Mongabay.co.id

Pekerjaan Rumah Melindungi Penyu dari Ancaman Kepunahan

 

Ketiadaan data masih menjadi pekerjaan rumah yang harus bisa dipecahkan oleh Pemerintah Indonesia jika ingin melestarikan populasi penyu. Tugas berat itu menanti, karena saat ini ada enam spesies penyu di Indonesia yang sudah dinyatakan terancam punah.

Tanpa adanya intervensi kuat dari Pemerintah dan banyak pihak lain, keberadaan Penyu hampir pasti akan menjadi sejarah di masa mendatang. Tanpa diketahui jumlah populasinya, penyu semakin terancam karena faktanya ada banyak pihak yang memanfaatkannya.

Bukan saat ini saja, tren penurunan populasi penyu sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu di seluruh dunia. Enam dari tujuh penyu yang ada di dunia, diketahui berkembang biak di perairan Indonesia. Fakta itu menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara sangat penting bagi penyu.

Walau sudah ada Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang menetapkan penyu dengan perlindungan penuh, namun melindungi penyu tetap memerlukan dukungan banyak pihak.

Itu kenapa, 26 tahun kemudian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu yang diikuti perpanjangan RAN serupa untuk periode 2022-2024 yang diterbitkan pada akhir 2022 lalu.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) KKP Firdaus Agung Kurniawan di sela kegiatan akbar 2023 Indonesia Sea Turtle Symposium and the Greater Coral Triangle Region pada pekan lalu, menyebut kalau penyu saat ini ada dalam ancaman besar dan sangat serius.

Bukan di Indonesia saja, ancaman juga terjadi di banyak negara di dunia, utamanya negara yang wilayah lautnya menjadi jalur migrasi penyu. Termasuk, Amerika Serikat yang menjadi jalur migrasi dari Indonesia secara langsung.

“Kadang-kadang kita selalu merasa Indonesia sangat kurang baik dalam manajemen (penyu), tetapi ternyata itu juga terjadi di negara-negara yang kita anggap maju,” tutur dia kepada Mongabay.

baca : Mendorong Implementasi Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu

 

2023 Indonesia Sea Para pembicara pada Turtle Symposium and The Greater Coral Triangle Region yang diselenggarakan Ditjen PRL KKP bersama Yayasan WWF Indonesia dan Yayasan Taka Indonesia pada 14-15 Juni 2023 di Jakarta. Foto : KKP

 

Salah satu masalah utama yang sering terjadi, adalah banyak penyu yang tertangkap tanpa sengaja oleh para nelayan ataupun pelaku usaha perikanan. Meski kemudian dilepaskan, namun penyu rentan menghadapi kematian saat berada di dalam jaring milik nelayan.

Hal itu diakui Firdaus Agung saat ditanyakan tentang ancaman tangkapan tak disengaja (by catch). Menurutnya, penyu memiliki kerentanan tinggi karena bernafas dengan paru-paru dan memicu kematian jika sedang terperangkap jaring dan tidak terangkat ke permukaan air.

“Jadi kalau dia bisa nongol kepalanya, masih bisa diselamatkan,” tambahnya.

Persoalan tersebut harus dihentikan, namun itu juga diakuinya tidak mudah. Pihak yang harus paham tentang kondisi tersebut, paling utama adalah nelayan dan pelaku usaha. Mereka harus bisa menentukan alat penangkapan ikan (API) yang tepat di sekitar perairan tempat mencari ikan.

Tujuannya, agar penyu tidak lagi merasa terganggu dan terancam dengan kehadiran kapal penangkap ikan, baik milik nelayan atau pelaku usaha. Tetapi, untuk memberikan pemahaman juga bukan pekerjaan mudah, mengingat instrumen yang harus dijelaskan juga rumit dan sangat banyak.

Tantangan lain yang juga sedang dihadapi saat ini, adalah fenomena perubahan iklim yang bisa berdampak buruk kepada penurunan populasi penyu. Dia menyebut, perubahan iklim sudah memicu kenaikan muka air laut dan itu terjadi di seluruh dunia.

