- Selama 26 tahun terakhir, setiap kali musim kemarau, sebagian lahan basah Sungai Musi terbakar. Jika musim kemarau disertai El-Nino, kebakaran lahannya sangat luas. Mencapai puluhan hingga ratusan ribu hektare, yang menimbulkan bencana kabut asap. Misalnya, tahun 1997-1998, 2006, 2015, 2019 dan 2023.
- Setiap kali terjadi kebakaran lahan dan hutan, jutaan warga yang terpapar kabut asap. Bahkan kabut asap ini diperkirakan pemicu kematian dini.
- Selain kebakaran, rusaknya rawa gambut juga menyebabkan krisis air bersih pada masyarakat yang hidup di sekitar lahan basah Sungai Musi.
- Diperkirakan, kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan pada tahun-tahun mendatang akan terus terjadi. Kebakaran sangat luas diperkirakan akan terjadi pada musim kemarau tahun 2027.
Baca sebelumnya:
“Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi
Perempuan-perempuan yang Kehilangan Ikan dan Pengetahuannya
Kembalikan Lebak Lebung di Lahan Basah Sungai Musi
Liputan ini didukung Pulitzer Center
**
... seorang ibu melepaskan kemarahannya ke lantai rumah penuh abu hitam, aktivis lingkungan membuat siaran pers, politisi melakukan hearing dengan pejabat, para oposisi mencacimaki pemerintah, para ulama menggelar sholat minta hujan, tentara, satker relawan, pemda, pengusaha bikin tim penanggulangan kebakaran, para media menyiarkan kutipan berita, para seniman biasa saja, mungkin duduk berimajinasi menjadi api ...
Kutipan puisi “Fragmen Kabut Asap 2015” karya Conie Sema [1965-2022] dari buku Metronome Rawa [2021], mencoba merekam perilaku manusia di Sumatera Selatan menghadapi bencana kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan pada 2015.
Perilaku-perilaku manusia tersebut adalah satire. Perilaku yang heboh tapi tidak mampu menghentikan bencana kabut asap. Kabut asap berhenti ketika hujan berulangkali turun. Membasahi ribuan hektare rawa gambut yang terbakar.
Fragmen yang digambarkan Conie Sema tersebut tidak hanya berlangsung pada 2015, juga terjadi pada 2019 dan 2023 ini.
Conie Sema adalah pekerja seni di Palembang yang peduli dengan persoalan lingkungan hidup. Bersama Teater Potlot, dia menulis dan menyutradarai lakon “Rawa Gambut”, dan menampilkannya di sejumlah kota, seperti di Palembang, Bandarlampung, dan Jambi. Naskah “Rawa Gambut” mendapat anugerah Rawayan Award 2017 dari Dewan Kesenian Jakarta.
Selama 26 tahun terakhir, setiap kali musim kemarau, sebagian lahan basah Sungai Musi terbakar. Jika musim kemarau disertai El-Nino, kebakaran lahannya sangat luas. Mencapai puluhan hingga ratusan ribu hektare, yang menimbulkan bencana kabut asap. Misalnya tahun 1997-1998, 2006, 2015, 2019 dan 2023.
“Setiap kali musim kemarau panjang [El-Nino] seperti 2023 ini, lebak Arang Setambun pasti terbakar,” kata Candra [42], warga Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, akhir September 2023.
Lebak Arang Setambun berada di kawasan Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur. Sepucuk adalah kawasan rawa gambut seluas 150 ribu hektare, yang sekitar 120 ribu hektare dijadikan perkebunan sawit oleh sejumlah perusahaan dan perorangan. Sebelum dijadikan perkebunan sawit, jutaan pohon [hutan] di Sepucuk dihabisi sejumlah perusahaan HPH [Hak Pengusahaan Hutan], yang beroperasi tahun 1970-an hingga 1990-an.
