- Jika tidak diimbangi dengan upaya budidaya, ketersediaan kepiting bakau di alam menjadi berkurang. Bahkan bisa punah lebih cepat.
- Meski begitu, secara teknis pelaksanaan dari budidaya kepiting ini masih mengalami berbagai kendala baik itu dari segi pembenihan maupun masa tebar.
- Sedangkan untuk pembesaran kepiting bakau ini ada dua metode. Pertama, secara alami yang ditebar di tambak. Kedua, dengan cara terkontrol di crane box atau crab house.
- Metode lain dalam budidaya kepiting bakau yaitu dengan menggunakan sistem mina hutan atau dikenal juga istilah silvofishery, yaitu pola agroforestry yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove.
Untuk mengurangi ketergantungan penangkapan kepiting bakau yang berlebihan di alam, salah satu solusi yang perlu dilakukan yaitu dengan melakukan budidaya. Jika tidak diimbangi dengan upaya tersebut, dikhawatirkan ketersediaan hewan yang mempunyai nama latin Scylla serrata menjadi berkurang di alam, bahkan kepunahan yang dihadapi bisa lebih cepat.
Sebuah studi memaparkan, pemenuhan permintaan kepiting bakau yang sebagian besar dari tangkapan di alam kurang lebih 61,6%, sementara dari budidaya kurang lebih hanya 38,4%. Hal ini menyebabkan populasi kepiting mengalami penurunan sejak tahun 1990.
Untuk itu, budidaya diyakini menjadi salah satu solusi. Meski begitu, secara teknis pelaksanaan dari budidaya kepiting ini masih mengalami berbagai kendala baik itu dari segi pembenihan maupun masa tebar.
Supito (54) Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, menjelaskan masalah umum yang sering dihadapi dalam budidaya kepiting ini adalah pada saat pembenihan.
Kendala dalam kegiatan pembenihan yaitu karena masih tingginya tingkat mortalitas larva, terutama pada stadia zoea dan megalopa. Masalah utama yang dihadapi adalah masih rendahnya sintasan larva terutama pada stadia zoea.
baca : Setelah 7 Tahun, Kelompok Ini Berhasil Bibitkan Kepiting Bakau
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa tingkat kelangsungan hidup larva kepiting masih rendah terutama di masa stadia zoea sampai dengan megalopa hanya sekitar 18-26%.
Adapun penyebab kematian larva kepiting bakau ini karena berbagai faktor seperti molting syndrome atau gagal molting, jamur dan parasit, kanibalisme, morfologi abnormal dan tidak teridentifikasi.
“Memang angka kehidupan pembenihan ini tidak bisa 100 persen. Misalnya satu ekor indukan dengan berat 300-500 gram bisa menghasilkan larva sekitar 500 ribu, tingkat keberhasilannya paling 5-10 persen,” kata Supito, Selasa (05/07/2022).
Secara Alami
Guna mengatasi tingkat kematian larva atau kegagalan dalam pembenihan budidaya kepiting, Supito menyebut pihaknya terus melakukan kajian, salah satunya dengan menambahkan gizi pada pakannya. Umumnya, pakan alami yang diberikan masa pemeliharaan larva kepiting bakau ini berupa rotifera dan artemia.
Keduanya memiliki nutrisi yang cukup baik, mengandung asam-asam amino esensial dengan jumlah yang cukup. Sedangkan untuk meningkatkan ketebalan tubuh larva pengkayaan alaminya menggunakan Highly Unsaturated Fatty Acids atau HUFA.
Selain itu, probiotik diperlukan untuk agar tidak terserang bakteri. Karena karakter kepiting yang bisa memakan sejenisnya itu, maka saat pemeliharaan stok larva perlu dikurangi dan dilakukan pengelompokan umur larva.
baca juga : Tambak Kepiting Ramah Lingkungan di Labuan Bajo Berdayakan Lahan Tidur
Sedangkan untuk pembesaran kepiting bakau ini ada dua metode. Pertama, secara alami yang ditebar di tambak. Kedua, dengan cara terkontrol di crane box atau crab house. Kedua metode itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Dengan menggunakan crab house atau dikenal rumah susun ini kelebihannya adalah siklus pertumbuhannya bisa lebih terkontrol, mencegah prilaku saling membunuh, pada masing-masing kotak pertumbuhan kepiting lebih maksimal. Selain itu, lebih aman terhadap perubahan alam seperti banjir.
