- Wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia adalah target yang selalu menjadi incaran saat kapal-kapal laut melaksanakan aktivitas di Asia Tenggara. Namun sayang, target yang ditetapkan lebih banyak untuk kegiatan ilegal alias tak berizin dari Pemerintah Indonesia
- Selain kapal ikan yang biasa mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia, kapal lain juga sering ditemukan melakukan aksi ilegal di ZEEI, khususnya di wilayah perairan Laut Natuna Utara. Perairan tersebut menjadi favorit, karena beririsan dengan wilayah negara lain
- Bentuk pelanggaran yang terjadi paling mutakhir, adalah kegiatan alih muat (transshipment) kapal yang dilakukan oleh kapal berbendera Iran, MT Arman 114 dengan kapal berbendera Kamerun MT S Tinos
- Pelanggaran yang dilakukan, adalah tidak menyalakan dan mengelabui sistem identifikasi otomatis (automatic identification system/AIS) di ZEE Indonesia; dan memindahkan muatan berupa minyak mentah di tengah laut secara tidak sah (illegal transhipment at sea), serta mencemari laut Indonesia (dumping)
Wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara tetap menjadi primadona kapal-kapal asing untuk melancarkan aksinya secara ilegal. Tak hanya mencuri ikan, aksi melanggar hukum juga dilakukan dengan cara alih muat (transshipment) kapal.
Kegiatan melakukan pemindahan barang muatan kapal itu dilakukan kapal super tanker berbendera Iran MT Arman 114 pada Jumat (7/7/2023). Kapal tersebut melakukan transshipment berupa minyak mentah ke kapal super tanker lainnya berbendera Kamerun, MT S Tinos.
Kedua kapal tanker tersebut tidak mematuhi peringatan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dan terus bergerak meninggalkan ZEE Indonesia sambil tetap melakukan ship-to-ship oil transfer. Selain itu, Bakamla juga mendeteksi adanya pembuangan (dumping) limbah minyak ke laut dari kedua kapal tersebut di ZEE Indonesia.
Pihak yang berhasil menggagalkan aksi ilegal tersebut tidak lain adalah Bakamla RI. Lembaga coast guard Indonesia itu melakukan penangkapan, karena ada dugaan pelanggaran hukum Indonesia.
Beberapa pelanggaran itu, di antaranya adalah tidak menyalakan dan mengelabui sistem identifikasi otomatis (automatic identification system/AIS) di ZEEI (AIS spoofing); dan memindahkan muatan berupa minyak mentah di tengah laut secara tidak sah (illegal transhipment at sea), serta mencemari laut Indonesia (dumping).
Kemudian, kapal juga tidak mengibarkan bendera kebangsaan; tidak memiliki port clearance; dan tidak patuh terhadap aparat penegak hukum, karena kedua kapal tidak berhenti walau telah diperingatkan beberapa kali oleh Kapal Negara (KN) Pulau Marore 322 milik Bakamla.
Aksi dramatis yang dilakukan Bakamla RI dinilai patut untuk mendapatkan apresiasi dari banyak pihak. Upaya tersebut menjadi bentuk pencegahan laut dari segala pencemaran yang diakibatkan olah aktivitas dumping.
baca : Sudah Saatnya Indonesia Merapikan Kewenangan Tumpang Tindih di Laut
Apresiasi Ketegasan
Lembaga Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengapresiasi secara tegas dan lugas atas keberhasilan Bakamla RI tersebut. Menurut CEO IOJI Mas Achmad Santosa, ancaman dumping akan terus ada dan menjadi tantangan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.
Dia menjelaskan kalau aksi pengejaran dan penangkapan kapal MT Arman 114 dapat dikategorikan sebagai langkah-langkah Indonesia sebagai negara pantai dalam melaksanakan yurisdiksi atas perlindungan dan preservasi lingkungan laut di ZEE sesuai Pasal 56 ayat (1) butir c UNCLOS 1982.
“Langkah ini juga konsisten dengan kewajiban Indonesia untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut dalam Pasal 192 UNCLOS 1982,” jelas dia.
