Mongabay.co.id

Keamanan Laut Jadi Tugas Penting untuk Presiden RI Terpilih

 

Pekerjaan rumah menanti Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru terpilih untuk periode 2024-2029. Kedua pemimpin tertinggi di tanah air itu sudah ditunggu untuk menyelesaikan persoalan ancaman maritim di wilayah perairan dan yurisdiksi nasional.

Wilayah perairan yang dimaksud, mencakup laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Sementara, wilayah yurisdiksi nasional mencakup zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, dan zona tambahan.

Ancaman kemaritiman yang terjadi di wilayah perairan dan yurisdiksi nasional itu, adalah mencakup aktivitas riset ilmiah kelautan oleh kapal asing; pencemaran minyak (oil spill) lintas negara; dan dugaan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) oleh kapal ikan asing dan kapal ikan Indonesia.

Semua ancaman itu menjadi bagian dari hasil deteksi dan analisis yang dilakukan oleh Indonesia Ocean Justice Iniative (IOJI) selama hampir sembilan bulan yang dihitung sejak April 2023 hingga Januari 2024. IOJI menggunakan sumber data resmi dan terbuka (open sources) dari berbagai lembaga terpercaya.

Sumber open source itu berasal dari sistem identifikasi otomatis (AIS) yang terpasang pada kapal ikan, data perizinan kapal ikan milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan data satelit (Sentinel 1 dan Sentinel 2, dan Unseenlabs).

Selain itu, ada juga sumber open source yang berasal dari data yang diolah oleh lembaga-lembaga riset, seperti Asia Maritime Transparency Initiative Center for Strategic and International Studies (AMTI CSIS), Skytruth, dan Global Fishing Watch (GFW).

Hasil deteksi dan analisis tersebut menunjukkan ada pergerakan dua kapal riset kelautan berbendera Cina, Nan Feng dan Jia Geng. Keduanya terdeteksi sedang berlayar di sekitar perairan Laut Natuna Utara (LNU).

baca : Sulitnya Menjaga Kedaulatan dan Hak Berdaulat Negara di Laut Natuna Utara

 

Kapal penelitian Nan Feng milik South China Sea Fisheries Research Institute yang dideteksi berlayar di sekitar perairan Laut Natuna Utara (LNU).
pada 1-3 Mei 2023 tanpa izin pemerintah Indonesia. Foto : vesseltracker.com

 

Nan Feng terdeteksi berada di LNU pada 1-3 Mei 2023, dan Jia Geng pada 29 April-1 Mei 2023. Walau sama-sama kapal riset kelautan, keduanya memiliki perbedaan. Nan Feng adalah kapal riset sumber daya perikanan, sedang Jia Geng berjenis moving vessel profiler (MVP), yaitu kapal yang bisa melakukan riset oseanografi dengan kecepatan tinggi.

IOJI mendeteksi kalau kedua kapal riset tersebut melakukan aktivitasnya pada wilayah yurisdiksi Indonesia, tepatnya di wilayah ZEE Indonesia. Kegiatan yang dilakukan dua kapal tersebut diketahui menjadi bagian dari aktivitas riset kelautan Cina meliputi Laut Cina Selatan.

Aktivitas riset kelautan Cina itu kemudian mencapai kemajuan dan sudah diumumkan ke publik pada Januari 2024 oleh Pemerintah Cina. Mereka menyebut riset yang dilakukan pada kelautan sudah menghasilkan capaian besar selama 25 tahun terakhir.

Capaian itu adalah keberhasilan memetakan secara komprehensif informasi topografi, geologi, lapisan dan sedimentasi, jenis dan persebaran evolusi struktur geologi, sumber daya mineral dan lingkungan laut yang berbahaya (seperti, palung yang rawan longsor) di seluruh Laut Cina Selatan dan sekitarnya.

IOJI mengungkapkan kalau temuan itu memberi dukungan teoretis yang penting untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam seperti mineral, minyak bumi, gas alam, dan endapan logam berat di dasar Laut Cina Selatan.

Berdasarkan data hasil ulasan dari AMTI CSIS, ternyata riset ilmiah kelautan yang dilakukan Cina tidak dilakukan untuk kepentingan komersial dan ilmu pengetahuan saja. Namun juga, dilakukan untuk mengejar tujuan strategis dan militer dalam rangka melaksanakan agenda geopolitik Cina.

