Mongabay.co.id

Tambang Timah dan Masa Depan Generasi Muda Bangka Belitung

 

 

Ribuan kolong atau lubang bekas penambangan timah tersebar hampir di seluruh daratan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di sejumlah desa, kolong berjarak kurang dari 100 meter dari permukiman, yang bagi anak-anak kerap dijadikan area bermain.

Terbaru, Rabu [14/12/2022] lalu, seorang siswa sekolah dasar berusia 9 tahun, ditemukan meninggal dunia karena tenggelam di kolong. Lokasinya, di sekitar Desa Rambak, Kelurahan Jelitik, Kecamatan Sungailiat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Menurut Sumi [71], warga Desa Rambak, peristiwa ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, sejak tahun 2000-an, sudah 4 anak yang tenggelam.

“Rata-rata anak sekolah dasar, bahkan satu korban berusia dibawah lima tahun. Sepulang sekolah, anak-anak disini sering berenang di kolong, padahal ada yang dalamnya hingga 30 meter,” kata Sumi, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [15/12/2022] lalu.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Mencari Penjaga Laut Kepulauan Bangka Belitung

 

Aktivitas melimbang timah di sekitar pesisir timur di Pulau Bangka yang turut melibatkan anak-anak. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, banyak anak yang tenggelam di kolong.

Berdasarkan kompilasi data Walhi Kepulauan Bangka Belitung, sepanjang 2021-2022, ada 17 kasus. Sebanyak 11 korban meninggal dunia, 8 diantaranya anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.

Total korban tersebar di Bangka Belitung. Rinciannya, Kabupaten Bangka Barat [1 korban], Kabupaten Bangka [1 korban], Pangkalpinang [3 korban], Kabupaten Bangka Selatan [2 korban], Kabupaten Bangka Selatan [1 korban], Kabupaten Belitung [1 korban], dan Kabupaten Belitung Timur [2 korban].

“Data tersebut berasal dari penelusuran kasus yang terbit di sejumlah media massa. Sangat mungkin, jumlah korban lebih dari itu,” lanjut Jessix.

Rusaknya hutan, sungai, dan bukit, merupakan faktor pendorong anak-anak berenang di sekitar kolong.  Dulu, anak-anak di Bangka Belitung, khususnya pedesaan, sering menghabiskan hari-harinya di hutan, aliran air jernih di kaki bukit, atau membantu ibunya memanen hasil kebun [padi, durian, jengkol, petai] dan hasil laut di pesisir.

Namun kini berubah, terutama semenjak aktivitas penambangan timah merambah hampir ke semua desa di Bangka Belitung. Terjadi peralihan mata pencaharian warga, dari yang awalnya berkebun atau melaut, kini berganti menjadi penambang timah.

“Pada akhirnya, kolong menjadi sangat dekat dengan anak-anak,” lanjut Jessix.

Baca: Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka

 

Di kolong ini seorang anak sekolah dasar di Desa Rambang, Sungailiat, tenggelam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan dokumen IKPLHD tahun 2021, hasil inventarisasi data kolong oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDASHL] Baturusa – Cerucuk tahun 2018, jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sebanyak 12.607 kolong dengan total luas 15.579,747 hektar.

Rinciannya, Kabupaten Bangka Barat 4.036 kolong [1.872,590 hektar], Kabupaten Bangka 3.360 kolong [2.473,404 hektar], Pangkalpinang 38 kolong [83,135 hektar], Kabupaten Bangka Tengah 1.731 kolong [2.535,090 hektar], Kabupaten Bangka Selatan 823 kolong [1.151,640 hektar], Kabupetn Belitung 1.193 kolong [2.275,015 hektar], dan Kabupaten Belitung Timur 1.146 kolong [5.188,87 hektar].

Kolong-kolong tersebut tersebar di areal penggunaan lain [APL] yaitu 10.269,030 hektar atau setara 65,91 persen, sisanya 5.310,717 hektar atau sekitar 34,09 persen di hutan yang didominasi hutan produksi [4.352,132 hektar].

Kerusakan lingkungan serta korban jiwa akibat penambangan timah, menjadi cerminan buruknya tata kelola pertambangan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Disisi lain, demi memperbesar keuntungan negara, saat ini pemerintah tengah melakukan hilirisasi produk timah dengan menetapkan pelarangan ekspor.

“Momentum hilirisasi harus dimanfaatkan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan di Bangka Belitung. Tentunya dengan mempertimbangkan semua aspek yang terpengaruh, mulai ekologi, sosial, budaya, ekonomi, hingga hilangnya nyawa manusia,” kata Jessix.

Baca: Kawasan Konservasi Laut Pulau Bangka, Harapan Ditengah Dominasi Tambang Timah

 

Tambang timah di Bangka Belitug, telah memberikan dampak buruk bagi kehidupan sosial budaya masyarakat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Idnonesia

 

Upaya reklamasi

Berdasarkan dokumen IKPLHD [Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusasi 1.007.372,66 hektar dari 1.642.400 hektar total luas Bangka dan Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.