Jika kondisi tersebut muncul, Firdaus Agung menyebut secara alamiah erosi akan naik hingga dua kali lipat dari kejadian biasa. Itu akan mengancam area peneluran (nesting ground) penyu yang biasa berlokasi di sepanjang pesisir pantai di kawasan tertentu.

baca juga : Pelepasliaran 64 Penyu Asal Australia dari Perdagangan Ilegal yang Makin Marak

 

Tukik yang menetas dari telur penyu sisik yang direlokasi dari Pulau Bokor, Kepulauan Seribu Jakarta, itu berhasil hidup. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Jika area nesting mengalami kerusakan, maka sebesar apa pun upaya konservasi penyu akan berakhir sia-sia. Karena penyu akan memakai nesting untuk menetaskan telur-telurnya, dan mereka dipastikan tidak akan bisa menetas kalau nesting tidak ada.

“Jadi, kalau pantai rusak karena erosi, maka penyu akan mencari pantai yang lain. Masalahnya, penyu tidak bisa sembarangan memilih pantai untuk bertelur. Jadi, tidak semua pantai bisa dibuat nesting,” ucap dia.

 

Koleksi Data

Tentang ketiadaan data tentang penyu, Direktur Program Kelautan dan Perikanan Yayasan WWF Indonesia Imam Musthofa Zainudin mengakui bahwa itu menjadi persoalan pelik. Tanpa data yang valid dan kuat, setiap program perlindungan penyu akan berjalan tidak maksimal.

Namun, dia mengaku tidak ingin terpengaruh dengan kondisi tersebut dan justru akan fokus untuk memaksimalkan segala potensi yang ada untuk menjalankan program perlindungan penyu di seluruh wilayah perairan Nusantara.

Dia bersama tim akan memaksimalkan sumber daya yang ada dengan didukung RAN Konservasi Penyu yang sudah berlanjut ke periode kedua saat ini. Meski sulit, namun dia tetap akan berusaha agar penyu di Indonesia bisa tetap lestari.

Pada kesempatan yang sama, Chief Operating Officer Yayasan WWF Indonesia Lukas Adhyakso menerangkan, komitmen jangka panjang konservasi penyu di Indonesia sudah dijalankan lebih dari 30 tahun. Salah satu tujuannya, agar kepunahan spesies bisa mencapai nol.

Agar itu bisa tercapai, maka diperlukan intervensi dari semua pihak yang menjadi mitra WWF, untuk mengurangi ancaman dengan cara meminimalkan penangkapan insidental, mengakhiri perdagangan ilegal spesies yang dilindungi, dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup spesies.

“Indonesia sebagai bagian dari kawasan segitiga terumbu karang merupakan rumah bagi spesies kunci seperti hiu, pari, penyu, dan mamalia laut lain. Karenanya, habitat kritis perlu dikelola dengan langkah nyata untuk mendukung pelestarian dan penyelamatan populasi,” tegas dia.

baca juga : Miris, Sebanyak 43 Penyu Kembali akan Diperdagangkan di Bali

 

Seekor penyu berenang di kawasan padang lamun dengan polusi limbah plastik berupa sarung tangan sekali pakai. Foto : shutterstock

 

Di sisi lain, walau RAN Konservasi Penyu periode 2022-224 sudah diterbitkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 65 Tahun 2022, namun tetap saja itu tidak akan cukup untuk mengatur penyu yang jumlahnya tidak diketahui.

Sedangkan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengatakan, penyu adalah spesies laut yang beruaya jauh dan melewati batas-batas negara. Sifat tersebut membuat penyu memerlukan pengelolaan bersama (co-management) yang bersifat transnasional (transboundary) dengan negara lain, baik dalam cakupan wilayah regional atau global.

Karenanya, diperlukan keterlibatan banyak pihak agar konservasi penyu bisa berjalan sesuai harapan. Utamanya, dalam mewujudkan RAN yang proses perumusannya pun memerlukan dukungan dan keselarasan data ilmiah.