Pada 6 September 2015, setelah melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat, Presiden Jokowi [Joko Widodo] mengunjungi Sepucuk yang tengah terbakar. Jokowi ke lokasi konsesi perkebunan sawit milik PT. Tempirai Palm Resources di Desa Pulau Geronggang, Sepucuk, yang terbakar. Dia menginstruksikan agar dilakukan upaya hukum terhadap PT. Tempirai Palm Resources.
Luas kebakaran lahan dan hutan pada 2015 mencapai 2,6 juta hektare. Kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut, selain berdampak pada kesehatan, juga mengganggu aktivitas perekonomian dan transportasi. Kabut asap dari kebakaran lahan dan hutan di Pulau Sumatera juga dirasakan di Malaysia dan Singapura.
Beberapa bulan kemudian, 6 Januari 2016, Jokowi membentuk BRG [Badan Restorasi Gambut] yang tugasnya merestorasi rawa gambut seluas 2,4 juta hektare, yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Tahun 2017, Presiden Jokowi berharap tidak terjadi lagi kebakaran lahan dan hutan seperti 2015. Kerugian kebakaran lahan dan hutan pada 2015 mencapai Rp220 triliun.
Pada 2019 bencana kebakaran lahan dan hutan kembali terjadi di Indonesia. Luasannya mencapai 1.649.258 hektare. World Bank memperkirakan total kerugian Indonesia dampak kebakaran lahan dan hutan tahun 2019 mencapai 5,2 miliar Dollar atau setara Rp72,95 Triliun [kurs Rp 14.000].
BRG berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM] tahun 2020. Tugasnya merestorasi rawa gambut seluas 1,2 juta hektare dan 600 ribu hektare mangrove. Wilayah restorasi mangrove di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Papua Barat.
Sejak 2015, KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang dinilai lalai atau sengaja melakukan pembakaran lahan di konsesinya. Termasuk di Sepucuk. Upaya yang sama dilakukan pada 2019 dan 2023.
Tahun 2023, KLHK sudah menyegel sejumlah lokasi kebakaran di konsesi perusahaan di Sepucuk. Yakni di konsesi PT. BKI, PT. KS, PT. SAM, PT. RAJ, serta PT. WAJ.
Selain Sepucuk, rawa gambut di Kabupaten OKI, yang selalu atau berulang terbakar setiap kali musim kemarau disertai El-Nino, yakni Talangnangka dan Pangkalan Lampam [Kecamatan Pangkalan Lampam]. Sementara di Kabupaten Ogan Ilir, beberapa wilayah di Kecamatan Inderalaya dan Kecamatan Pemulutan.
Periode 2015-2019, Sumatera Selatan adalah provinsi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733,97 hektare. Yakni seluas 646.298,80 hektare [2015], seluas 16.226, 60 hektare [2018], dan 336.778 hektare [2019]. Sebagian besar kebakaran tersebut di lahan basah, khususnya di rawa gambut.
Luasan kebakaran tersebut lebih tinggi dibandingkan Kalimantan Tengah [956.907,25 hektare], Papua [761.081,12 hektare], Kalimantan Selatan [443.655,03 hektare], Kalimantan Barat [329.998,35 hektare], Riau [250.369,76 hektare], dan Jambi [182.195,51 hektare].
Hingga awal Oktober 2023, menurut Balai Pengendalian Perubahan Iklim Kebakaran Hutan dan Lahan [BPPIKHL] Wilayah Sumatera, luas kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan mencapai 32 ribu hektare.
“Kami masih menghitung luasan kebakaran di Sumatera Selatan, sebab titik api masih ditemukan, dan musim kemarau masih berlangsung,” kata Adios Syafri dari HaKI [Hutan Kita Institute], sebuah lembaga peduli lingkungan hidup di Sumatera Selatan.
Berulangnya kebakaran tersebut, disebabkan sebagian besar lahan basah Sungai Musi yang mencapai tiga juta hektare, mengalami kerusakan atau berubah fungsi.
