Mongabay.co.id

Menanti Presiden yang Punya Komitmen Serius untuk Transisi Energi Berkeadilan [1]

 

 

 

 

Transisi energi terus Pemerintah Indonesia gaungkan. Meskipun begitu, tak sekadar beralih dari energi kotor ke terbarukan. Transisi energi harus berkedilan dan berkelanjutan itu yang menjadi desakan berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil kepada pemerintahan selanjutnya. Mereka mendesak,  calon presiden dan wakil presiden memiliki solusi energi yang baik untuk lingkungan, masyarakat,  bukan solusi palsu.

Dalam sektor energi, salah satu yang perlu didorong adalah meninjau kembali industri nikel tanah air. Selama ini, keberpihakan pemerintah terhadap investor membuat industri ini berjalan ugal-ugalan dan berdampak pada masyarakat maupun lingkungan.

Putra Adhiguna, analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyayangkan tak ada posisi tawar kuat dari pemerintah dalam industri nikel ini. Padahal, Indonesia memiliki cadangan nikel tinggi di dunia.

“Akibatnya, safeguard di lapangan tak berfungsi. Kita bisa melihat dari imbas di lapangan, baik dari sisi perizinan, efek pertambangan pada lingkungan, dan keselamatan pekerja di smelter-smelter,” katanya.

Kondisi ini,  terjadi karena pemerintah kalah oleh kecepatan pertumbuhan nikel. Dia mencatat,  industri ini mengalami kenaikan delapan kali lipat sejak 2015, dan diperkirakan naik dua kali lipat dari 2023 ke 2030.

Jadi, produksi nikel diprediksi meningkat dari 1,5 juta ton jadi 3 juta ton per tahun. “Kecepatan-kecepatan inilah yang seolah memperlihatkan kalau pemerintah mengakomodir pasar, yang penting masuk investasi,” kata Putra.

Hal ini disayangkan Putra, karena seharusnya Indonesia bisa jadi pemain utama dan membuat pasar tunduk akan ketentuan dalam negeri.

Menurut dia, pasar nikel tak seperti batubara. Batubara, katanya,   Indonesia hanya punya 1%-3% cadangan dunia hingga tak memiliki posisi tawar.

“Untuk nikel, sebagai negara yang katanya punya 40% produksi atau 20 sekian persen dari reserve dunia, kita miliki posisi tawar yang kuat. Nah, kenapa bisa bablas (pengamanan lingkungan dan sosialnya)? Itu pertanyaan politik yang harus dijawab,” katanya.

 

Aksi warga Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat (Jatayu). Warga menolakoperasional PLTU I Indramayu yang menimbulkan masalah bagi mereka, seperti berupa asap batubara pada akhir Oktober 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Masalah lingkungan dan HAM

Industri nikel juga mendesak jadi perhatian pemerintah di periode berikutnya karena efeknya terhadap lingkungan dan HAM. Kajian Prakarsa terhadap pemberitaan di media massa mengonfirmasi ini.

“Bisa disimpulkan kalau ada aktivitas pertambangan dan smelter nikel itu berkaitan dengan kerusakan lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air laut dan air tanah, pencemaran udara, serta pelanggaran HAM,” kata Rico Nurmansyah, peneliti Prakarsa.

Pelanggaran HAM yang ditemukan antara lain sengketa lahan, pelanggaran hak pekerja, kelompok perempuan sampai masyarakat adat. Hal ini membuat pertanyaan terhadap penerapan konsep keadilan energi mulai dari keadilan pengakuan, prosedural, distribusional dan restoratif jadi pertanyaan dalam aktivitas pertambangan dan smelter nikel.

“Karena pelanggaran terhadap HAM dan pencemaran lingkungan, ketiadaan upaya mitigasi dan preventif dari petambang, minim pelibatan masyarakat, hingga perampasan lahan dialami masyarakat adat dan masyarakat sekitar pertambangan.”

Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia juga bagian dari Koalisi Responsibank bersama dengan Prakarsa melakukan kajian dengan tema sama. TuK Indonesia mengkaji dampak lingkungan dan HAM melalui studi lapangan di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Bahodopi, Sulawesi Tengah.

Dalam kajian itu, TuK Indonesia menemukan beragam kerusakan lingkungan seperti pencemaran air, udara, dan pembukaan hutan yang cukup masif. Hal ini justru bertolak belakang dengan indeks kualitas tutupan lahan (IKTL) dan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) Bahodopi yang masing-masing berada dalam kategori sangat baik dan baik.

“Kami lihat ada celah dalam IKLH, karena secara nasional semua provinsi berada dalam kategori baik. Kalau riset langsung secara spesifik, dengan pencemaran, masyarakat tak bisa lagi melaut,” kata Novilyana Onora, peneliti TuK Indonesia,.

Dalam menguji pencemaran air ini, Novi dan tim mengambil sampel air pada Sungai Bahodopi dan Fatuvia serta sampel air laut di Desa Labota.

