- Selama beberapa tahun terakhir, masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi sangat merasakan dampak dari perubahaan iklim. Dampak yang sangat dirasakan terkait dengan kualitas air.
- Kualitas air yang buruk, membuat masyarakat yang menetap di sekitar lahan basah Sungai Musi tidak lagi mengonsumsinya. Bahkan, kekeringan dan banjir menyebabkan aktivitas pertanian, perikanan, dan peternakan menjadi terganggu, serta bencana kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan.
- Terganggunya kualitas air lahan basah Sungai Musi bukan semata dampak dari perubahaan iklim, juga disebabkan rusaknya bentang alam lahan basah Sungai Musi akibat aktivitas ekonomi ekstraktif.
- Guna menyelamatkan lahan basah Sungai Musi harus dilakukan berbagai upaya. Misalnya melakukan reboisasi, mengembalikan fungsi lebung dan rawang, mengembangkan pertanian pangan dari tanaman endemik, serta masyarakat di sekitarnya harus menggunakan energi bersih dan mengurangi sampah plastik.
Dampak perubahaan iklim sudah dirasakan masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya terkait kualitas air bersih. Perubahan pola cuaca dan curah hujan, membuat kualitas air di lahan basah Sungai Musi seluas tiga juta hektare kian memburuk. Lahan basah Sungai Musi mengalami kekeringan atau banjir yang ekstrim.
Dari Juli-Oktober 2023 lalu, saat musim kemarau yang disertai El-Nino, membuat hampir semua lahan basah Sungai Musi mengalami kekeringan. Akibatnya bukan hanya rawang [rawa gambut] dan lebung [rawa dalam] yang mengering, juga aliran air di sungai berkurang, dan meningkatnya konsentrasi polutan di air sehingga tidak dapat dikonsumsi manusia.
Kekeringan ekstrim akibat perubahan iklim diduga menjadi penyebab bencana kebakaran lahan dan hutan di lahan basah Sungai Musi sulit teratasi sejak tahun 1997.
Baca: “Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi
Selanjutnya, aktivitas pertanian menjadi terganggu. Banyak sawah gagal panen atau tertunda masa tanamnya. Peternakan kerbau dan sapi juga terganggu, dikarenakan kekeringan menyebabkan pakan alaminya [rerumputan] mengering atau mati. Dan, populasi ikan air tawar pun menurun, sehingga musim kemarau yang sebelumnya merupakan perayaan panen ikan, sudah tidak dirasakan lagi masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi.
Kekeringan ini menyebabkan masyarakat hidup dalam keprihatinan. Banyak yang pergi ke kota bekerja sebagai buruh atau menjual aset [produksi], seperti menjual kebun dan hewan ternak.
“Pendapatan terus berkurang, sementara pengeluaran kian meningkat seperti untuk membeli air mineral karena air sumur kering dan air sungai tidak dapat digunakan, ditambah biaya pendidikan anak yang tidak dapat ditunda, ya, terpaksa menjual kebun atau mencari usaha lain,” kata Lukman [49], warga Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan, akhir September 2023.
Guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Lukman tidak hanya mengandalkan pendapatan dari mencari ikan dan menjadi tukang bangunan, juga mencoba berkebun buah yang memiliki nilai ekonomi, seperti berkebun semangka.
Baca: Kembalikan Lebak Lebung di Lahan Basah Sungai Musi
Sejak pertengahan November hingga pekan terakhir Desember 2023, hampir setiap hari hujan turun di wilayah lahan basah Sungai Musi. Rawang dan lebung yang sebelumnya mengering kini dipenuhi air. Bahkan air sungai meluap hingga ke pinggiran sungai yang sebagian besar adalah permukiman atau terdapat rumah penduduk, yang umumnya rumah panggung.
Awalnya, musim hujan yang datang terlambat ini membuat masyarakat bahagia. Tapi lantaran intensitas yang tinggi, membuat persoalan baru bagi masyarakat. Misalnya kualitas air yang tetap tidak baik, akibat tercermar limbah kimia dari aktivitas industri, perkebunan sawit, pertanian, dan peternakan.
Masyarakat tetap tidak mengonsumsi air sungai atau rawang yang warnanya menjadi coklat atau hitam. Mereka hanya menggunakan air tersebut untuk mandi dan mencuci.
“Sekarang ini kami tetap membeli air mineral untuk masak dan minum,” kata Sarmin [43], warga Desa Serdang Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI].
Baca: Jejak Kebakaran di Lahan Basah Sungai Musi
Muhammad Husin [46], warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI, mengatakan, “Musim hujan ini kami cukup senang. Kerbau-kerbau sehat, sebab banyak makanan dan tempat berendam. Orang berkebun sayuran juga bisa menanam.”