Kasus transshipment ini juga menjadi penjelas bahwa kewajiban umum perlindungan laut menjadi keharusan dengan cara mengadopsi dan menegakkan peraturan, serta kebijakan nasional dalam rangka pencegahan, pengurangan, dan kontrol atas pencemaran laut akibat dumping. Itu berlaku juga di ZEE Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 210 dan 216 UNCLOS.
Santosa menerangkan, dari kasus tersebut bisa didapat pelajaran penting lain bahwa kerja sama internasional berperan sangat penting dalam upaya menjaga kedaulatan dan hak berdaulat negara atas wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.
Tegasnya, kapal MT Arman 114 yang sedang beroperasi di wilayah ZEE Indonesia berhasil ditangkap karena ada peran kerja sama dengan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM). Kerja sama tersebut memberi kekuatan tambahan saat Bakamla melaksanakan proses pengejaran seketika (hot pursuit). Kegiatan tersebut merujuk pada Pasal 111 UNCLOS 1982 tentang Right of Hot Pursuit.
Berkat kerja sama dengan APMM, kapal MT Arman 114 bisa cepat ditangkap dan dikuasai APMM yang selanjutnya diserahkan kepada Bakamla RI untuk diproses secara hukum sesuai ketentuan perundang-undangan nasional yang berlaku di Indonesia.
“Kepemimpinan Indonesia dalam forum penjagaan laut di tingkat kawasan, dalam hal ini ASEAN Coast guard Forum (ACF), terbukti dapat memberikan manfaat dalam hal penjagaan wilayah yurisdiksi Indonesia,” ucap dia.
baca juga : Koordinator Pengawasan Laut, Bakamla: Kita Concern IUU Fishing
Lebih lanjut, dia menyebut kalau keberhasilan Bakamla RI tersebut menjadi bentuk penegas bahwa sudah seharusnya Pemerintah Indonesia untuk terus melakukan penegakan hukum yang tegas. Juga, memberikan efek jera atas segala tindakan pencemaran lingkungan laut di ZEE Indonesia, termasuk dumping.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) jo. Pasal 104 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagaimana diubah terakhir oleh UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja, tindakan dumping ke laut, termasuk ZEE, tanpa izin diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Sementara, merujuk pada Pasal 11 UU ZEE, penanggung jawab kapal MT Arman 14 juga memiliki tanggung jawab mutlak dan harus membayar rehabilitasi lingkungan laut dengan segera dan dalam jumlah yang memadai.
Pengejaran Seketika
Tentang tindakan pengejaran (hot pursuit) yang dilakukan KN Pulau Marore 322 milik Bakamla RI, IOJI memaparkan bahwa itu menjadi langkah yang benar merujuk pada Pasal 111 (2), (4), dan (5) UNCLOS 1982.
Alasan pertama, adalah karena kapal MT Arman tertangkap tangan melakukan pencemaran laut melalui dumping, yang menandakan adanya pelanggaran terhadap peraturan nasional Indonesia sebagai dasar penegakan hukum.
Kedua, hot pursuit mulai dilakukan ketika kapal MT Arman 114 tidak merespons komunikasi dan malah menghindari proses interdiksi (pemeriksaan) oleh KN Pulau Marore 322. Hal ini mengindikasikan adanya auditory signal yang diterima oleh kapal MT Arman 114 dari KN Pulau Marore 322.
Ketiga, KN Pulau Marore 322 melakukan pengejaran secara terus menerus (uninterrupted) hingga ZEE Malaysia. Keempat, hot pursuit dilakukan oleh KN Pulau Marore 322 yang jelas memiliki tanda dan teridentifikasi sebagai kapal Pemerintah RI.
Mengingat saat proses hot pursuit dilakukan, kapal MT Arman 114 sudah memasuki wilayah ZEE Malaysia, maka proses tersebut kemudian dilanjutkan oleh kapal milik APMM dengan koordinasi yang terus berlanjut di bawah kepemimpinan KN Pulau Marore 322.
perlu dibaca : Kedaulatan Negara di Laut Bergantung pada Bakamla
Dengan kewenangan penuh yang dimiliki APMM di wilayah perairan ZEE Malaysia, proses pengejaran menjadi lebih leluasa dan penangkapan pun bisa dengan cepat dilakukan kepada kapal MT Arman 114. Selanjutnya, kapal hasil tangkapan diserahkan kepada KN Pulau Marore 322.
