Mongabay.co.id

Reklamasi Pulau Tengah Akibatkan Kerusakan Lingkungan di Gugusan Pulau Pari

 

Kasus reklamasi yang terjadi di Teluk Jakarta rupanya tidak memberi efek jera kepada banyak pelaku usaha di Negeri ini. Kegiatan penimbunan perairan untuk membentuk daratan baru itu, rupanya masih diminati oleh banyak pelaku usaha atau pun pelaku bisnis lainnya di Indonesia.

Salah satu yang sedang menjadi sorotan beberapa bulan terakhir ini, adalah kegiatan reklamasi yang berjalan di perairan pulau Tengah yang menjadi bagian dari gugusan pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengkritik kegiatan reklamasi itu sebagai upaya untuk merusak ekosistem di perairan pulau Tengah. Material untuk menimbun pantai dan perairan diduga kuat berasal dari substrat dan terumbu karang dari perairan tersebut.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menilai, praktik penimbunan perairan yang dilakukan oleh pengembang yang melakukan privatisasi pulau Tengah itu, merupakan bentuk sikap abai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“KKP abai dalam pengawasan, penindakan, dan sanksi kepada pelaku pengerusakan laut Indonesia” tegasnya belum lama ini di Jakarta.

baca : Ancaman Penguasaan Pulau untuk Pribadi di Kepulauan Seribu

 

Sebuah ekskavator sedang mengurug lahan untuk reklamasi di Pulau Tengah (H Island), Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Foto : Walhi Jakarta

 

Menurut dia, sikap yang diperlihatkan KKP itu patut dipertanyakan, mengingat praktik penimbunan pesisir pantai dan perairan seperti di pulau Tengah, adalah bentuk kegiatan yang bisa merusak lingkungan dan ekosistem perairan.

Selain merusak, reklamasi juga akan memicu dampak kerugian bagi semua pihak yang biasa beraktivitas di wilayah perairan tersebut. Misalnya saja, para nelayan, pembudidaya ikan, masyarakat pesisir, dan atau pembudidaya rumput laut.

“Mereka ini seharusnya hak-haknya dihormati dan dilindungi. Hal itu, karena praktik penimbunan pantai dan perairan juga merupakan kegiatan yang dilarang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” sebutnya.

Susan mengatakan, jika melihat hasil identifikasi spasial, penimbunan pantai dan perairan di pulau Tengah sudah dimulai sejak 2011 dengan luas sudah mencapai 9 hektare. Namun, penambahan luasan diperkirakan sudah bertambah lagi secara signifikan pada saat ini.

Selama kegiatan reklamasi berjalan hampir 12 tahun di perairan pulau Tengah, muncul dampak negatif berupa kerusakan ekosistem perairan. Penyebabnya, karena material reklamasi adalah mengambil terumbu karang yang sudah mati untuk pondasi.

Apa yang sedang terjadi di perairan pulau Tengah itu, dalam penilaian KIARA menjadi gambaran tentang implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yaitu penambangan pasir laut.

Walau itu menjadi bentuk miniatur, namun kegiatan di perairan pulau Tengah bisa mewakili dampak buruk eksploitasi pasir laut sebagai substrat alami di perairan. Kegiatan yang masif diklaim Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

“Tetapi kenyataannya akan terjadi seperti yang di Pulau Tengah, karena akan digunakan untuk menimbun pantai dan perairan, dan pada akhirnya akan terjadinya perusakan ekosistem pesisir secara masif dan legal,” ungkapnya.

baca : Pertama dari Indonesia, Gugatan Iklim Warga Pulau Pari pada Holcim

 

Sebuah ekskavator sedang mengurug lahan untuk reklamasi di Pulau Tengah (H Island), Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Foto : Walhi Jakarta

 

Mengingat ancaman kerusakan ekosistem pesisir dan laut sudah di depan mata, KIARA mengecam keras sikap abai yang diperlihatkan KKP sampai saat ini. Tidak seharusnya, praktek reklamasi dibiarkan di perairan pulau Tengah, karena itu akan berdampak luas ke banyak aspek kehidupan.

“Hal tersebut jelas sangat merugikan nelayan yang memanfaatkan gugusan perairan pulau Pari sebagai ruang yang difungsikan nelayan untuk berbagai aktivitas yang berkelanjutan,” tambah Susan.