Tapi, lanjutnya, air sungai [Pampangan] tetap tidak bisa dikonsumsi. Bahkan setiap kali hujan turun banyak ikan di sungai yang mabuk. “Mungkin airnya tercampur limbah dari perkebunan sawit milik perusahaan yang dibawa air hujan. Beberapa tahun lalu, hal ini tidak pernah terjadi. Baru setelah adanya perkebunan sawit di sekitar desa kami, ikan-ikan di sungai sering mabuk saat musim penghujan,” katanya.
“Kemungkinan, Januari [2024] akan terjadi banjir di sini. Sebab selama lima tahun terakhir, kalau musim penghujan, desa kami kebanjiran.”
Puncak dari dampak persoalan kualitas air tersebut, yakni hilangnya berbagai tradisi yang menjadi penyanggah budaya bahari di Sumatera Selatan. “Misalnya tradisi kuliner, obat-obatan, sedekah sungai, hingga tekonologi tradisional seperti pembuatan alat tangkap ikan, perahu, kapal dan rumah panggung,” kata Dian Maulina dari FISIP [Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik] UIN Raden Fatah Palembang.
“Pada saatnya nanti, jika lahan basah tidak terselamatkan, maka budaya bahari akan tinggal cerita di Sumatera Selatan,” katanya.
Baca: “Jampi-jampi” yang Menjaga Lahan Basah Sungai Musi
Perubahan iklim memperparah
Terganggunya persoalan kualitas air sebenarnya bukan semata perubahaan iklim. Penyebabnya dimulai dari kerusakan bentang alam lahan basah Sungai Musi, dimulai dari aktivitas ekonomi ekstraktif sejak tahun 1970-an, seperti aktivitas perusahaan HPH [Hak Pengusahaan Hutan], perkebunan skala besar, permukiman, serta pembangunan infrastruktur.
“Perubahaan iklim memperparah kerusakaan lahan basah Sungai Musi,” kata Yulian Junaidi atau akrab dipanggil Polong, pegiat lingkungan dari Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Selain itu, aktivitas ekonomi ekstraktif di lahan basah Sungai Musi, turut mendorong perubahaan iklim global.
“Dapat dikatakan perubahaan iklim ini adalah puncak dari perilaku manusia antropogenik,” ujar Polong.
Baca: Ikan Sulit Didapat, Setelah Musim Melebung Usai
Lahan basah Sungai Musi yang luasnya sekitar tiga juta hektare, berdasarkan data Hutan Kita Institute [HaKI] sekitar 1.123.119 hektare lahan basah [rawa gambut] di Sumatera Selatan berubah fungsi menjadi konsesi perkebunan sawit dan HTI [Hutan Tanaman Industri].
Kerusakan lainnya, seperti dijadikan permukiman transmigran, pembangunan jalan, pabrik, perumahan, dan lainnya. Kerusakan atau perubahan bentang alam ini bukan hanya rawa gambut, juga sungai, rawa, dan danau.
“Tapi belum ada data yang pasti terkait luasan dari perubahaan ini,” kata Adios Syafri dari HaKI.
Baca juga: Sungai Musi yang Kehilangan Arsipnya
Yang harus dilakukan
Apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan lahan basah Sungai Musi?
Pertama, lahan basah Sungai Musi tersisa yang kondsisinya masih baik, harus dilindungi. Mulai dari mangrove hingga kawasan hutan rawa gambut.
“Bahkan harus dilakukan penanaman pohon [reboisasi] di kawasan lahan basah yang rusak, yang indikatornya selalu terbakar atau kekeringan,” kata Adios.
Kedua, lebung dan rawang yang rusak atau beralih fungsi harus dikembalikan kondisinya.
“Keberadaan lebung dan rawang itu memiliki peran penting dalam mengendalikan air di lahan basah, baik volume maupun kualitasnya, dan menjadi habitat penting berbagai jenis ikan,” kata Irkhamiawan, peneliti ikan dari Universitas Muhammadiyah Palembang.
Ketiga, harus dikembangkan pertanian pangan yang mampu menjaga kualitas air di lahan basah. Misalnya, mengembangkan tanaman sagu.
“Dulunya lahan basah Sungai Musi ini dipenuhi tanaman sagu. Tanaman sagu ini yang melahirkan kuliner pempek. Jadi, sangat mungkin dikembangkan sagu sebagai antisipasi perubahaan iklim. Pangan terpenuhi, ekonomi didapat, dan lahan basah terjaga,” kata Polong.
Keempat, masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi juga harus memiliki kesadaran untuk mengurangi atau tidak menggunakan energi dari bahan bakar fosil sebagai faktor utama perubahaan iklim, serta mengurangi atau mampu mengelola sampah yang menyebabkan penurunan kualitas air dan tanah, seperti sampah plastik.
“Tentunya pemerintah, perguruan tinggi, dan berbagai komunitas peduli lingkungan mendorong pengembangan teknologi energi terbarukan yang bersih, seperti energi surya,” kata Dian Maulina.