Selanjutnya,  hasil laboratorium mengacu pada klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaa lingkungan hidup.

Hasilnya, terdapat biochemical oxygen demand (BOD), dissolved oxygen (DO), total coliform dan total fosfat yang tak sesuai dengan baku mutu di Sungai Fatuvia. Juga, parameter BOD dan chemical oxygen demand (COD) yang melebihi baku mutu di Sungai Bahodopi.

Untuk laut Labota, penelitian menunjukkan parameter suhu, total suspended solid (TSS), DO, BOD, orto fosfat, nitrat dan detergen (MBAS) yang tak sesuai baku mutu.

Dalam paparan, perempuan yang akrab disapa Novi mengatakan, makin tinggi BOD mengindikasikan tercemarnya perairan, dan DO berkurang membuat aktivitas kehidupan dalam suatu perairan terganggu.

“Kualitas air laut tak baik, suhu tinggi dan oksigen rendah membuat ikan tak bisa hidup di perairan ini. Belum lagi dengan timbal tinggi. Ini membuat nelayan sulit mendapatkan ikan, kalaupun ada, ukuran jadi lebih kecil. Masyarakat pun tidak bisa panen rumput laut,” katanya.

 

Masyarakat secara perorangan bisa kembangkan surya atap. Sayangnya, aturan pemerintah setengah hati.  Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Untuk pencemaran udara, hasil analisis laboratorium menunjukkan parameter sulfur dioksida (SO2) melebihi baku mutu di PP 22/2021.

“SO2 ini bersifat toksik. Setiap tubuh ada ambang batas yang mampu diterima polutan itu. Jika dalam waktu lama menghirup ini, maka berpotensi sebabkan kerusakan organ reproduksi,” katanya.

Terkait deforestasi, katanya, pembukaan lahan untuk pertambangan banyak di kawasan hutan. Ini terlihat dari hasil deliniasi wilayah pertambangan berdasarkan interpretasi citra penginderaan jauh.

Berdasarkan catatan mereka, pertambangan jadi sektor pengguna lahan terbesar kedua mencapai 7.451,704 hektar atau 5,4% dari luas Bahodopi.

Sebelumnya, dari perhitungan TuK terhadap indeks tutupan lahan, Kecamatan Bahodopi mendapatkan skor 103,77 atau kategori sangat baik.

“Kondisi ini berbanding terbalik ketika ada di lapangan. Pertambangan dan pembukaan lahan cukup banyak di kawasan hutan.”

Kalau dideliniasi,  katanya, pembukaan banyak di lereng yang dapat meningkatkan risiko bencana.

Abdul Haris,  Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik TuK Indonesia menyebut,  Indonesia jadi negara tertinggi di dunia yang mengalami kerusakan hutan tropis akibat pertambangan. Sekitar 58,2% deforestasi hutan tropis karena pertambangan dari Indonesia.

“Ini membuktikan kalau aktivitas ini dari hulu sudah melakukan perusakan,” katanya.

Perusakan kawasan hutan karena pertambangan, termasuk nikel, kata Haris,  membuat hutan terkonversi serta merampas wilayah masyarakat adat dan lokal.

“Di Sulawesi Tengah dan Maluku,  ada banyak masyarakat adat melakukan perlawanan.”

Pengabaian hak masyarakat ini juga diperparah praktik di pertambangan dan smelter yang tak manusiawi. Berdasarkan catatan TuK Indonesia, hanya ada satu rumah sakit di Morowali yang mustahil bisa mengakomodir kebutuhan dari kegiatan yang berisiko tinggi ini.

Rumah sakit lain yang terdekat berada di Kota Palu dengan jarak sekitar 600 km dari IMIP. “Mobilisasi penduduk di kawasan ini mencapai 10 kali lipat dalam waktu lima tahun terakhir. Ini tidak sesuai kapasitas kawasan,” katanya.

Haris bilang, industri nikel, tak berkontribusi baik bagi kesejahteraan masyarakat.

Ada 396.000 penduduk miskin dari 3.021.879 jiwa penduduk Sulawesi Tengah dan 84.000 penduduk miskin dari 1.319.338 jiwa penduduk Maluku Utara.

Ironisnya, dua provinsi ini memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar di Indonesia dengan masing-masing mengalami pertumbuhan 16,49% dan 23,89%.

“Dua provinsi ini juga ada di dalam 10 besar provinsi dengan kemiskinan tertinggi.” (Bersambung)

 

Begini penampakan area tambang nikel di Pulau Obi. Nikel yang jadi bahan baju pembuatan baterai listrik ini menciptakan banyak masalah saat eksploitasi di lapangan, dari kerusakan lingkungan hidup sampai pelanggaran  HAM. Foto: Rabul Swal/ Mongabay Indonesia

 

***** 

Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [1]

Exit mobile version