Meskipun, pada kenyataannya studi/data ilmiah tentang persebaran, jumlah populasi, aspek bioekologi, ancaman serta sosial ekonomi terhadap keberlangsungan penyu masih sangat terbatas. Kesenjangan informasi menjadi tantangan bersama secara regional, khususnya pada kawasan segitiga terumbu karang.

menarik dibaca : Sarwidi, Mantan Pemburu Jadi Juru Selamat Penyu

 

Menjaga telur penyu dari perburuan dan melepaskan tukik ke laut adalah tugas kita bersama. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Victor menyebut, penyu adalah salah satu dari 18 jenis biota perairan dilindungi/terancam punah yang diprioritaskan upaya konservasinya. Selain itu, enam dari tujuh jenis penyu juga sudah ditetapkan oleh KKP masuk dalam prioritas konservasi.

Keenamnya adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus), dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Ahli Utama Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Agus Dermawan mengatakan, walau kerja diperlukan dengan banyak pihak, namun Indonesia termasuk baik dalam melaksanakan pengelolaan penyu. Termasuk, paling lengkap untuk kepemilikan regulasi perlindungan penyu.

Dia menyebut, salah satu bentuk perhatian Indonesia adalah memberikan perlindungan penuh kepada penyu belimbing yang secara fisik menjadi paling besar dibanding enam jenis lainnya yang ada di dunia.

Uniknya, penyu belimbing disebut sebagai salah satu fosil pra sejarah yang masih hidup sampai sekarang. Beragam bentuk dan aksi penyelamatan pun dilakukan oleh banyak pihak agar penyu yang sering disebut flagship mission itu bisa tetap lestari.

“Namun, karena itu juga, penyu belimbing menjadi yang paling rentan dari aspek umur. Dia juga semakin langka dibandingkan dengan penyu lainnya,” ungkap dia.

baca juga : Belasan Tahun Menghilang, Penyu Belimbing Muncul Kembali di Pantai Paloh

 

Setelah belasan tahun menghilang, seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea) mendarat di Pantai Sungai Belacan, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, pada 15 September 2021. Foto : BPSPL Pontianak

 

Makhluk Purba

National Coordinating Committee (NCCs)/Partners/Private Sectors Officer at The Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) Michael Tampongangoy pada momen yang sama juga menjelaskan kalau penyu bukan hanya makhluk yang menawan, namun juga penyumbang penting kesehatan laut.

Dia menyebut, penyu adalah makhluk luar biasa karena sudah ada di Bumi selama jutaan tahun. Namun, saat ini mereka sedang menghadapi ancaman terhadap kelangsungan hidupnya. CTI-CFF punya kepentingan untuk melindungi dan proaktif berperan dalam konservasi mereka.

Melalui upaya kolaboratif, CTI-CFF berusaha memperkuat perlindungan penyu dengan mengatasi berbagai tantangan. Juga, melalui Rencana Aksi Regional (RPOA) 2.0, CTI-CFF mengidentifikasi tindakan dan strategi utama untuk memitigasi berbagai ancaman kepada penyu dan meningkatkan kelangsungan hidup penyu dalam jangka panjang.

Tindakan ini mencakup berbagai inisiatif, termasuk konservasi dan pemulihan habitat, pengelolaan perikanan berkelanjutan, penguatan legislasi dan penegakan hukum, keterlibatan dan kesadaran masyarakat, serta penelitian, dan pemantauan.

