Mongabay.co.id

Dampak Pertambangan bagi Masyarakat Pesisir: Harapan atau Ancaman?

 

Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kelompok marginal yang sangat minim disebut oleh tiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) Republik Indonesia periode 2024-2029. Mereka menjadi paket bersama laut yang juga sangat jarang disebutkan.

Hampir luputnya penyebutan masyarakat pesisir dan laut, seharusnya tidak boleh terjadi. Mengingat, keunikan wilayah kecil dan pulau-pulau kecil membutuhkan perhatian khusus, utamanya sebagai dampak dari krisis iklim.

Pandangan tersebut dipublikasikan Greenpeace Indonesia beberapa waktu lalu. Organisasi lingkungan tersebut menilai, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan terdampak kenaikan muka air laut sebagai akibat dari krisis iklim.

Juga, tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap cuaca ekstrem, dan abrasi pantai yang sulit dihindari oleh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kondisi itu membuat masyarakat pesisir yang tinggal wilayah tersebut rentan terhadap bencana alam dan ketidakpastian lingkungan.

Greenpeace Indonesia mengkritik pernyataan para pasangan calon (paslon) yang kurang memberikan tekanan pada nasib masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Tanpa ada penekanan, kompleksitas tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir akan semakin sulit dipahami oleh publik.

Sementara, pada saat yang sama, sebagian besar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil masih bergantung pada sektor kelautan dan perikanan untuk dijadikan sebagai mata pencaharian. Karenanya, jika terjadi ketidakstabilan lingkungan akan memicu kerusakan sumber daya laut secara signifikan.

baca : Pemilu 2024: Visi Misi Capres-Cawapres Belum Berpihak pada Konservasi Laut Berbasis Masyarakat

 

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Foto : Hidayaturohman

 

Keberadaan masyarakat pesisir dan nasibnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil penting untuk dibahas oleh paslon, karena saat ini posisi mereka lemah dan terancam oleh eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan kenaikan muka air laut.

“Bahkan, pesisir dan pulau-pulau kecil terancam dengan industri ekstraktif seperti tambang, perkebunan sawit, dan juga proyek-proyek reklamasi,” demikian pernyataan Greenpeace Indonesia.

Greenpeace Indonesia menjelaskan, laut yang berperan sebagai jantung kehidupan di Bumi, harus menanggung beban dampak dari krisis iklim, polusi, dan berbagai tantangan lain. Sayangnya, ketiga paslon capres dan cawapres tidak memberikan perhatian lebih untuk membahas isu laut yang sangat relevan tersebut.

Bukan sekedar persoalan di pesisir, laut sudah seharusnya dibahas oleh ketiga paslon, karena Indonesia adalah negara kepulauan besar dan sudah mendeklarasikan diri menjadi negara maritim. Bahkan, di bawah Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengejar status sebagai negara maritim terbesar di dunia.

Beberapa isu yang mungkin terabaikan, di antaranya keberlanjutan perikanan, peningkatan suhu laut yang merugikan ekosistem terumbu karang, serta dampak krisis iklim yang mempengaruhi masyarakat pesisir. Padahal, laut yang mencakup lebih dari 70 persen permukaan bumi, menawarkan kehidupan bagi jutaan spesies dan berperan sebagai penyedia makanan bagi masyarakat di seluruh dunia.

Tegasnya, siapa pun yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI nanti, mereka mendapat tugas untuk bisa melindungi laut dari ancaman pencemaran dan eksploitasi sumber daya laut secara besar-besaran.

Imperatif tersebut berlaku, karena saat ini laut menghadapi ancaman pemanasan global, keberlanjutan sumber daya laut, dan perlindungan ekosistem laut. Calon pemimpin RI nanti, juga harus bisa mengembangkan strategi konkret agar bisa melibatkan masyarakat dan mengelola kelangsungan hidup lautan.