“Sambil menunggu perbaikan teknologi, kami juga menyarankan agar di daerah-daerah penangkapan kepiting yang bagus di Indonesia untuk melakukan pembenihan secara alami,” ujar pria yang pernah berdinas di Balai Budidaya Air Payau, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ini.
Pembenihan secara alami yang dimaksud tersebut, ketika nelayan atau warga yang mencari kepiting mendapatkan kepiting betina harus dikembalikan lagi ke habitatnya, terlebih dalam kondisi sudah bertelur. Dengan catatan, dalam satu kawasan itu dibuatkan tempat untuk berkembangbiak, tempatnya bisa dengan membuat pagar dari bahan jaring berukuran 10×10 meter. Sedangkan mata jaring sekitar 1,5 inchi.
Tujuannya agar hewan bercangkang keras ini tidak bisa keluar dan ditangkap nelayan atau warga yang tidak bertanggung jawab.
Disaat pembenihan secara alami ini, kepiting tidak boleh diganggu. Untuk itu, peran masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pengawasan.
baca juga : Para Perempuan Pencari Kepiting dari Hutan Mangrove Merauke
Pria kelahiran Magetan ini memperkirakan, jika indukan betina itu dikembalikan di alam dengan estimasi keberhasilan satu persen saja larva yang hidup, maka hasil yang didapat sudah 10 ribu ekor kepiting dewasa yang bisa ditangkap.
“Kalau misalnya sekilo bisa isi empat ekor dalam satu persen yang hidup itu bisa menghasilkan kira-kira 2,5 ton kepiting dewasa,” bebernya.
Biaya Investasi Bisa Ditekan
Metode lain dalam budidaya kepiting bakau yaitu dengan menggunakan sistem mina hutan atau dikenal juga istilah silvofishery, yaitu pola agroforestry yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove.
Untuk menambah penghasilan, pembudidaya bisa memelihara komoditas perairan ini disamping juga ada kewajiban dalam memelihara hutan mangrove. Prinsipnya yaitu perlindungan tanaman mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan.
Triyanto, dkk dalam jurnal Pengembangan silvofishery kepiting bakau (Scylla serrata) dalam pemanfaatan kawasan mangrove di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, memaparkan, dibandingkan dengan teknik budidaya kepiting bakau dalam tambak, budidaya silvofishery di keramba tancap di mangrove ini mempunyai beberapa kelebihan.
Secara alami kepiting bakau hidup dalam hutan mangrove, sehingga untuk memelihara kepiting bakau ini tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membuka mangrove, tetapi cukup dengan membuat pagar yang mengurung biota yang dipelihara. Dengan begitu biaya investasi bisa ditekan.
baca juga : Mengenal Rajungan, Si Kepiting yang Pandai Berenang
Kelebihan lain yaitu hutan mangrove menyediakan kondisi fisik kimia lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan kepiting bakau, sehingga kemampuan dalam bertahan hidup (survival tate) lebih besar dibandingkan jika dipelihara dalam empang atau tambak.
Selain itu, sistem kurungan bisa digunakan untuk pemeliharaan sementara bagi kepiting yang rendah mutunya menjadi kepiting yang berkualitas ekspor. Begitu juga dengan lahan kritis di kawasan mangrove, seperti tambak-tambak yang sudah produktif bisa digunakan lagi untuk budidaya silvofishery setelah dilakukan rehabilitasi.
“Fungsi ekologis mangrove masih tetap terjaga, karena hutan mangrove tidak ditebang,” tulis Triyanto dalam jurnal terbitan tahun 2012 itu.