- Di masa lalu, lahan basah di Indonesia membangun peradaban bahari. Salah satunya, lahan basah Sungai Musi yang melahirkan Kedatuan Sriwijaya [7-12 Masehi] yang menjayakan peradaban bahari di Nusantara.
- Sejak hadirnya pemerintahan Hindia Belanda, yang pembangunannya berorientasi daratan, membuat lahan basah terus berkurang. Termasuk lahan basah Sungai Musi.
- Dampaknya bukan hanya hilangnya kekayaan flora dan fauna dan terjadi pelepasan karbon, juga masyarakat yang hidup di sekitarnya kehilangan sumber pangan dan ekonomi, serta berbagai tradisi.
- Sejumlah generasi Gen Z di Palembang menuntut dikembalikannya lahan basah Sungai Musi. Tapi, upaya tersebut tidak hanya dari kebijakan pemerintah, juga adanya kesadaran generasi Gen-Z akan pentingnya lahan basah.
Bangsa Indonesia adalah bangsa bahari. Bangsa yang bernenek moyang orang-orang bertutur bahasa Austronesia. Di masa lalu, bangsa Indonesia menguasai Asia Tenggara, melalui sejumlah kerajaan, seperti Kedatuan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Kekuasaan ini didapatkan karena menguasai berbagai ilmu pengetahuan, teknologi, serta keberanian dalam memanfaatkan laut dan lahan basah. Mulai dari wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan lainnya.
Sebagai bangsa bahari, manusia Indonesia hidup di dua alam. Di darat dan di air. Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog dari Biosistematika dan Evolusi BRIN, menyebutnya “manusia amfibi”. Di darat manusia Indonesia mendapatkan air bersih, pangan, obat-obatan, logam mineral, serta kayu sebagai bahan utama kapal atau perahu dan rumah. Sementara laut, selain dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, juga pangan.
Lahan basah adalah wilayah ideal manusia Indonesia menetap. Sebab, selain dekat rawa dan sungai, sebagai jalur cepat ke laut dan wilayah pedalaman, juga menyediakan berbagai kebutuhan hidup. Mulai pangan, obat-obatan, kayu, serta kekayaan alam lainnya. Lahan basah adalah “supermarket” bagi manusia bahari.
Tapi, setelah hadirnya pemerintahan Hindia Belanda sekian abad lalu, yang pembangunannya berorientasi daratan, membuat lahan basah terus berkurang. Pemerintahan Republik Indonesia melanjutkannya. Lahan basah direklamasi, dijadikan lahan pertanian, perkebunan, permukiman transmigran, pabrik, hingga jalan tol.
Baca: Tahun Baru dan Kecemasan Gen Z Menanti 2050
Luas lahan basah di Indonesia tersisa 21 juta hektar. Perubahaan iklim membuat kondisi lahan basah kian rusak atau terancam hilang. Fungsi alaminya sebagai penyerap karbon dan pengatur aliran air kian berkurang.
Pada akhirnya, lahan basah bukan lagi supermarket. Lahan basah berubah menjadi sumber bencana. Mulai dari kebakaran lahan dan hutan, banjir, penurunan kualitas air, hingga hilangnya habitat satwa liar dan beragam jenis ikan air tawar.
Salah satu contohnya lahan basah Sungai Musi di Sumatera Selatan. Lahan basah yang luasnya sekitar tiga juta hektare—ada yang menyatakan 2,5 juta hektare—adalah rumah bagi berbagai suku bangsa yang pernah melahirkan dan membesarkan Kedatuan Sriwijaya [7-12 Masehi].
Pada saat ini, sebagian besar lahan basah Sungai Musi mengalami kerusakan atau berubah fungsi.
Dimulai dari habisnya hutan rimba oleh aktivitas perusahaan HPH [Hak Penguasahaan Hutan], perkebunan sawit, HTI [Hutan Tanaman Industri], infrastruktur seperti permukiman transmigran, jalan, pabrik, serta limbah dari aktivitas industri dan rumah tangga.
Berdasarkan data Hutan Kita Institute [HaKI], sekitar 1.123.119 hektare lahan basah Sungai Musi berubah fungsi menjadi konsesi perkebunan skala besar.
Baca: Derita Masyarakat Lahan Basah Sungai Musi Akibat Perubahaan Iklim
Dampaknya?
“Kami bukan hanya mengalami bencana kekeringan dan banjir, kami juga kehilangan sumber pangan dan ekonomi dari menurunya populasi ikan dan habisnya hutan,” kata Mahesa Putra [23], penyair dan penulis muda Palembang, narasumber diskusi “Kembalikan Lahan Basah Kami” dalam memperingati Hari Lahan Basah Sedunia yang didukung Mongabay Indonesia, Rumah Sriksetra, dan Pulitzer Center di Kopi Mibar, Palembang, Minggu [4/2/2024].