“Konservasi penyu bukan hanya tanggung jawab kita saja, itu adalah tugas bersama. Kita dapat melindungi makhluk-makhluk luar biasa ini dengan kekuatan bersama sekaligus mengamankan masa depan yang menjanjikan bagi segitiga terumbu karang dan generasi yang akan datang,” pungkas dia.

baca juga : Tantangan Konservasi Penyu Sumbawa Barat : Pejabat hingga Pelajar Doyan Makan Telur Penyu (Bagian 1)

 

Seekor Penyu Tempayan (Caretta caretta) yang terdapat di perairan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Herry Jeremias

 

Perdagangan Ilegal Penyu

Koordinator Kelompok Pengawasan Konservasi Perairan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) KKP Iim Naimah mengungkapkan kalau ancaman kepunahan penyu juga berasal dari aktivitas perdagangan ilegal yang selama ini berjalan.

Menurut dia, ada tiga negara yang selama ini menjadi tujuan perdagangan ilegal penyu dari Indonesia, yaitu Cina, Malaysia, dan negara di kawasan Timur Tengah. Dari catatan Ditjen PSDKP KKP, sepanjang 2014 hingga 2018, ada tiga aktivitas perdagangan, yaitu penjualan penyu, sisik penyu, dan telur penyu.

Mengingat tingginya aktivitas perdagangan ilegal, Pemerintah Indonesia mendorong masyarakat untuk berkontribusi secara langsung dalam upaya konservasi penyu di Indonesia. Diharapkan, masyarakat bisa aktif untuk terlibat dan terus memahami kerentanan yang dialami penyu.

Secara teknis, Iim Naimah menyebut kalau pengawasan terhadap penyu dilakukan oleh Petugas Pengawasan Perikanan dan Kelompok Masyarakat Pengawas. Keterlibatan mereka, dinilai sudah berkontribusi terhadap penurunan perdagangan ilegal saat ini.

“Perdagangan illegal penyu marak pada tahun 2014 sampai 2018, setelah itu mengalami penurunan, bahkan tidak ditemukan laporan pelanggarannya. Pelanggaran eksisting, berupa pemanfaatan penyu/telur/aksesori untuk perdagangan lokal, dan konsumsi masyarakat,” terang dia.

baca juga : ShellBank, Aplikasi untuk Memutus Perburuan dan Perdagangan Penyu Ilegal

 

Barang bukti berupa 21 ekor penyu hijau yang diamankan dari tersangka MJ di Kantor Polaair Benoa, Bali, 30 April 2023. Foto : Arsip Polair Benoa Bali

 

Peneliti penyu dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar, Windia Adnyana yang tampil pada plenary session hari kedua, mengatakan bahwa penyu sangat berharap pada tempat peneluran yang ada di pesisir pantai.

Semakin bagus nesting point, maka semakin besar harapan hidup penyu. Oleh karena itu, nesting point menjadi indikator utama keberadaan penyu dan menjadi bentuk kesuksesan dari upaya konservasi penyu.

Namun dia menambahkan, agar nesting bisa bagus, maka kesehatan pesisir pantai juga menjadi sangat penting. Selain itu, tempat mencari makanan (feeding ground) juga harus sama baiknya untuk bisa mendukung penyu bermigrasi ke nesting.

“Kehidupan penyu dimulai dari nesting point di pantai,” ungkap dia.

Agar pantai bisa tetap sehat dan nesting berfungsi baik, maka kelestarian harus bisa dijaga sama baiknya. Mengingat, saat ini sudah banyak pantai yang mengalami degradasi akibat banyak faktor. Kondisi itu jika dibiarkan, akan mengancam nesting yang sangat berharga bagi penyu.

Diketahui, perlindungan penuh penyu sudah diatur oleh regulasi internasional melalui Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dan Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).

IUCN memasukkan tujuh jenis spesies penyu yang ada di dunia ke dalam daftar merah dengan status terancam punah, langka dan rentan kecuali, penyu pipih (Natator depressus) yang kurang datanya.

Sementara, CITES sudah memasukkan tujuh spesies penyu ke dalam kelompok Apendiks 1 sejak 1981. Itu berarti, CITES melarang seluruh spesies penyu diperdagangkan dalam bentuk apa pun di dunia.

 

Tukik atau anak penyu yang dilepaskan oleh masyarakat di Pantai Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh ke laut, Sabtu (18 Maret 2017). Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version