Diketahui, kapal Nan Feng adalah kapal penelitian yang dimiliki oleh South China Sea Fisheries Research Institute di bawah Chinese Academy of Fishery Sciences (CAFS) yang didirikan oleh Kementerian Pertanian Cina.

Kapal Nan Feng pernah melakukan survei hidroakustik di Laut Cina Selatan zona tengah pada 2014 dan 2015. Survei hidroakustik adalah survei yang dilakukan oleh kapal riset perikanan dengan bertujuan untuk mengetahui kekayaan sumber daya perikanan di laut.

baca juga : Laut Natuna Utara Tetap Jadi Favorit Lokasi Pencurian Ikan

 

Lintasan Kapal Nan Feng di Laut Cina Selatan pada 10 April hingga 15 Mei 2023. Sumber : IOJI

 

Kemudian, kapal Jia Geng adalah kapal riset yang dimiliki oleh perguruan tinggi unggulan Cina yang berafiliasi dengan industri pertahanan negara tersebut, Universitas Xiamen. Kapal tersebut adalah kapal riset modern dan canggih berukuran 3.611 gross ton yang mampu berlayar hingga 12.000 mil laut dan meluncurkan alat-alat riset kelautan sampai kedalaman 10.000 meter.

Berdasarkan hasil deteksi, Jia Geng melakukan misi survei di seluruh wilayah Laut Cina Selatan, termasuk LNU pada periode April-Mei 2023. Jia Geng adalah kapal jenis kapal moving vessel profiler (MVP) yang memiliki kemampuan survei hidrografi, mengambil data oseanografi dalam jangkauan yang luas tanpa kapal harus berhenti.

IOJI mencatat bahwa kapal Jia Geng melintas keluar masuk di perarian LNU pada 29 April hingga 01 Mei 2023. Pada perjalanannya, Jia Geng melintasi perairan ZEE negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, seperti Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia dan Indonesia yang memiliki kedalaman 100 m hingga 4000 m.

Itu menjadi perjalanan perdana Jia Geng melakukan survei hingga ke ujung sisi selatan Laut Cina Selatan dalam tiga tahun terakhir. Perjalanan kapal tersebut bahkan sampai di perairan LNU.

Ancaman berikutnya yang juga terdeteksi, adalah pencemaran laut berupa tumpahan minyak dari kapal di wilayah perairan sebelah timur Johor, Malaysia pada 10, 16, dan 28 April 2023. Tumpahannya diduga kuat terbawa arus dan mencemari laut Indonesia (transboundary pollution) hingga ke wilayah pesisir pulau Batam dan pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)

perlu dibaca : Patroli Bersama Belum Jangkau Laut Natuna Utara. Kenapa?

 

Lintasan Kapal Jia Geng di Laut Natuna Utara pada 29 April – 1 Mei 2023. Sumber Data: AIS diolah IOJI

 

Kapal IUU Fishing

Kemudian, ancaman besar juga masih mengintai keamanan laut Indonesia dari aktivitas penangkapan ikan secara ilegal. Sepanjang periode tersebut, kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam diduga kuat masih melakukan kegiatan penangkapan ikan secara illegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF).

Contohnya, nelayan lokal di sekitar Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri melaporkan bahwa pada 20 November 2023 KIA Vietnam melakukan IUUF di LNU sebelah timur. Kapal pelaku IUUF tersebut dilaporkan hanya berjarak 49 mil dari pulau Senua, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna.

Kapal-kapal ikan dari Vietnam itu diketahui secara aktif melakukan penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan (API) pair trawl di area tumpang tindih ZEE yang menjadi klaim antara Indonesia dan Vietnam. Bahkan, jauh masuk ke wilayah selatan dari area tumpang tindih klaim ZEE.

IOJI mengklaim, nelayan lokal Natuna sudah banyak mengeluhkan dampak negatif akibat penetrasi yang dilakukan KIA Vietnam. Mereka merasa terancam, karena mata pencaharian nelayan lokal bergantung pada sumber perikanan di wilayah perairan LNU.

“Hasil tangkapan mereka berkurang, yang memaksa nelayan melaut hingga ke ZEE Malaysia,” ungkap Andreas Aditya Salim, peneliti IOJI dalam sebuah acara di kantor Katadata, Jakarta, awal Februari 2024.