IOJI kemudian menambahkan, berdasarkan pesawat nirawak (drone) milik Bakamla RI, kapal MT Arman 114 dan kapal MT S Tinos yang terbukti melakukan transshipment, tetap melarikan diri walau sudah dalam pengejaran KN Pulau Marore 322.
Selain itu, berdasarkan hasil kamera terbang tersebut, kedua kapal juga terbukti secara aktif melakukan dumping dengan sengaja ke perairan ZEE Indonesia. Kegiatan tersebut ilegal, karena itu dilakukan tanpa ada persetujuan negara pantai pemilik perairan.
Status dilarang itu merujuk pada Pasal 210 Ayat 5 UNCLOS 1982 yang menegaskan dumping tidak boleh dilakukan jika negara pantai tidak memberikan persetujuannya pada proses awal. Kemudian, Pasal 216 juga mewajibkan negara pantai untuk menegakkan hukum nasional terkait pencemaran laut akibat dumping, termasuk di wilayah ZEE.
“Tindakan pencemaran lingkungan laut ini harus ditindak secara tegas oleh Pemerintah Indonesia,” tegas dia.
“Selain itu, negara bendera dan pemilik (beneficial owner) kapal tanker MT Arman 114 dan MT S Tinos dituntut untuk bertanggung jawab secara hukum atas aktivitas dumping yang dilakukan di ZEE Indonesia,” tambah Mas Achmad Santosa.
baca juga : Instrusi Kapal dari Negara Lain Masih Sulit Dihentikan di Laut Indonesia
Dugaan Pelanggaran
Kepala Bakamla RI Aan Kurnia pada kesempatan berbeda menjelaskan, setelah mendapat informasi dugaan transshipment lakukan oleh dua kapal berbendera asing di ZEEI di Laut Natuna Utara, pemeriksaan dilakukan langsung oleh KN Pulau Marore 322.
Sesuai dugaan, kedua kapal tersebut tertangkap tangan sedang melakukan aksi transshipment minyak mentah dan keduanya tidak menanggapi komunikasi dari KN Pulau Marore 322. Bahkan, kedua kapal berupaya menghindari proses pemeriksaan dengan melarikan diri saat posisi selang masih menempel, serta proses transshipment tetap berlangsung.
“Tak ayal, pengejaran seketika dilakukan hingga memasuki wilayah ZEE Malaysia,” ungkap dia.
Aan Kurnia menerangkan, saat upaya penghentian dilakukan, kedua kapal melakukan break away manuver untuk mempersulit pengejaran. Saat itu, kapal MT Arman 114 bergerak ke arah barat laut, sedangkan MT S Tinos bergerak ke utara.
Kondisi tersebut membuat KN Pulau Marore 322 fokus untuk mengejar MT Arman 114 yang diduga kuat sebagai kapal pemberi muatan atau penyalur. Saat proses tersebut, Bakamla RI bekerja sama dengan APMM.
Setelah berhasil ditangkap, pemeriksaan pun dilakukan. Hasilnya, didapat formasi kalau kapal MT Arman 114 yang berbendera Iran, ternyata nakhodanya berstatus warga negara (WN) Mesir dan anak buah kapal (ABK) yang berjumlah 28 orang berstatus WN Suriah.
Selain itu, ada juga tiga orang penumpang tanpa penjelasan status WN. Kemudian Saat digeledah, kapal tersebut bermuatan minyak mentah ringan (light crude oil/LCO) dengan volume mencapai 272.569 metrik ton. Berdasarkan fakta di tempat kejadian perkara, ditemukan fakta bahwa kapal MT Arman 114 melakukan perbuatan melawan hukum.
Aturan perundang-undangan Indonesia yang dilanggar, mencakup UU No.5/1983 tentang ZEE Indonesia, UU No.17/2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pelayaran Lainnya, dan UU No.32 /2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Angan-angan Menyelamatkan Laut Natuna