Dengan segala resiko dan ancaman degradasi lingkungan yang dihadapi di perairan pulau Tengah, Pemerintah seharusnya bisa bertindak tegas dengan memberikan sanksi kepada pengembang. Lebih dari itu, kegiatan reklamasi juga harus dihentikan tanpa alasan apa pun.

Menurut dia, sanksi pidana bisa diberikan kepada pengembang dengan merujuk pada UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tindakan tersebut wajib dilaksanakan, karena Pemerintah menjadi pengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan perairan yang melingkupinya.

“Sudah seharusnya KKP menunjukkan wibawa dan perannya kepada nelayan dan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil, dengan cara menindak tegas pengembang Pulau Tengah. Buktikan ketegakan KKP kepada nelayan pulau Pari, bukan tunduk kepada Investor!” tegas dia.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) Mustaghfirin menjelaskan bahwa kegiatan reklamasi di wilayah tempat tinggalnya memang sudah memicu banyak kerugian. Tidak hanya bagi dirinya sebagai nelayan tradisional, namun juga masyarakat pesisir dan pihak lain yang biasa memanfaatkan perairan pulau Tengah sebagai tempat mencari nafkah.

Dia menyebut, privatisasi yang dilakukan pelaku usaha di pulau Tengah, sudah menyebabkan nelayan lokal harus kehilangan hak konstitusionalnya dalam mengakses seluruh perairan di gugus kepulauan Pari.

Salah satu contoh hilangnya hak konstitusional, adalah nelayan sering kali mengalami pengusiran saat berada di laut dan hendak mendekat ke perairan pulau Tengah. Bentuk lainnya, adalah sulitnya akses untuk beraktivitas budi daya perikanan dan rumput laut di sekitar perairan tersebut.

baca juga : Maldivikasi Pulau Seribu: Kapitalisasi Ruang atau Perlindungan?

 

Kondisi pesisir Pulau Tengah (H Island), Kepulauan Seribu, DKI Jakarta yang direklamasi. Foto : Kiara

 

Kehilangan Akses

Paling mutakhir, kondisi ironis sudah dialami nelayan dan masyarakat pesisir di sana, karena jalur untuk melintasi perairan dangkal di pulau Tengah sudah ditutup oleh pengembang. Penutupan dilakukan menggunakan material pasir, batu dan terumbu karang mati.

“Lokasi pengerukan dan penimbunan perairan yang saat ini tengah dilakukan merupakan lokasi yang sebelumnya sehari-hari kami sebagai nelayan kecil manfaatkan. Lokasi itu nelayan kecil manfaatkan sebagai tempat pasang jaring, sero, dan bubu,” papar dia.

Dia menyebut kalau lokasi tersebut juga dimanfaatkan oleh perempuan nelayan sebagai tempat mencari kerang dan ikan lainnya, seperti udang dan teripang. Lokasi itu dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan alat tangkap ramah lingkungan sejak tujuh generasi sebelumnya.

“Tetapi saat ini akses kami telah diputus untuk ke lokasi tersebut,” pungkas dia.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin belum lama ini juga menyampaikan pandangannya tentang ancaman kerusakan lingkungan dan ekosistem pesisir dan laut di wilayah perairan pulau Tengah di gugusan pulau Pari.

Menurut dia, secara umum kalau Indonesia saat ini sedang mengalami ancaman krisis iklim yang bisa menenggelamkan desa di pesisir dan pulau-pulau kecil. Sepanjang 2017-2020, krisis iklim di Tanah Air sudah merendam lebih dari 5.400 desa pesisir.

“Lebih dari itu, lebih dari 20 pulau-pulau kecil di Indonesia telah tenggelam karena percepatan air laut,” terang dia.

Tak hanya dampak yang sudah terjadi, dia memprediksi dalam beberapa dekade berikutnya akan muncul juga ancaman pulau tenggelam di Indonesia. Utamanya, 83 pulau kecil terdepan yang berada di perbatasan, serta 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia karena percepatan kenaikan air laut.

baca juga : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?

 

Panorama Pulau Tengah (H Island), Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan beberapa vila private milik seorang pengusaha. Foto : instagram indrasutantoo

 

Juru Kampanye WALHI Jakarta Muhammad Aminuddin pada kesempatan berbeda menyebut kalau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diduga kuat tidak mengetahui kegiatan reklamasi dan pengerukan dasar laut yang berjalan di perairan pulau Tengah.