Perbuatan KIA berbendera Vietnam tersebut sudah diganjar sanksi oleh Uni Eropa sejak 2017. Sanksi berupa kartu kuning itu diberikan kepada Pemerintah Vietnam, karena mereka tidak berhasil memenuhi kewajiban sebagai negara bendera (flag state) untuk memastikan kapal dengan benderanya tidak terlibat dalam kegiatan IUUF.

baca juga : Kapal Asing Tetap Marak di Laut Natuna Utara

 

Petugas PSDKP berjaga di atas kapal ikan asing Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Maret 2023. Foto : KKP

 

Perbuatan KIA Vietnam itu seharusnya bisa dicegah oleh kapal patroli pengawas perikanan Vietnam Fisheries Resource Surveillance (VFRS) yang secara konsisten masih beroperasi di sepanjang garis batas landas kontinen.

Namun, VPRS tidak proaktif untuk memastikan KIA Vietnam tidak menangkap ikan di area tumpang tindih dan bahkan jauh hingga ke wilayah selatan di luar area tumpang tindih yang secara geografis sudah masuk ke wilayah yurisdiksi (ZEE) Indonesia.

Nelayan lokal Natuna, yang mata pencahariannya memang bergantung kepada sumber daya perikanan Laut Natuna Utara (LNU), telah merasakan secara langsung dampak negatif dari operasi kapal ikan Vietnam di LNU. Oleh karena itu, sikap tegas Pemerintah Indonesia berupa peningkatan intensitas patroli serta penegakan hukum sangat diperlukan.

 

Rekomendasi untuk Presiden Baru

Andreas menyebutkan, tantangan utama yang harus dihadapi Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden baru dalam melakukan pemberantasan IUUF di LNU, adalah minimnya sarana, prasarana, dan anggaran untuk melakukan patroli secara rutin dan terus-menerus.

Di sisi yang lain, Indonesia dan Vietnam masih belum mengumumkan secara resmi titik-titik koordinat batas kedua negara berdasarkan hasil kesepakatan batas ZEE pada Desember 2022. Situasi itu memengaruhi sikap tegas pada penegakan hukum di wilayah yurisdiksi LNU.

Kemudian, ancaman juga masih muncul dari kegiatan IUUF yang terdeteksi oleh IOJI di wilayah perairan Indonesia bagian timur. Berdasarkan data AIS, IOJI mendeteksi kapal angkut ikan Fu Yuan Yu F77 berbendera Cina berlayar dari Tual (Maluku) menuju Laut Arafura sepanjang September hingga Desember 2023.

IOJI mencatat, sepanjang beroperasi yang diduga kuat melakukan IUUF, kapal tersebut melanggar hukum karena terdeteksi sempat mematikan AIS saat berada di Laut Arafura. Menurut Andreas, perbuatan tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja.

baca juga : Sektor Kelautan dan Perikanan Tak Penting untuk Calon Presiden Indonesia?

 

Petugas PSDKP KKP menjaga enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021). Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Mengacu pada hasil deteksi dan analisis, peneliti IOJI lainnya, Imam Prakoso memaparkan rekomendasi dalam hal penegakan hukum di laut.

Pertama, ability to detect. Itu adalah kemampuan melakukan deteksi aktivitas di laut yang cepat dan akurat dengan teknologi pemantauan multi-sumber data dan informasi yang terintegrasi antarkementerian dan lembaga.

Kedua, ability to respond. Itu adalah kemampuan merespons dan/atau menindak tegas pelanggaran yang terjadi, di antaranya:

a) Menangkap kapal ikan asing yang tanpa izin menangkap ikan di ZEE Indonesia dan melanjutkan proses hukum ke tingkat penyidikan dan penuntutan;

b) Memastikan status perizinan riset kelautan oleh kapal riset asing, serta meminta klarifikasi kepada negara bendera kapal mengenai perlintasan kapalnya di ZEE Indonesia;

c) Menuntut pertanggungjawaban kapal-kapal pelaku pencemar di wilayah laut dan pesisir Indonesia.