Di sisi lain, saat isu laut belum dikupas banyak, ada paslon yang membahas polusi dan sampah plastik saat debat berlangsung. Upaya tersebut, dinilai oleh Greenpeace Indonesia tak lebih hanya sebagai bagian dari gimmick saja.

baca juga : Debat Capres Cawapres, Begini Catatan Organisasi Lingkungan

 

Seorang penambang sedang duduk di salah satu ponton tambang timah laut di sekitar perairan Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Trik yang digunakan untuk menarik perhatian publik itu dinilai tidak tepat, karena persoalan sampah dan polusi adalah dua aspek yang tak hanya memengaruhi lingkungan, namun juga kesehatan manusia secara langsung.

Sementara, seiring dengan terus bertambahnya populasi dan peningkatan arus urbanisasi, masalah penanganan sampah dan populasi semakin mendapatkan perhatian dunia. Tetapi, justru kedua masalah tersebut hanya dianggap sebagai elemen latar belakang saja saat debat berlangsung.

Dengan menjadikan gimmick, persoalan sampah plastik kemudian hanya dimunculkan dalam konteks daur ulang sampah saja. Sementara, gambaran konkret bagaimana mengatasi persoalan sampah plastik, tidak dijabarkan lebih detail oleh para cawapres.

Greenpeace Indonesia menilai, meski daur ulang menjadi sesuatu yang penting, namun kebijakan berbasis pengurangan dan pengendalian menjadi lebih penting. Pun demikian dengan polusi, penanganannya dilakukan melalui transportasi publik, dan tidak pada sumber polutan utama seperti dari aktivitas industri dan pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU).

Oleh karena itu, organisasi tersebut memandang perlu untuk dilakukan pembahasan yang menyeluruh tentang kebijakan konkret yang akan dibuat untuk meningkatkan kebijakan sampah dari hulu ke hilir. Selain, melakukan daur ulang, dan berupaya untuk mengurangi signifikan energi kotor sumber polusi.

Mereka meyakini kalau pemimpin akan memberi dampak besar pada arah kebijakan lingkungan. Untuk itu, penting memilih pemimpin dengan menjadikan isu lingkungan sebagai tolok ukur kualitas kepemimpinannya.

baca juga : Laporan Jatam Beberkan Jaringan Oligarki Tambang dan Energi di Kubu Capres Cawapres

 

Kubangan bekas penambangan pasir besi di Pantai Dedalpak Desa Pohgading Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, NTB oleh PT AMG. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Hilirisasi Industri

Selain isu laut, sorotan juga tajam diarahkan kepada debat cawapres terakhir yang banyak membicarakan tentang hilirasi industri yang dijabarkan sebagai jawaban untuk masa depan ekonomi Indonesia.

Mengutip laman resmi Kementerian Perindustrian RI, hilirisasi adalah suatu proses transformasi ekonomi berkelanjutan, di mana kebijakan industrialisasi berbasis komoditas bernilai tambah tinggi, menuju struktur ekonomi yang lebih komplek.

Tetapi, Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) berpandangan bahwa hilirisasi adalah bagian dari proses transisi energi yang harus berjalan dengan berkeadilan. Oleh karena itu, hilirisasi tidak boleh luput dari masalah sosial ekologis, dan bahkan sampai mengabaikan isu pembangunan yang berkelanjutan.

Di antara yang menjadi sorotan EKOMARIN, adalah kegiatan pertambangan nikel yang berjalan di Teluk Weda, Kabupaten Halmahera, Provinsi Maluku Utara. EKOMARIN secara khusus melakukan penelitian di empat desa pesisir, yakni Lelilef, Gemaf, Sagea, dan Kiya, Kecamatan Weda Tengah.

Empat desa pesisir tersebut berlokasi mengitari PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), dan dinilai sudah menjadi korban dari perampasan ruang hidup nelayan dan komunitas pesisir yang dilakukan PT IWIP atas nama transisi energi.