Kerusakannya dimulai dari aktivitas perusahaan HPH, kemudian pembukaan hutan untuk permukiman dan lahan kehidupan transmigran, serta dilanjutkan perkebunan sawit, HTI, pertambakan udang, pembangunan jalan darat, perkantoran, pabrik, serta jalan tol.
“Semua pembangunan infrastruktur dan ekonomi tersebut sama sekali tidak arif terhadap lahan basah. Cenderung mengubah lahan basah menjadi lahan mineral,” kata Yusuf Bahtimi, peneliti lahan basah dan kandidat doktoral di Oxford University.
Berdasarkan penelitian HaKI, rawa gambut di Sumatera Selatan yang berubah fungsi seluas 1.123.119 hektare. Sekitar 17 perusahaan HTI menguasai rawa gambut sekitar 559.220 hektare, 70 perusahaan sawit seluas 231.741 hektare, serta 332.158 hektare dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Kebakaran pada 2015, membuat sekitar 3,5 juta warga di Sumatera Selatan terpapar kabut asap. Jumlahnya berulang pada 2019, dan kemungkinan lebih besar pada 2023. Jumlah penduduk di lima wilayah terpapar kabut asap; Kota Palembang, Kabupaten OKI, Kabupaten OI, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], dan Kabupaten Banyuasin, sekitar 4,5 juta jiwa.
Hingga awal Oktober 2023, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan mencatat sekitar 41.012 kasus warga Sumatera Selatan terkena penyakit ISPA [Inspeksi Saluran Pernapasan Atas].
Warga Palembang yang terkena ISPA mencapai 14.960 jiwa. Tertinggi di Sumatera Selatan. Pemerintah Kota Palembang menganggarkan biaya sebesar enam miliar Rupiah untuk mengatasi penderita ISPA.
Masyarakat Palembang memiliki sejarah panjang terpapar kabut asap. Bukan hanya di tahun 1997, 1998, 2006, 2015, 2019, dan 2023. Pada 1967, masyarakat Palembang sudah terpapar kabut asap. Pada 2 November 1967, Kompas menulis berita “Palembang Diselimuti Kabut Tebal”. Kabut asap akibat aktivitas pembukaan lahan dan hutan dengan cara membakar di sekitar Palembang.
Sebuah penelitian yang dilakukan para ilmuwan dari Universitas Harvard dan Universitas Columbia mengenai dampak kabut asap dari kebakaran lahan dan hutan di Indonesia pada 2015, mengungkapkan terjadinya kematian dini bagi penduduk Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Penelitian yang dirilis pada 19 September 2016, berjudul ”Dampak Kesehatan Masyarakat akibat Asap di Ekuatorial Asia pada September-Oktober 2015” menyebutkan terjadi kematian dini terhadap 100.300 manusia. Di Indonesia sebanyak 91.600 orang, Malaysia sebanyak 6.500 orang, dan Singapura sebanyak 2.200 orang.
Pada tahun 2019, para ilmuwan dari dua universitas tersebut kembali mempublikasikan penelitiannya. Mereka memperkirakan jika kebakaran lahan dan hutan di Indonesia tidak terkendali secara maksimal, maka kematian dini akibat kabut asap dari kebakaran lahan dan hutan di Indonesia untuk periode 2020-2030, mencapai 36.000 ribu jiwa per tahun.
Krisis air bersih
“Setiap hari, kami membeli air bersih dua galon [satu galon berisi 3,78 liter] untuk masak dan minum. Harga per galonnya Rp10 ribu. Selama musim kemarau ini mungkin sudah 100 galon air minum yang kami beli. Air ini didatangkan pedagang air dari Palembang,” kata Syaiful [47], warga Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI.
Sementara air untuk mandi dan mencuci, “Setiap hari kami ke sungai atau lebak yang masih ada airnya,” katanya. “Sebulan terakhir, air sumur sudah kering.”
Krisis air bersih ini, kata Syaiful, berlangsung sejak tahun 2000-an. Setelah banyak rawa gambut dijadikan perkebunan sawit. “Memang pernah terjadi kemarau panjang di awal 1990-an, yang menimbulkan krisis air. Tapi itu terjadi tidak setiap tahun. Kalau sekarang, hampir setiap kali musim kemarau dipastikan krisis air.”