Ketiga, ability to punish. Itu adalah kemampuan menjatuhi sanksi dan/atau hukuman yang memberikan efek jera terhadap pelaku ancaman keamanan laut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional; dan

Keempat, ability to cooperate with international community. Itu adalah kemampuan untuk mengatasi ancaman keamanan laut melalui kerja sama internasional, baik dengan pemerintah negara lain mau pun dengan lembaga internasional yang secara khusus menangani isu ancaman laut terkait.

baca juga : Seberapa Dalam Tiga Calon Presiden Pahami Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Sebanyak 39 ABK kapal ikan asing Vietnam diamankan saat ditangkap mencuri ikan di Natuna Utara pada Oktober 2023. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, IOJI juga merilis rekomendasi upaya penguatan keamanan laut yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia:

Pertama, mempublikasikan titik-titik koordinat batas ZEE Indonesia-Vietnam yang telah disepakati pada Desember 2022;

Kedua, menindak tegas kapal-kapal ikan Vietnam yang melakukan illegal fishing di Indonesia, termasuk mencegah kapal Pemerintah Vietnam yang rutin berpatroli di garis Landas Kontinen Indonesia-Vietnam;

Ketiga, menyelidiki kapal angkut ikan berbendera Tiongkok, Fu Yuan Yu F77 yang terindikasi melakukan illegal transshipment dan deaktivasi AIS selama berada di Laut Arafura;

Keempat, meminta klarifikasi Pemerintah Cina mengenai dugaan aktivitas riset kelautan yang dilakukan kedua kapal riset mereka di LNU, serta mengambil langkah-langkah diplomatik dan hukum yang tegas merespons aktivitas riset yang merugikan Indonesia;

Kelima, menindak tegas pelanggaran penangkapan ikan oleh kapal Indonesia dengan jaring tarik berkantong pada jalur di bawah 12 mil;

Keenam, melakukan kajian komprehensif terhadap penggunaan jaring tarik berkantong untuk mengetahui tingkat keramahan alat tangkap terhadap ekosistem laut;

Ketujuh, memperkuat sistem keamanan laut dengan peningkatan 3A+1 abilities, yaitu kemampuan mendeteksi (ability to detect), kemampuan merespon tepat dan cepat hasil pendeteksian (ability to respond), kemampuan menghukum (ability to punish), dan kemampuan untuk mengatasi ancaman keamanan laut melalui kerja sama internasional;

Kedelapan, mempercepat proses pembentukan peraturan perundang-undangan tentang keamanan laut guna memperkuat koordinasi dan sinergitas penegakan hukum di laut;

Kesembilan, memperkuat literasi akan isu keamanan laut melalui pelibatan jurnalis, peneliti, dan generasi muda Indonesia; dan

Kesepuluh, meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil, di antaranya melalui percepatan pendataan nelayan kecil agar mendapatkan kartu nelayan, kemudahan akses permodalan dan asuransi.

baca juga : Pemerintahan Joko Widodo Buruk dalam Kelola Kelautan dan Perikanan?

 

Kapal Patroli KKP Orca 01 yang memandu kapal ikan asing berbendera Filipina yang ditangkap di Laut Sulawesi pada awal April 2023. Foto : PSDKP KKP

 

Sistem Keamanan Laut

Chief Executive Officer IOJI Mas Achmad Santosa mengungkapkan bahwa sistem keamanan laut yang tangguh dan responsif adalah prasyarat pembangunan berkelanjutan Indonesia. Sistem tersebut harus mencakup aspek keamanan manusia (human security), keamanan nasional (national security), lingkungan hidup/ekosistem laut (marine environment), dan pembangunan ekonomi (economic development).

“Keempatnya dapat menopang pertahanan dan keamanan bangsa,” ungkapnya.

Pakar Geodesi dan Geospasial Hukum Laut Universitas Gadjah Mada Yogyakarta I Made Andi Arsana mengingatkan pentingnya melaksanakan harmonisasi hukum agar bisa menghindari ketidaksamaan prinsip mendasar dalam memperkuat keamanan laut.

Menurutnya, instansi yang berurusan dengan laut saat ini jumlahnya terlalu banyak, namun bisa disederhanakan melalui single agency multitask. Tetapi, peluang tersebut justru memunculkan instansi baru yang bisa memperumit koordinasi.

Sementara, bagi pakar hukum internasional dan kebijakan keamanan maritim Fakultas Hukum Universitas Indonesia Arie Afriansyah, saat ini menjadi momen tepat bagi pemimpin yang baru untuk memberi perhatian lebih baik pada keamanan laut.

“Kebijakan mengenai laut yang diambil oleh Indonesia akan memberikan pengaruh secara global,” terangnya. (***)

 

Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan

 

Exit mobile version