 7 Tahun, Kelompok Ini Berhasil Bibitkan Kepiting Bakau

 

Karena kondisi hewan yang masuk kelompok suku Portunidae ini masih hidup, sehingga penjual mengikatnya dengan tali rafia. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ekonomis Penting

Kepiting bakau sudah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Selain Indonesia, satwa yang tubuhnya terlindungi oleh karapas dan memiliki sepuluh kaki dengan sepasang kaki depan berfungsi untuk mencapit ini juga digemari warga negara lain seperti Tiongkok dan Amerika. Hal ini karena selain rasanya yang enak kepiting juga dikenal mempunyai protein tinggi.

Saat dihubungi, Senin (14/11/2022), Ariani Andayani, Analis Kebijakan dari Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan mengatakan, perdagangan salah satu komoditas perikanan andalan Indonesia itu selama ini masih banyak dilakukan dengan mengambil stok langsung dari habitatnya.

Sehingga, di alam keberadaan salah satu sumber daya perikanan pantai yang memiliki nilai ekonomis penting dan mempunyai harga jual mahal ini terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Meski begitu, lanjut dia, berdasarkan penelitian di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) kepiting masih ditemukan melimpah.

Agar tidak sampai kritis atau langka, Andayani menyebutkan sangat tepat kiranya Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No 16/22 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

baca juga : Prinsip Keberlanjutan untuk Penyelamatan Kepiting dan Rajungan, Seperti Apa?

 

Pedagang kepiting menunggu pembeli di lapak semi-permanent di di jalan raya Banjir Kanal Timur (BKT), Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurut Andayani, di negara kepulauan ini ada empat jenis kepiting bakau yang diperdagangkan yaitu Scylla serrata, Scylla olivacea, Scylla tranquebarica dan Scylla paramamosain. Sedangkan kepiting yang tingkat eksploitasinya tinggi yaitu jenis Scylla serrata dan Scylla olivacea.

“Untuk yang kepiting ekspor masih bisa terpantau dengan baik. Karena untuk ekspor harus melalui pemeriksaan yang ketat. Sedangkan kepiting yang dijual di dalam negeri ini yang susah terpantau,” ungkap perempuan alumni Pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam ini.

Artinya, untuk memenuhi pasar domestik ini tingkat eksploitasi di alam tidak terkontrol. Apalagi untuk penjualan kepiting domestik ini jalurnya tidak tentu atau pintunya banyak, tidak seperti ikan yang di daratkan melalui Pelabuhan Perikanan.

Untuk menjaga keberlangsungan kepiting di alam, Handayani menilai perlu dilakukan kegiatan antisipasi yaitu dengan melalui pengembangan budidaya dengan penyediaan benih dari hatchery.

Selain itu, kegiatan pembenihan perlu meningkatkan produksinya, dilanjutkan dengan pemberdayaan masyarakat untuk pendederan dan pra-pembesaran kepiting bakau untuk memenuhi kebutuhan benih atau bakalan soka hasil budidaya. Sehingga, mengurangi ketergantungan terhadap benih di alam.

 

Exit mobile version