Dugaan tersebut mengemuka, karena sampai sekarang belum ada tindakan penghentian kegiatan reklamasi dan pengerukan dasar laut oleh Pemprov DKI. Meskipun, dua kegiatan tersebut berdampak buruk bagi keberlanjutan ekosistem laut dan menghambat akses masyarakat di sana.

Ketidaktahuan Pemprov DKI itu, kemudian meningkat menjadi sikap tidak serius. Hal itu terlihat dari respon laporan masyarakat tentang dua kegiatan tersebut yang disampaikan FPPP dan WALHI Jakarta melalui surat pada April 2023.

Menindaklanjuti surat tersebut, pada Senin (31/7/2023), Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta sebagai penerima disposisi dari Penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, memfasilitasi pertemuan antara masyarakat, Walhi Jakarta dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.

“Sayangnya, pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh beberapa Instansi Pemerintah DKI Jakarta yang berkaitan,” ucap dia.

Bagi WALHI Jakarta, pertemuan itu menjadi preseden buruk bagi perlindungan lingkungan hidup, terutama pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Jakarta. Jelasnya, karena lima dari delapan instansi yang diundang tidak menghadiri pertemuan tersebut.

“Kalau Pemerintah serius, mereka harusnya datang, terlebih kami sudah menunggu tiga bulan untuk pertemuan tersebut,” tambah dia.

Selain itu, Muhammad Aminullah juga menyayangkan minimnya informasi yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta mengenai aktivitas reklamasi di perairan pulau Tengah. Dugaan itu menguat, karena saat pertemuan dengan SKPD, wakil dari instansi justru saling bertanya tentang kepemilikan lahan dan perizinan pulau Tengah.

“Pemerintah benar-benar lalai dalam melindungi pesisir dan pulau-pulau kecil. Bagaimana bisa ada reklamasi yang telah terjadi bertahun-tahun dan merusak lingkungan serta wilayah kelola rakyat, tapi Pemerintah tidak tahu dasar aktivitasnya?” jelas dia.

 

Panorama Pulau Tengah (H Island), Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan beberapa vila private milik seorang pengusaha. Foto : instagram febrydrone

 

Sementara itu, Syahroni Fadhil dari Divisi Advokasi Walhi Jakarta menyampaikan bahwa krisis iklim telah menyebabkan sejumlah pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu tenggelam. Dari catatan WALHI Jakarta, dia menyebut kalau ada tujuh pulau kecil sudah hilang akibat kenaikan air laut.

WALHI Jakarta memiliki analisis tentang kegiatan reklamasi dan pengerukan dasar laut di perairan pulau Tengah. Selama periode 2013-2022 saja, kegiatan pengerukan dasar laut sudah meluas hingga 14 ha dan reklamasi meluas hingga 15 ha di pinggiran pantai.

“Kegiatan tersebut menambah luasan pulau Tengah, dari semula luas delapan hektare menjadi 20 hektare,” ungkapnya.

Fakta lainnya, kegiatan reklamasi di perairan pulau Tengah juga berdampak pada penurunan kualitas air laut dan memengaruhi produksi budi daya rumput laut yang mayoritas hasil produksinya dikelola oleh perempuan untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarga.

Di sisi lain, sejak 2013 pengelola Pulau Tengah tidak memperkenankan masyarakat beraktivitas di sekitar pulau, seperti memancing ikan, mencari kerang, menanam bubu, dan sebagainya. Selain itu, aktivitas budi daya rumput laut di sekitar pulau Tengah pun sudah tidak diperbolehkan karena dianggap mengganggu aktivitas keluar masuk kapal ke pulau.

“Pada tahun 2018, bahkan seorang nelayan pulau Pari yang tengah menjaring ikan di sekitar 100 meter dari pulau Tengah, diperingatkan agar tidak memancing di wilayah tersebut,“ pungkasnya.

Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono akan melihat aktivitas reklamasi di Pulau Tengah usai disorot organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta bersama Forum Peduli Pulau Pari (FP3). Reklamasi itu dilakukan pengembang di Pulau Tengah yang berada dalam Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu Selatan.

“Nanti ke sana aja, kita lihat ke sana,” kata Heru Budi usai meninjau ketersediaan stok daging menjelang Hari Raya Idul Fitri di PD Dharma Jaya, Jakarta Timur, Selasa, 18 April 2023 seperti dikutip dari tempo.co.

 

 

Exit mobile version