Mongabay.co.id

Sampai Kapan Lubang Bekas Tambang di Bangka Belitung Dibiarkan?

 

 

Aktivitas penambangan di darat dan pesisir di Kepulauan Bangka Belitung, masih meninggalkan lubang-lubang yang belum direklamasi hingga saat ini.

Di pantai Batu Perahu, Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, lubang bekas penambangan timah tahun 2015, membuat was-was para pencari atau penyungkur udang [bahan baku terasi].

Saiful Bahari [63], pencari udang dari Dusun Air Aceng, sekitar satu kilometer dari bibir pantai Batu Perahu, menjelaskan hingga saat ini ada sejumlah lubang bekas penambangan di sekitar pantai Batu Perahu dengan kedalaman puluhan meter.

“Kami menyungkur udang saat kondisi pasang menuju surut, sehingga lubang-lubang itu masih tertutup air laut. Beruntung kami hafal lokasinya, sehingga bisa menghindar,” ujarnya, akhir Mei 2023.

Banyaknya lubang makin mempersempit ruang penangkapan. Sebelumnya, mereka menjaring udang hingga 200 meter dari bibir pantai.

“Sekarang, hanya 100 meter dan udang yang didapat lebih sedikit,” lanjutnya.

Aktivitas penambangan di Kepulauan Bangka Belitung dengan cara pengerukan atau mengisap, juga mengakibatkan timbulnya gusung atau beting pasir timbul.

“Sebagian besar sedimentasi di Kepulauan Bangka Belitung bukan dari proses alami, melainkan dampak berbagai aktivitas antropogenik, salah satunya penambangan timah. Ini tentu mengancam ekosistem pesisir-laut, khususnya terumbu karang,” jelas Muhammad Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung.

Baca: Pesut Ditemukan Mati, Ancaman Nyata Tambang Timah Terhadap Mamalia Laut di Bangka Belitung?

 

Para penyungkur atau pencari udang di pantai Batu Perahu merasa was-was karena harus menghindari lubang bekas tambang yang tertutup air laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hingga saat ini, belum ada data resmi terkait jumlah lubang bekas tambang di laut Kepulauan Bangka Belitung. Sementara di darat, berdasarkan dokumen IKPLHD tahun 2021, jumlah kolong [tahun 2018] yang tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sebanyak 12.607 kolong dengan total luas 15.579,747 hektar.

Sejauh ini, mengutip bangkapos.com, kegiatan reklamasi laut seperti yang dilakukan PT. Timah Tbk, baru sebatas penenggelaman fish shelter [3.105 unit] dan artificial reef [3.840 unit], serta pembangunan penahan abrasi [talud], restocking kepiting bakau, dan penanaman mangrove.

Menurut Rizza, regulasi khusus tentang reklamasi laut di Kepulauan Bangka Belitung sangat penting, terutama untuk mengatasi lubang-lubang bekas penambangan di laut.

“Saat ini belum ada aturan spesifik mengenai reklamasi tambang lepas pantai. Ini penting, karena proses reklamasi di darat dan laut jelas berbeda, harus memahami proses oseanografi atau fenomena laut yang kompleks.”

Proses pengerukan atau penambangan laut di Kepulauan Bangka Belitung sudah dimulai sejak era kapal keruk [kolonial] hingga kapal isap seperti sekarang.

“Bisa dibayangkan, jika tidak tertutup air laut, kondisi dasar laut Bangka Belitung mirip kondisi daratannya yang dipenuhi ribuan lubang bekas tambang,” katanya.

Baca: Lubang Bekas Tambang Timah Dijadikan Lokasi Wisata, Benarkah?

 

Praktik penambangan dengan penyedotan pasir di pesisir Pulau Bangka meninggalkan lubang dengan kedalamam puluhan meter. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya pasir

Di laut, pasir punya peran penting menjaga keseimbangan ekosistem. Jika terganggu, suplainya ke lokasi lain akan terganggu.

Dr. Roby Hambali, peneliti hidrologi sekaligus dosen jurusan Teknik Sipil di Universitas Bangka Belitung, memberi contoh kasus Pulau Nipah di Provinsi Kepulauan Riau, yang terancam tenggelam beberapa tahun lalu akibat aktivitas penambangan pasir.

“Proses pergerakan pasir di pesisir pantai berjasa mengisi lubang-lubang bekas penambangan yang dilakukan di depan Pulau Nipah, sehingga ancaman tenggelamnya Pulau Nipah dapat diminimalisir,” katanya.

Sementara di Kepulauan Bangka Belitung, proses tambang timah atau pasir menyedot pasir pada lokasi tertentu di kawasan pesisir yang punya peran penting seperti kasus Pulau Nipah. Sebagai gantinya, pasir atau tanah dari tebing akan terus terkikis [abrasi].

“Dengan demikian, penambangan di pesisir jelas memberi pengaruh terhadap proses abrasi, karena mengurangi volume pasir di pesisir serta menganggu suplai pasir ke daerah lain,” lanjutnya.

Sebagai informasi, berdasarkan dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusai 1.007.372,66 hektar, atau mendekati 1.642.400 hektar total luas daratan Bangka-Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.

Masih dari dokumen yang sama, khusus jenis bahan galian non-logam [pasir, tanah liat, kuarsa, dsb.] luas totalnya mencapai 25.343,42 hektar.

Baca: Kawasan Konservasi Laut Pulau Bangka, Harapan Ditengah Dominasi Tambang Timah

 

Sejumlah lubang tambang yang tergenang air akan terlihat jelas saat kondisi surut air laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan sedimentasi di laut

Dengan alasan pembersihan sedimentasi laut, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dalam Pasal 1 disebutkan, “Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut adalah rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan/atau penjualan sedimen di laut.”

Menurut Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, pengambilan dengan cara mengeruk, mengisap dapat dikatakan sebagai kegiatan penambangan.

“Upaya pengelolaan serta pemanfaatan sedimentasi hanya melanjutkan aktivitas penambangan dan pengerukan pasir di Kepulauan Bangka Belitung, serta menambah beban kerusakan dan mengancam keseimbangan ekosistem pesisir-laut,” katanya.

Peraturan ini juga dapat meruncingkan konflik masyarakat pesisir. Ironinya, saat ini belum ada pengakuan dan  perlindungan terhadap kawasan perairan tangkap nelayan tradisional dan kawasan perairan masyarakat adat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

“Bukan tidak mungkin, konflik pada akhirnya berujung kriminalisasi terhadap masyarakat pesisir tradisional yang sejak lama menjaga dan melestarikan keberadaan ekosistem penting di kawasan pesisir-laut,” ujar Jessix.

Baca juga: Hutan Kerangas untuk Pulihkan Lahan Bekas Tambang Timah

 

Proses pengerukan sedimentasi atau pasir di Pulau Bangka akan memperparah degradasi pesisir-laut di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dr. Franto, dosen Teknik Pertambangan dari Universitas Bangka Belitung menambahkan, dalam proses implementasi PP 26 2023, fungsi pengawasan baik oleh pemerintah daerah dan masyarakat yang terkena dampak sangat penting. Alasannya, aktivitas pengerukan terkadang mengakibatkan terikutnya material-material endapan lain yang mungkin memiliki nilai ekonomis tinggi.

“Umumnya, endapan-endapan yang ada dilaut merupakan material lepas sehingga terendap berlapis. Pada area tertentu, pengayaan endapan timah yang dibarengi mineral ikutan, terkadang membawa logam-logam tanah jarang dengan persentase berbeda,” paparnya.

 

Exit mobile version