Mereka menjadi korban, karena pihak perusahaan sudah mengeluarkan larangan untuk beraktivitas menangkap ikan di sekitar wilayah perairan PT IWIP, tersingkir dari zona tangkapan ikan karena penebangan hutan bakau, terdampak indikasi pencemaran logam berat, dan aktivitas kapal tongkang antarpulau pengangkut stockpil nikel yang masif.

 baca juga : Aliansi Sulawesi Tampik Klaim Dampak Positif Hilirisasi Nikel

 

Air Sungai Waleh, yang berubah keruh kemerah-merahan diduga kuar kaena operasi tambang nikel. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Perikanan Skala Kecil

Koordinator Nasional EKOMARIN Marthin Hadiwinata menerangkan, perikanan skala kecil semakin tersingkir, karena diperparah dengan pencemaran hulu-hilir sungai yang menjadi sumber mata air masyarakat. Pencemaran itu diakibatkan oleh ekspansi perusahaan.

“Tersingkirnya nelayan dari zona tangkapan ikan, membuat mereka saat ini menjalankan usaha pertokoan dan kos-kosan di sekitar kawasan industri,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, studi yang dilakukan berfokus dengan menyoroti kompleksitas dan paradoks dalam perjuangan melawan perubahan iklim, dimana solusi yang diusulkan seringkali menciptakan masalah baru, terutama bagi komunitas rentan seperti masyarakat pesisir dan nelayan.

“Peningkatan permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik menyebabkan ekspansi industri pertambangan di Indonesia,” tambahnya.

Ironisnya, kebutuhan bahan baku seperti nikel untuk baterai kendaraan listrik mengarah pada eksploitasi sumber daya alam di negara berkembang seperti Indonesia yang sangat rentan terhadap krisis iklim khususnya komunitas pesisir.

Menurut dia, keberadaan industri ekstraktif nikel PT IWIP di wilayah perairan Halmahera, khususnya di Teluk Weda, tidak hanya mengubah lanskap ekologis pada desa-desa sekitar, melainkan juga memengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Konsekuensinya, terjadi perubahan mata pencaharian, peningkatan kemiskinan, dengan dampak khusus pada komunitas pesisir dan nelayan.

Perubahan itu terlihat dari kawasan hutan dan daerah pesisir pantai untuk pembangunan kawasan industri seperti bandara, pelabuhan, PLTU, hunian pekerja, penampungan stokpil nikel dan batubara yang keseluruhannya untuk menunjang aktivitas industri nikel.

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Karut Marut Hilirisasi Nikel, Persulit Hidup Masyarakat, Lingkungan Makin Sakit

 

Kawasan laut Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara berwarna kuning coklat pekat yang diduga tercemar kerukan tambang nikel. Foto : Ikmal Yasir

 

Dampak buruk lain dari aktivitas pertambangan nikel, adalah pengolahannya yang menghasilkan sedimentasi akibat pengerukan di hulu hingga hilir wilayah sungai, dan pencemaran logam berat akibat limbah nikel ke perairan zona tangkapan ikan nelayan yang mengakibatkan tercemarnya ekosistem laut.

Berubahnya ekologi di sekitar Teluk Weda berpengaruh signifikan terhadap mata pencaharian para nelayan yang ada di sekitar desa tempat beroperasinya tambang nikel. Agar tidak semakin terpuruk, para nelayan kemudian memilih untuk beralih profesi menjadi pedagang, pemilik hunian, atau karyawan perusahaan.

“Pada saat yang sama, perubahan ini juga membuat wilayah-wilayah desa sekitar areal pertambangan menjadi rentan terkena bencana seperti banjir dan longsor,” terangnya.

Terjadinya perubahan tersebut, didukung oleh Negara dan perusahaan. Keduanya memainkan peran kunci dalam memfasilitasi eksploitasi nikel di Teluk Weda. Bahkan, Negara sering kali memberikan konsesi pertambangan dengan regulasi yang longgar untuk menarik investasi, yang mengabaikan dampak ekologis dan sosial.

Sementara, perusahaan multinasional berperan untuk mengendalikan rantai pasok global dengan mengutamakan profitabilitas ketimbang keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Kata dia, fenomena itu menjadi bagian dari kapitalisme global yang tidak bisa dipisahkan.

