Mongabay.co.id

Dorong Segera Eksekusi Hukuman Perusahaan Sawit PT JJP

 

 

 

 

 

Putusan kepada perusahaan perkebunan sawit, PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) sudah berkekuatan hukum tetap beberapa tahun lalu tetapi hingga kini belum ada eksekusi. Berbagai kalangan pun mendesak pihak berwenang segera menjalankan putusan pengadilan ini.

Baru-baru ini perusahaan perkebunan sawit ini malah kedua kali menggugat Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Bambang Hero Saharjo, yang jadi ahli dalam persidangan. Belakangan perusahaan cabut gugatan terhadap ahli forensik kehutanan ini.

Raynaldo Sembiring,  Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, peluang kriminalisasi ahli forensik kehutanan masih terbuka lebar perusahaan sawit ini lakukan untuk menakut-nakuti sambil menunda eksekusi putusan pengadilan. Untuk itu,  eksekusi hukum terhadap perusahaan sawit  ini harus segera dijalankan.

“Eksekusi putusan harus dilakukan. Yang saat ini dilakukan perusahaan tidak mau menjalankan kewajibannya, malah mencari cara menunda-nunda atau mengakali agar putusan tidak dijalankan, atau eksekusi tidak bisa dijalankan,” kata Dodo, sapaan akrabnya.

Perusahaan perkebunan sawit, JJP ini diputus bersalah karena kebakaran lahan di konsesi mereka pada 2013 dan kena sanksi membayar ganti rugi Rp119,8 miliar. Perusahaan sawit ini juga harus melakukan perbaikan lingkungan terhadap lahan terbakar seluas 1.000 hektar dengan biaya Rp371,1 miliar.

Putusan sudah berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah Agung menolak kasasi JJP beberapa tahun lalu, tetapi perusahaan perkebunan sawit belum membayar kewajiban mereka sama sekali.

Alih-alih menjalankan hukum, JJP justru menggugat Bambang Hero pada 2018 dan 2024, dengan mempersoalkan kesaksian guru besar IPB University ini.

Perusahaan berkilah kebakaran terjadi di lokasi mereka hanya 120 hektar, berbeda dengan kesaksian Bambang yang menyebut kebakaran hingga 1.000 hektar.

“Sifat eksekusi itu pertama, dia (perusahaan), harusnya sukarela menjalankan. Tapi dia malah melakukan SLAPP (strategic lawsuit against public participation). Ini bentuk penghinaan terhadap institusi pengadilan,” katanya.

Dodo menekankan kembali pentingnya menyegerakan eksekusi putusan JJP. “JJP harus betul-betul ditagih kewajibannya untuk menjalankan putusan pengadilan, supaya upaya perlawanan ini bisa dihentikan.”

 

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar IPB University, ilmuwan spesialis forensik kebakaran hutan dan lahan yang sempat dua kali kena gugatn perusahaan perkebunan sawit, PT JJP.  Foto: dari screenshot video Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, sangat tidak masuk akal JJP tidak jalankan putusan pengadilan karena keterbatasan aset atau ketidakmampuan menyewa pengacara. Pasalnya, dari riset Walhi Riau setidaknya JJP memiliki pendapatan kotor Rp47 miliar dalam sebulan.

“Menurut saya, ini lebih karena ketidakmauan membayar atau melakukan tindakan pemulihan. Jadi,  PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Utara harus segera koordinasi dengan PN di Rokan Hilir dan koordinasi dengan aparat untuk segera eksekusi secepatnya,” kata Dodo.

Boy Jerry Even Sembiring,  Direktur Eksekutif Walhi Riau menyebut,  temuan itu berdasarkan analisis spasial dan pengecekan di lapangan. Secara spesifik, tim Walhi Riau melkukan identifikasi terhadap usia tanaman, potensi panen serta perhitungan terendah dengan harga sawit selama enam bulan terakhir.

“Kalau dihitung dengan proses eksekusi, lamanya putusan inkracht, kekayaan lain dan indikasi menanam di luar HGU (hak guna usaha), dengan menabung beberapa bulan saja perusahaan harusnya tidak susah mengeksekusi putusan pengadilan,” kata Boy.

Apalagi,  katanya, dengan pendekatan pemilik manfaat (beneficiary ownership), bisa terlacak lebih jauh kekayaan lain JJP hingga eksekusi bisa dilakukan. “Sangat relevan perusahaan ini didorong untuk eksekusi lebih lanjut.”

 

 

Dorong segera eksekusi

Terkait putusan pengadilan dalam perkara lingkungan hidup yang tidak kunjung dieksekusi, Nani Indrawati,  Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung menilai,  perlu ada peran aktif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pihak yang mengajukan permohonan. Pengadilan, katanya,  tidak bisa menyuruh pemenang perkara mengajukan eksekusi.

“Tanpa permohonan itu, tidak mungkin pengadilan melakukan eksekusi,” katanya.

Dalam perkara JJP, harus ada ekskusi delegasi. Pasalnya, putusan perkara dikeluarkan PN Jakarta Utara, sementara ekskusi di PN Rokan Hilir, Riau.

“Jadi, eksekusi delegasi ini untuk minta tolong pelaksanaan ekskusi karena objek berada di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan,” kata Nani.

Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK menyebut,  setiap eksekusi perkara lingkungan hidup memiliki masalah masing-masing. Yang paling sering, katanya, data yang tidak bisa didapat dari kementerian atau lembaga lain.

“Dalam (kasus) perdata, kami agak kesulitan mendapatkan data dokumen. Misal, HGU, itu hanya bisa diminta oleh pemilik atau putusan pengadilan,” katanya dalam diskusi itu.

Meskipun demikian, KLHK sudah menyelenggarakan konferensi pers yang menyatakan keseriusan untuk mempercepat eksekusi putusan terhadap JJP, Januari lalu.

Dalam rilis di laman resmi, KLHK sepakat JJP tidak memiliki komimten menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan sukarela.

“Kami telah memerintahkan Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup untuk segera percepatan eksekusi, berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan instansi terkait lainnya,” kata Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum KLHK dalam laman itu.

 

Ilustrasi. Kebakaran di perkebunan sawit di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Ada aturan Mahkamah Agung

Potensi kriminalisasi Bambang Hero tetap ada, tetapi kata Dodo, posisi ahli justru lebih kuat di mata hukum andai pun gugatan bisa berjalan sampai persidangan.

Mahkamah Agung, katanya, sudah  mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Dalam regulasi ini secara khusus diatur mekanisme anti SLAPP.

“Yang penting sekarang bagaimana mekanisme ini bisa benar-benar dipahami dan dipergunakan di persidangan,” kata Dodo.

Nani mengatakan,  PerMA 1/2023 sebagai regulasi yang akan melindungi setiap masyarakat yang diduga terjerat SLAPP.

PerMA yang berdasarkan disertasi Nani ini secara khusus akan mengatur hukum perdata dan pidana terkait SLAPP. Hakim diatur mengurus perkara SLAPP hingga tidak ada detail yang terlewatkan.

“Jadi, ketika ada dugaan SLAPP, terdakwa atau penasihat hukum akan mengajukan eksepsi atau keberatan. Hakim harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menaggapi dalam waktu tujuh hari, dan dalam waktu 30 hari akan diputus,” kata Nani.

 

*******

 

Perusahaan Sawit Cabut Gugatan terhadap Bambang Hero, Koalisi: Perkuat Perlindungan Pembela Lingkungan dan HAM

Exit mobile version