Mongabay.co.id

Lahan Basah, “Ginjal” Bumi yang Menjaga Peradaban Manusia

 

 

Ekosistem lahan basah sejak lama diakui sebagai “ginjal” Bumi. Ia merupakan satu dari tiga ekosistem penting selain hutan dan laut. Peran pentingnya dalam menyerap karbon dioksida dan menyaring polutan, memastikan air dan udara sehat bagi keberlanjutan peradaban manusia.

“Lahan basah dapat menyerap karbon dioksida tiga kali lebih banyak daripada semua hutan di dunia. Lahan basah juga dapat meningkatkan kualitas air di sekitar aliran sungai, danau, dan lahan,” mengutip situs Yayasan Konservasi Alam Nusantara.

Mengutip worldwildlife.org, secara sederhana, lahan basah adalah wilayah daratan yang tertutup air tawar atau asin, ataupun keduanya. Lahan basah dapat bersifat permanen atau musiman.

Secara lebih luas, lahan basah dapat didefinisikan sebagai, “Berbagai tipe habitat seperti rawa, lahan gambut , dataran banjir, sungai dan danau, dan wilayah pesisir seperti rawa asin, hutan bakau, dan padang lamun, juga terumbu karang dan wilayah laut lainnya yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter saat air surut,” mengutip penelitian Maua et al., [2022].

Dari sumber yang sama, Watzin [1992] menyatakan lahan basah sebagi daerah peralihan antara lingkungan perairan dalam yang tergenang air secara permanen dan dataran tinggi yang memiliki drainase. Wilayah ini juga berkontribusi terhadap beragam manfaat biologis, sosial dan ekonomi; lebih jauh lagi, lahan basah mendukung beragam flora dan fauna, serta memberikan banyak fungsi ekologi, iklim, dan sosial.

“Oleh karena itu para ilmuwan umumnya menyebut lahan basah sebagai “ginjal” Bumi dan hutan sebagai paru-paru,”  kata para peneliti, di jurnal Environmental Challenges, dalam situs sciencedirect.com.

Baca: Keresahan Gen Z: Kembalikan Lahan Basah Kami

 

Lahan basah memiliki fungsi penting menjaga peradaban manusia. Foto: Humaidy Kennedy/Mongabay Indonesia

 

Fungsi ekosistem tertinggi

Secara global, lahan basah mencakup sekitar 6 persen permukaan Bumi atau sekitar 1.200 juta hektar. Di Asia, Indonesia memiliki lahan basah terluas kedua setelah China [53 juta hektare]. Berdasarkan situs resmi Ditjen KSDAE, luas lahan basah Indonesia sekitar 40,5 juta hektare, atau 20 persen dari luas total Indonesia.

“Lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia bergantung pada lahan basah untuk penghidupan mereka, atau sekitar satu dari delapan orang di Bumi,” mengutip situs resmi United Nations.

Liu et al. [2022] menyatakan, lahan basah memiliki fungsi ekosistem tertinggi di biosfer. Dengan kata lain, biosfer sebagai sebuah sistem ekologi global tidak akan berjalan jika wilayah ini rusak.

“Lahan basah menyediakan berbagai jasa ekosistem bagi manusia, termasuk pengaturan dan penyimpanan banjir, pemurnian air, pemeliharaan ekologi, dan pengisian ulang air tanah [Evenson et al., 2018],” lanjutnya.

Selain itu, air tawar yang menjadi bagian penting dari lahan basah, yang hanya mencakup 1 persen dari luas daratan dunia, mampu menyediakan habitat bagi hampir 40 persen spesies yang diketahui, sehingga berkontribusi besar dalam menjaga keanekaragaman hayati global [Mitra et al., 2013].

“Lahan basah tidak hanya memiliki nilai ekologis yang tinggi, tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan aktivitas manusia dan pengembangan budaya serta memiliki nilai ekonomi dan budaya yang besar,” lanjut Liu et al.

Sejak tahun 1971, wilayah ini sudah menjadi perhatian pemerintah dunia. Ini diwujudkan dalam perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Konvensi ini diadopsi di Kota Ramsar [Iran] tahun 1971 dan mulai berlaku pada 1975.

Saat ini, terdapat lebih dari 2.400 “Situs Ramsar” di seluruh dunia. Luasnya lebih dari 2,5 juta kilometer persegi, hampir lima kali luas Pulau Sumatera.

“Situs Ramsar ini memperoleh status nasional dan internasional baru. Mereka diakui memiliki nilai yang signifikan tidak hanya bagi negara di mana mereka berada, namun juga bagi umat manusia secara keseluruhan,” dikutip dari ramsar.org.

Baca: Tahun Baru dan Kecemasan Gen Z Menanti 2050

 

Barry, warga Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan, mencari ikan dengan alat tangkap serkap di lebung yang mengering. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hilang

Selama ratusan tahun, lahan basah telah dianggap sebagai ‘lahan tidak produktif’, karenanya banyak dikeringkan atau direklamasi untuk tujuan pertanian atau urbanisasi. Bersama perubahan iklim, aktivitas ini menyebabkan lahan basah sebagai salah satu ekosistem paling terancam di Bumi.

Awalnya, diperkirakan sekitar 50 persen lahan basah global telah hilang, sehingga mengakibatkan penurunan fungsi ekologisnya secara serius. Namun, karena adanya ekstrapolasi data yang tidak proporsional dari wilayah dengan tingkat kehilangan yang tinggi, Fluet-Chouinard et al. [2023] menyatakan data ini terlalu berlebihan.

“Namun, temuan kami tidak boleh mengurangi urgensi untuk melindungi dan memulihkan ekosistem lahan basah. Khususnya, di wilayah dengan drainase cepat, serta sisa-sisa ekosistem yang terletak di wilayah dengan tingkat kerusakan tinggi,” kata para peneliti.