Operasional secara internasional, dipengaruhi oleh berbagai instrumen dan mekanisme terkait kebutuhan pasar dan rantai pasok komoditas nikel yang bertujuann untuk akumulasi kapital. Itu kenapa, walau situs operasional tambang berjalan secara lokal, namun pengaruh internasional masih sangat kuat.

Fakta tersebut menjadi kontradiksi, karena Negara pada satu sisi memahami bahwa eksploitasi SDA dapat berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Tetapi, pada sisi lainnya hal itu justru bisa menciptakan persoalan serius terhadap sumber-sumber kehidupan masyarakat yang berada di sekitar pertambangan.

perlu dibaca : Munculkan Banyak Masalah, Nikel Indonesia untuk Siapa?

 

Kawasan industri nikel di Pulau Obi. Kepulan asap pabrik dan PLTU batubara lepas ke udara. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Peneliti EKOMARIN Tarmizi Abbas, kampanye kesuksesan operasi tambang nikel di Teluk Weda yang diklaim sudah meningkatkan kesejahteraan sosial, dinilai tidak benar. Pasalnya, dari fakta yang ditemukan di lapangan, dampaknya justru negatif yang membuat masyarakat ada dalam kondisi miskin dan rentan.

Dia memaparkan dari temuan yang ada, terjadi sejumlah pelanggaran kebijakan nasional dan internasional dalam konteks perlindungan perikanan skala kecil. Pelanggaran itu muncul dalam pencemaran dan kerusakan atas sumber daya ikan (SDI) di perairan yang menjadi wilayah tangkap nelayan kecil.

Kemudian, Pemerintah juga sudah abai dengan tidak melakukan rekognisi kepada pelaku perikanan skala kecil yang membuat mereka tidak mendapatkan perlindungan. Kondisi itu juga diperparah dengan tidak adanya perlindungan wilayah tangkap, yang akhirnya mengorbankan nelayan kecil karena harus berkompetisi dengan kapal ikan skala besar saat mengakses ruang tangkap ikan.

Agar semua persoalan di atas bisa dipecahkan, maka langkah berikut yang harus dilakukan Pemerintah adalah melaksanakan reformasi kebijakan dan regulasi yang mengatur industri pertambangan nikel. Reformasi harus mencakup perlindungan lebih kuat untuk lingkungan dan inklusif untuk komunitas lokal seperti masyarakat pesisir dan nelayan kecil.

“Di tingkat lokal terdapat peningkatan gerakan sosial dan perlawanan dari komunitas lokal,” ungkap dia.

Komunitas lokal yang dimaksud, adalah kelompok yang menuntut keadilan ekologis dan sosial, namun menghadapi tantangan dalam mengorganisir dan menjaga momentum. Hal itu terjadi, karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan tekanan eksternal, termasuk menghubungkan simpul dengan jejaring masyarakat sipil lainnya.

“Ini mencerminkan perjuangan yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa pengembangan ekonomi tidak mengorbankan lingkungan dan komunitas lokal,” tambah dia.

Selain lokal, desakan juga datang pada level nasional, yaitu kebutuhan untuk menanggapi pelanggaran hukum yang berkaitan dengan pencemaran dan kerusakan sumber daya air dan perikanan. Termasuk, dalam lingkup administratif untuk melindungi para pelaku perikanan skala kecil.

Pada level internasional, desakan juga muncul untuk melakukan pengawasan publik terhadap investasi asing guna mencegah tindakan sewenang-wenang. Ini adalah tanggung jawab korporasi yang berinvestasi, yang menjadi aspek penting dalam menanggapi berbagai pelanggaran dan kejahatan yang terungkap dalam laporan ini.

“Melaksanakan kampanye internasional, termasuk advokasi di negara asal investor asing, merupakan agenda strategis untuk menjamin keadilan bagi nelayan dan masyarakat pesisir di Teluk Weda,” pungkasnya. (***)

 

 

Exit mobile version