Kondisi yang sama juga dirasakan masyarakat di Kecamatan Tulungselapan dan Kecamatan Air Sugihan. Bahkan, harga air mineral per galon untuk beberapa wilayah mencapai Rp15 ribu.
Sejumlah warga terpaksa patungan membeli air bersih per truk tangki yang berisi 5.000 liter. Harganya kisaran Rp200-250 ribu per truk tangki.
Krisis air bersih juga dialami masyarakat di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Ilir. Sama seperti di Kabupaten OKI, masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Banyuasin terpaksa membeli air bersih, yang dibawa dari Palembang.
“Kami ini setiap musim kemarau selalu menghadapi persoalan yang sama. Kebakaran lahan dan krisis air,” kata Sumantri, warga Desa Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI.
Rusaknya rawa gambut, kata Sumantri, bukan hanya menurunkan populasi ikan sebagai sumber pangan dan ekonomi di Desa Talangnangka, “Juga menimbulkan bencana kebakaran lahan dan krisis air di musim kemarau, serta ancaman banjir di musim penghujan, yang dapat membuat sawah kami gagal panen.”
Belum ada penelitian mengenai kerugian yang dialami masyarakat di sekitar lahan basah Sungai Musi akibat krisis air bersih. Tapi, diperkirakan setiap kali musim kemarau panjang, biaya dikeluarkan masyarakat di sekitar lahan basah Sungai Musi untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mencapai puluhan miliar Rupiah.
Misalnya di Kabupaten OKI, masyarakat yang menetap di sekitar lahan basah terdampak dari krisis air bersih, diperkirakan mencapai 148.375 jiwa atau 37 ribu kepala keluarga, yang tersebar di Kecamatan Pangkalan Lampam [27.661 jiwa], Kecamatan Tulung Selapan [47.200 jiwa], Kecamatan Cengal [37.263 jiwa], Kecamatan Air Sugihan [36.251].
Jika 37 ribu keluarga mengeluarkan biaya Rp20 ribu per hari untuk memenuhi kebutuhan air bersih, maka terhitung sekitar Rp740 juta per hari atau Rp2,22 miliar per bulan. Sementara krisis air bersih sudah berjalan dua bulan selama kemarau tahun 2023.
Upaya pencegahan
Jauh sebelum terbentuknya BRGM, upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dimulai dari 2003. Awalnya proyek South Sumatra Forest Fire Management Project [SSFFMP].
Proyek kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa, berjalan dari Januari 2003 hingga Januari 2008. Sasaran proyeknya, kelompok masyarakat yang wilayahnya terbakar pada 1997-1998, di Kabupaten OKI, Kabupaten Muba, dan Kabupaten Banyuasin.
Beberapa desa yang menjadi sasaran proyek, misalnya Muara Medak, Pagar Desa, Kali Berau, Bayat Ilir, dan Mangsang [Kabupaten Muba], kemudian Ulak Kemang, Riding, Simpang Tiga, Ujung Tanjung [Kabupaten OKI], serta Talang Lubuk, Muara Telang, dan Prajen Jaya [Kabupaten Banyuasin].
Pada tahun 2006, 2015 dan 2019, beberapa desa yang mendapat dampingan proyek SSFFMP tetap mengalami kebakaran lahan dan hutan. Misalnya Desa Muara Medak, Mangsang, Ulak Kemang, Riding, Simpang Tiga, Ujung Tanjung, Muara Telang, dan Prajen Jaya.
Proyek pencegahan kebakaran lahan dan hutan dilanjutkan MRPP [Merang REDD Pilot Project] dan Bioclime-GIZ. Proyek MRPP berjalan hingga 2015.
Pasca-kebakaran lahan dan hutan tahun 2015, dijalankan sejumlah program oleh TRGD [Tim Restorasi Gambut Daerah] yang didukung BRG. Pada saat bersamaan, berjalan proyek KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku] yang melakukan pendekatan lanskap.
