- Seekor pesut sepanjang 80-90 sentimeter, ditemukan mati di pantai Boom Pendek, Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Belitung, Minggu [07/05/2023].
- Hasil nekropsi menunjukkan, penyebab kematian diduga karena infeksi internal. Mungkin juga karena terpisah dari koloni dan bermasalah dengan ecolokasi pesut tersebut, mengingat banyaknya kapal isap atau ponton di sekitar perairan.
- Sebagai provinsi kepulauan, sekitar 79 persen dari luas total Bangka Belitung adalah lautan. Perairan ini penting sebagai habitat serta jalur migrasi penyu dan mamalia laut.
- Walhi Kepulauan Bangka Belitung mencatat, sepanjang 46,45 mil jalur migrasi mamalia laut dan 105,95 mil jalur migrasi penyu akan hilang akibat IUP timah di wilayah tersebut.
Seekor pesut sepanjang 80-90 sentimeter, ditemukan mati di pantai Boom Pendek, Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Belitung, Minggu [07/05/2023].
Petugas Resor RKE XVII BKSDA Sumatera Selatan bersama dokter hewan Karantina Pertanian Kelas II Pangkal Pinang dan PPS Alobi, segera melakukan penanganan.
“Saat kami tiba di lokasi esoknya, bangkai sudah bengkak dan kulitnya terkelupas, kemungkinan sudah mati beberapa hari sebelum ditemukan,” jelas Ahmad Fadhli Jundana, Kepala Resor RKE XVII BKSDA Sumatera Selatan, Selasa [09/05/2023].
Tidak ada bekas pancing ataupun luka tusukan. Namun, sirip kanan dan ekor tidak ada, diduga diambil oknum saat pesut tersebut mati terdampar [ada bekas sayatan benda tajam].
“Dari hasil nekropsi, penyebab kematian diduga karena infeksi internal. Mungkin juga karena terpisah dari koloni dan bermasalah dengan ecolokasi pesut tersebut, mengingat banyaknya kapal isap atau ponton di sekitar perairan,” lanjut Fadhli.
Kondisi sekitar kejadian banyak sampah berserak. Tidak jauh dari pantai banyak ponton timah apung beroperasi. Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia di situs onemap.esdm.go.id, di wilayah ini terdapat IUP milik PT. Timah Tbk seluas 7.607 hektar.
Baca: Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka
Menurut Fadhli, berdasarkan keterangan ahli mamalia laut, pesut ini jenis Irrawady Dolphin [Orcaella brevirostries] yang habitatnya di pesisir-laut. Statusnya Endangered/EN [Genting] berdasarkan IUCN Red List.
“Dia bukan sub populasi air tawar. Karena sub populasi air tawar hanya pesut mahakam [Critically endangered/kritis]. Untuk memastikannya, direkomendasikan uji genetik di Kalimantan,” lanjut Ahmad Fadhli.
Peristiwa kematian pesut bukan yang pertama kali di Pulau Bangka. Dikutip dari regional.kompas.com, pada 2019 lalu ada dua pesut mati. Pertama, di Pantai Terentang, Kabupaten Bangka Tengah, yang penyebabnya tidak diketahui. Kedua, di Sungai Upang, Desa Tanah Bawah, Kabupaten Bangka, diduga sengaja dibunuh karena ada bekas luka di kepala.
Baca: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah
Mamalia laut
Sebagai provinsi kepulauan, sekitar 79 persen dari luas total Bangka Belitung adalah lautan. Perairan ini penting sebagai habitat serta jalur migrasi penyu dan mamalia laut.
“Mamalia laut merupakan satwa yang bermigrasi secara global. Jika perairan Bangka Belitung rusak, tentu akan menganggu habitat dan sistem migrasi mamalia laut secara global,” kata Sekar Mira, peneliti mamalia laut PRO-BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], kepada Mongabay Indonesia, Selasa [09/05/2023].
Berdasarkan Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2020, mulai dari wilayah perairan Malaysia, Kepulauan Riau-Kepulauan Seribu, Pulau Anak [Kepulauan Riau] hingga Perairan Pulau Gelasa dan Perairan Pulau Ayam Besar di Belitung Timur, merupakan jalur migrasi penyu.