Dalam penelitian yang baru diterbitkan di Nature itu, para peneliti menyatakan sejak  1700, Bumi setidaknya telah kehilangan lahan basah seluas 3,4 juta kilometer persegi [21 persen luas total lahan basah global], atau setara dua persen luas permukaan Bumi dalam tiga abad terakhir.

“Persentase luas lahan basah global yang hilang sebelum tahun 1900 tergolong kecil, namun sejak itu jumlahnya semakin meningkat,” kata Fluet-Chouinard et al. dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal tersebut.

Indonesia menempati posisi ke-4 sebagai negara yang paling banyak kehilangan lahan basah secara global, dibawah India, China, dan Amerika Serikat. Penyebab utama hilangnya lahan basah dunia adalah drainase atau sekat kanal untuk pertanian [61%], konversi lahan menjadi persawahan [18,2%], kawasan perkotaan [8,0%], kehutanan [4,7%], budidaya [4,3%], padang rumput [2,0%], dan ekstraksi gambut [0,9%].

“Rekonstruksi kami menjelaskan waktu dan faktor pendorong hilangnya lahan basah secara global, lebih luas. Analisis baru ini menyoroti kebutuhan berkelanjutan untuk melindungi dan memulihkan ekosistem lahan basah tersisa di dunia,” tegas para peneliti.

Baca juga: Kembalikan Lebak Lebung di Lahan Basah Sungai Musi

 

Buku puisi “Sungai dan Rawang” garapan Gen Z di Palembang, menunjukkan kepedulian mereka terhadap lahan basah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kepedulian Gen Z

Bagi Gen Z di Provinsi Sumatera Selatan, lahan basah merupakan bagian penting kehidupan dan masa depan mereka. Rasa cinta, juga pikiran dan perasaan terhadap lahan basah, mereka tuangkan dalam bentuk buku puisi “Sungai dan Rawang” yang diterbitkan Teater Potlot [2024].

Melalui 82 karya dari 10 penyair muda Palembang atau dari generasi Gen Z, mereka membicarakan sungai dan rawang, yang merupakan bagian penting dari lahan basah. Rawang adalah rawa gambut, ekosistem kompleks lahan basah, dimana ada keseimbangan hasil-hasil alam dan kebutuhan manusia sekitarnya. Sementara sungai adalah aliran air yang besar memanjang yang mengalir terus-menerus dari hulu [sumber] menuju hilir [muara].

Lahan basah Sungai Musi di Sumatera Selatan luasnya mencapai tiga juta hektare. Di lahan basah Sungai Musi mengalir sembilan sungai besar, dan ratusan anak, serta terdapat jutaan hektare rawang. Ada jutaan manusia [termasuk Gen Z saat ini] yang hidup di sekitarnya, sejak ratusan tahun lalu.

Musi, aku masih belum mengenalmu

Meski sudah 24 tahun aku menyetubuhi mu

Apakah aku harus menjadi antu banyu

Agar bisa lebih menikmati indah lekukmu…

 

Bait pertama puisi naratif berjudul “Keruh Tubuhmu” yang ditulis Kemas Yudha [24 tahun] di atas semacam pengakuan dirinya sebagai Gen Z terhadap Sungai Musi. Meskipun dirinya lahir dan tumbuh di kampung yang berada di tepian Sungai Musi [selama 24 tahun], dia merasa tidak memberikan sesuatu yang berarti terhadap sungai terpanjang di Sumatera Selatan tersebut, yang terus mengalami pencemaran.

Arbi Tanjung, pekerja sastra dan budaya dari Pasaman, Sumatera Barat, sebagai pembahas buku yang diluncurkan memperingati Hari Lahan Basah Sedunia, didukung Mongabay Indonesia, Rumah Sriksetra dan Pulitzer Center, di Palembang, 2-4 Februari 2024,  menyatakan puisi-puisi tersebut sebuah “lompatan”.

“Sangat sulit mendapatkan puisi penyair muda yang mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan.”

Beberapa penyair juga menggunakan diksi yang diambil dari alam. Misal, nama ikan, tanaman, alat tangkap ikan, hingga sungai kecil.

“Saya berharap, alam atau lingkungan menjadi laboratarium para penyair muda. Bukan sebatas respons terhadap isu yang tengah terjadi,” paparnya.

 

Referensi jurnal:

Fluet-Chouinard, E., Stocker, B. D., Zhang, Z., Malhotra, A., Melton, J. R., Poulter, B., Kaplan, J. O., Goldewijk, K. K., Siebert, S., Minayeva, T., Hugelius, G., Joosten, H., Barthelmes, A., Prigent, C., Aires, F., Hoyt, A. M., Davidson, N., Finlayson, C. M., Lehner, B., … McIntyre, P. B. (2023). Extensive global wetland loss over the past three centuries. Nature, 614(7947), 281–286. https://doi.org/10.1038/s41586-022-05572-6

Liu, Y., Yang, P., Zhang, S., & Wang, W. (2022). Dynamic identification and health assessment of wetlands in the middle reaches of the Yangtze River basin under changing environment. Journal of Cleaner Production, 345, 131105. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.131105

Maua, J. O., Mbuvi, M. T. E., Matiku, P., Munguti, S., Mateche, E., & Owili, M. (2022). The difficult choice – to conserve the living filters or utilizing the full potential of wetlands: Insights from the Yala swamp, Kenya. Environmental Challenges, 6, 100427. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.envc.2021.100427

 

Riset: Tumbuhan Menjerit Ketika Stres, tapi Manusia Tidak Mendengarnya

 

Exit mobile version