Proyek KELOLA Sendang yang didanai Pemerintah Inggris dan Norwegia melalui UKCCU [United Kingdom Climate Change Unit] yang diimplementasikan ZSL [Zoological society of London], hanya berjalan empat tahun [2016-2020].
Pada 2018, Pemerintah Sumatera Selatan melahirkan Peraturan Daerah [Perda] Pengelolaan dan Perlindungan Gambut. Perda ini merupakan yang kali pertama di Indonesia
Kebakaran berlanjut?
Diperkirakan kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan pada tahun-tahun mendatang akan terus terjadi. Kebakaran sangat luas diperkirakan akan terjadi pada musim kemarau tahun 2027.
“Biasanya El-Nino berlangsung setiap empat tahun sekali. Jadi, musim kemarau 2027 kemungkinan besar disertai El-Nino,” kata Adios Syafri dalam diskusi “Kemarau: Bencana atau Perayaan?” yang diselenggarakan Institut Tangga Buntung di Kopi Mibar, Palembang, Minggu [8/9/2023].
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebakaran akan terus terjadi di lahan basah Sungai Musi. Pertama, suhu bumi terus meningkat, membuat musim kemarau yang disertai El-Nino akan terasa lebih kering. Lahan basah Sungai Musi akan lebih mudah terbakar.
Kedua, aktivitas ekonomi maupun pembangunan yang mengubah lahan basah menjadi lahan mineral [pengeringan] akan terus berlangsung. Misalnya, perkebunan sawit. Perkebunan sawit bukan hanya dilakukan perusahaan, juga masyarakat. Turunnya harga getah karet membuat masyarakat di sekitar lahan basah beralih dari berkebun karet ke sawit. Lahan basah tersisa, kemungkinan besar akan dikeringkan oleh masyarakat melalui pembuatan kanal, untuk dijadikan perkebunan sawit.
Di sisi lain, bertambahnya penduduk dan berkembangnya sebuah wilayah, membuat banyak lahan basah ditimbun atau dikeringkan untuk dijadikan permukiman, perkantoran, jalan, dan infrastruktur lainnya.
Apa upaya untuk mencegah atau menekan terjadinya kebakaran lahan dan hutan?
Pertama, menghentikan atau melarang pengembangan perkebunan sawit, HTI, atau perkebunan tanaman bukan endemik lahan basah. Baik yang dilakukan perusahaan maupun masyarakat.
Kedua, mengembangkan ekonomi berbasis lahan basah. Seperti perikanan atau perkebunan tanaman endemik lahan basah, sebut saja jelutung [Dyera costulata].
“Getah jelutung memiliki ekonomi tinggi dibandingkan getah karet. Harapan dari aktivitas ekonomi tersebut, lahan basah yang sudah direstorasi [dibasahi] tetap terjaga atau tidak diubah oleh masyarakat,” jelasnya.
Ketiga, penegakan hukum atau cabut izin terhadap perusahaan yang dinilai tidak mampu mengatasi kebakaran di konsesinya. Apalagi, peristiwa kebakaran tersebut berulangkali terjadi pada konsesi sebuah perusahaan.
Keempat, hentikan atau alihkan secara radikal semua aktivitas yang menyebabkan perubahan iklim global. Seperti penggunaan energi kotor.
Kelima, memastikan adanya grand design tatakelola lahan gambut yang terintegrasi berbasis landskap. Pastikan para pihak yang memanfaatkan lahan gambut dalam satu landskap konsisten mentaati grand design yang telah dibuat.
Pastikan juga infrastruktur dan sarana pendukung untuk perlindungan dan pengelolaan lahan gambut, termasuk kanal blocking, sumur bor, dan embung, yang layak dan berfungsi dengan baik. Pastikan pula, masyarakat sekitar diperankan dalam perlindungan dan pengelolaan, termasuk pemanfaatan lahan gambut.