Sementara perairan yang ditetapkan sebagai zona migrasi mamalia laut, mulai dari Pulau Air Masin-Perairan Simpang Pesak, Pulau Gusunggurak-Tanjung Berikat, Perairan Tanjung Kelayang-Perairan Tanjung Berikat, dan Perairan Pulau Kalimambang-Perairan Tanjung Berikat.
Sekar Mira mengatakan, aktivitas pertambangan tentu akan memberikan tekanan kepada keberadaan mamalia laut, seperti kebisingan dan limbah.
“Pengaruh tekanan pertambangan dapat berupa pergeseran habitat mamalia laut, gangguan tingkah laku, gangguan kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian jika melewati ambang batas tolerir,” lanjutnya.
Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan ada sejumlah izin usaha pertambangan [IUP] tumpang tindih dengan jalur migrasi penyu dan mamalia laut dilindungi ini.
“Kami mencatat sepanjang 46,45 mil jalur migrasi mamalia laut dan 105,95 mil jalur migrasi penyu akan hilang akibat IUP timah di wilayah tersebut, karenanya harus dicabut atau dihapus,” jelasnya.
Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?
Mitigasi
Berdasarkan dokumen IKPLHD [Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusasi 1.007.372,66 hektar dari 1.642.400 hektar luas daratan Bangka Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian yang dikelola ratusan perusahaan.
Dari luasan tersebut, hampir 50 persen izin pertambangan dimiliki PT. Timah Tbk. Berdasarkan paparan tahun 2021, perusahaan ini memiliki 120 IUP dengan luas 428.379 hektar. Luas IUP Darat 288.716 hektar, sedangkan luas IUP Laut 139.663 hektar.
Dalam sejumlah penelitian, penambangan timah telah mencemari laut karena berada diatas baku mutu lingkungan [Kurniawan, Supriharyono and Sasongko, 2014], limbah atau tailing penambangan timah mengandung timbal siginifikan [Herman, 2006], sehingga dapat menyebabkan bioakumulasi logam berat pada kerang darah [Wahyuni, Sasongko and Sasongko, 2013; Handayani, Kurniawan and Adibrata, 2020].
Sementara di Kabupaten Bangka Selatan [lokasi pesut mati], kandungan logam berat [Pb] di akar lamun, air dan sedimen juga telah melewati baku mutu [Bidayani, Rosalina and Utami, 2017].
Baca juga: Ritual Bahari dan Refugia Perikanan di Bangka Belitung
Sekar Mira melanjutkan, adanya suaka atau kawasan perlindungan diperlukan sebagai tempat mamalia laut koeksis atau hidup bersama di Bangka Belitung.
Beberapa prosedur mitigasi harus diterapkan, terkait aplikasi alat berat pertambangan yang mungkin menyebabkan kebisingan bawah laut dan juga perlunya pengaturan saat penyedotan.
“Lingkungan perairan atau laut tidak dapat dibatasi, sehingga kesehatan lingkungan beserta seluruh makhluk yang hidup harus diperhatikan,” tegasnya.
Referensi jurnal:
Bidayani, E., Rosalina, D. and Utami, E. [2017] ‘Kandungan logam berat timbal [pb] pada lamun cymodocea serrulata di Daerah Penambangan Timah Kabupaten Bangka Selatan’. Maspari Journal: Marine Science Research, 9 [2], pp. 169–176.
Handayani, P., Kurniawan, K. and Adibrata, S. [2020] ‘Kandungan Logam Berat Pb Pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Darah [Anadara Granosa] di Pantai Sampur Kabupaten Bangka Tengah’. PELAGICUS, 1 [2], pp. 97–105.
Herman, D.Z. [2006] ‘Tinjauan terhadap tailing mengandung unsur pencemar Arsen [As], Merkuri [Hg], Timbal [Pb], dan Kadmium [Cd] dari sisa pengolahan bijih logam’. Indonesian Journal on Geoscience, 1 [1], pp. 31–36.
Kurniawan, K., Supriharyono, S. and Sasongko, D.P. [2014] ‘Pengaruh Kegiatan Penambangan Timah terhadap Kualitas Air Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung’. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan, 8 [1], pp. 13–21.
Wahyuni, H., Sasongko, S.B. and Sasongko, D.P. [2013] ‘Konsentrasi Logam Berat di Perairan, Sedimen dan Biota dengan Faktor Biokonsentrasinya di Perairan Batu Belubang, Kab. Bangka Tengah’. Metana, 9 [02].