Sumber ekonomi masyarakat di lahan basah Sungai Musi, umumnya dari ikan dan pertukangan kayu. “Ikan selain dijual segar, juga diolah menjadi beragam kuliner, sementara pertukangan kayu adalah rumah dan perahu. Rusaknya rawa, sungai, dan hutan membuat sumber ekonomi itu hilang.”
“Kami hidup miskin. Akibatnya, misalnya masyarakat di dusun saya [Desa Muara Penimbung Ulu] yang menjadi tenaga kerja asing, atau meningkatnya kriminalitas di dusun. Selain itu, generasi saya kehilangan berbagai pengetahuan terkait lahan basah, seperti kuliner, obat-obatan, dan lainnya. Lalu, perubahaan iklim memperparah kondisi tersebut.”
“Agar masa depan kami terjamin, maka kembalikan lahan basah kami. Pemerintah harus melahirkan kebijakan yang menyelamatkan lahan basah Sungai Musi,” tegasnya.
Yulian Junaidi, dosen dan pegiat lingkungan hidup dari Universitas Sriwijaya, menyatakan, perubahaan bentang alam dan perubahaan iklim pada lahan basah Sungai Musi membuat terganggunya pertanian, khususnya persawahaan.
“Banyak sawah yang gagal tanam atau panen.”
Dijelaskan Yulian, persawahan di lahan basah seperti sawah lebak dan sawah pasang surut, sangat terganggu dengan kondisi lahannya. Wilayah yang airnya lebih lama menyusut, baru bisa ditanam padi bulan Mei, sementara yang airnya lebih cepat turun, menanam padi pada Januari atau Februari.
“Tapi, musim penghujan atau kemarau berlangsung lama, akibat perubahaan bentang alam dan perubahaan iklim, sehingga terjadi gagal tanam atau gagal panen.”
Baca juga: Menjaga Lahan Basah, Merawat Peradaban Bangsa Indonesia
Pentingnya lahan basah
Dian Maulina, pengajar dari UIN Raden Fatah Palembang, menuturkan meskipun sebagian besar generasi muda, generasi Gen-Z, di Sumatera Selatan hidup di lahan basah, tetapi tidak semuanya paham.
Misalnya, banjir di Palembang disebut sebagai bencana, padahal peristiwa alam yang berlangsung sejak dulu. Sebab, sebagian besar wilayah Palembang adalah lahan basah, yang tergenang air saat penghujan dan kering ketika kemarau.”
“Yang terjadi itu adalah kegagalan adaptasi. Dulu, masyarakat Palembang tidak melihat banjir sebagai bencana, sebab rumah atau bangunan menggunakan tiang, sehingga terhindar dari genangan air. Rumah-rumah bertiang atau panggung hilang dan digantikan rumah tidak bertiang, sehingga saat musim penghujan, banjir menggenangi rumah. Bahkan tidak sedikit kawasan resapan air seperti rawa dan anak sungai ditimbun, dijadikan daratan,” jelasnya.
Jadi, sangat diperlukan berbagai upaya untuk mendorong pemahaman tentang lahan basah.
“Baik di dunia pendidikan, maupun di berbagai komunitas atau organisasi masyarakat sipil.”
Sebelumnya, Elvira Belinda Adisma dari Wikigambut Sumatera Selatan menjelaskan, berbagai upaya dilakukan organisasinya. Sebut saja, menggalang generasi muda untuk menulis pengetahuan terkait rawa gambut.
“Terutama, lahan basah Sungai Musi.”
Perempuan bertahan di lahan basah
Selama kegiatan Peringatan Lahan Basah Sedunia 2-4 Februari 2024, dipamerkan pula belasan foto karya Nopri Ismi, Mahesa Putra dan Humaidy Kenedy, terkait lahan basah Sungai Musi.
Foto yang sebagian besar dipublikasikan di Mongabay Indonesia, selain memotret kondisi lahan basah Sungai Musi yang mengalami kerusakan akibat perubahaan bentang alam, juga kondisi para perempuan yang bertahan dalam memanfaatkan ikan air tawar dari lahan basah Sungai Musi. Mereka mengolah kuliner dari ikan yang ada untuk dijadikan pekasem [fermentasi ikan], ikan asap, ikan asin, hingga kemplang, kerupuk, dan pempek.
Puncak kegiatan, Minggu [4/2/2024], sejumlah penyair muda Palembang membacakan puisi terkait lahan basah Sungai Musi. Mereka menyajikan arsip-arsip kenangan, kerinduan, hingga kehilangan.
Mereka yang membaca puisi antara lain Mahesa Putra, Unggul NU, Kemas Yudha, Reza Maulana, Siti Wahyu Vitamagistra, Qaf Muhammad, Aurelly Nada Salsabila, serta penyair JJ Polong [Palembang] dan Arbi Tanjung [Pasaman, Sumatera Barat].