Dari luasan tersebut, hampir 50 persen izin pertambangan, dimiliki PT. Timah Tbk. Berdasarkan paparan tahun 2021, perusahaan ini memiliki 120 IUP dengan luas 428.379 hektar. Luas IUP Darat 288.716 hektar, sedangkan luas IUP Laut 139.663 hektar.

Anggi Siahaan, Kepala Bagian Humas PT. Timah Tbk, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [15/12/2022], mengatakan, hingga saat ini PT. Timah secara konsisten melakukan reklamasi lahan bekas tambang. Tahun 2022, ditargetkan 402,5 hektar yang hingga November 2022 telah terealisasi 366,55 hektar.

Terkait korban kecelakaan tambang, tahun 2021 PT. Timah mencatatkan zero fatality dan pada 2022 hingga 15 Desember tidak ada.

“Jika memang terjadi kecelakaan tambang, perusahaan akan melakukan investigasi internal yang kemudian disampaikan ke Kementerian ESDM, serta melakukan langkah-langkah penanganan,” ujarnya.

Dikutip dari situs resmi pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada 2022, terdapat 123.000 hektar lahan kritis, yang sebagian besar disebabkan penambangan timah ilegal.

“Upaya reklamasi harus komprehensif. Adanya integrasi antara nilai ekologi dengan budaya dalam upaya restorasi ekosistem, diharapkan dapat memulihkan lingkungan Bangka Belitung,” kata Jessix.

Baca: Akibat Penambangan Timah, Kerang di Pulau Bangka Mengandung Logam Berat?

 

Upaya reklamasi belum mampu memperbaiki kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dampak pendidikan

Dikutip dari cnbcindonesia.com, sepertiga dari perekonomian daerah Bangka Belitung berasal dari timah. Pertumbuhan ekonominya mencapai 5,05 persen pada 2021, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional sebesar 3,69 persen. Tingkat kemiskinan di Bangka Belitung tercatat sebesar 4,90 persen, lebih rendah dibandingkan rata-rata tingkat kemiskinan nasional sebesar 9,54 persen.

Disisi lain, besarnya kontribusi ekonomi timah, berbanding terbalik dengan Angka Partisipasi Kasar [APK] perguruan tinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang menempati posisi terendah se-Indonesia, yakni 15,23 persen.

Jessix Amundian mengatakan, perbandingan data itu harus menjadi catatan penting bagi pemerintah. Meskipun timah telah berjasa dalam ekonomi, disisi lain, timah juga telah mengubah pola pikir generasi di Bangka Belitung.

“Minimnya minat untuk melanjutkan pendidikan, berhubungan erat dengan maraknya industri ekstraktif di Bangka Belitung, salah satunya penambangan timah. Jangan sampai, kedepannya akan lahir generasi yang hanya berorientasi terhadap ekonomi,” katanya.

Hal ini juga diakui oleh Pjs Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, bahwa penyebab angka putus sekolah, salah satunya berasal dari aktivitas penambangan timah.

Baca juga: Lanskap Adat, Berpotensi Menjadi Wilayah Konservasi di Pulau Bangka

 

Lanskap tambang yang kian mendominasi serta mulai menggerus perkebunan masyarakat di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dr. Fitri Ramdhani, Sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, mengatakan penyebab utama anak-anak berada di lokasi penambangan timah adalah adanya motivasi ekonomi, yaitu membantu orangtua yang bekerja sebagai penambang.

“Namun faktanya, 43 persen dari angka putus sekolah tahun 2019 yang dirilis Walhi Babel menunjukkan, anak-anak beralih menjadi pekerja di tambang. Ini menunjukkan keprihatinan, sebenarnya anak-anak tidak hanya terdampak terhadap pendidikannya, namun juga sosial, kesehatan mental, juga fisik,” lanjutnya.

Secara sosial, mereka bermasalah terhadap perkembangan kepribadian dan pembentukan pola perilaku, sikap, serta ekspresi emosi. Semua bisa terjadi karena mereka melewatkan fase penting, seperti masa bermain dan belajar dengan teman sebaya.

“Anak-anak juga terobsesi bekerja untuk mendapatkan uang, sehingga gaya hidupnya perlahan menjadi konsumtif.”

Secara kesehatan, kandungan logam berat di air membuat anak-anak rentan menderita penyakit kulit, diare, malaria, demah berdarah, bahkan dalam jangka panjang menyebabkan penyakit syaraf.

“Edukasi sejak dini tentang budaya atau kearifan terhadap alam penting dilakukan. Bisa juga dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di Bangka Belitung, seiiring upaya melepaskan ketergantungan ekonomi terhadap timah,” tegas Fitri.

 

Exit mobile version