Mongabay.co.id

Warga Beutong Ateuh: Kami Sejahtera Tanpa Tambang Emas

 

 

Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, berada di ketinggian 556 meter dari permukaan laut. Kecamatan ini dalam sejarahnya merupakan sisa-sisa dari kerajaan kecil yang bernaung dibawah Kerajaan Aceh, jauh sebelum Belanda menyatakan perang dengan Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873.

Masyarakat Beutong berasal dari pesisir bagian timur Aceh yaitu Kerajaan Pedir, yang sekarang menjadi Kabupaten Pidie. Saat ini, jumlah penduduk Beutong mencapai 2.400 jiwa dengan mata pencaharian utama dari perkebunan dan pertanian.

Pagi itu, Teungku Diwa Laksana, tokoh masyarakat Beutong, berangkat ke kebun berjalan kaki. Jarak kebun dengan rumahnya sekitar dua kilometer.

Kebun yang dimiliki laki-laki kelahiran 1964 itu, berada di atas perbukitan. Sejak tahun 2006 kebun Teungku Diwa masuk konsesi tambang emas PT Emas Mineral Murni (EMM).

Jika Mahkamah Agung tidak mencabut izin konsesi perusahaan ini, Teungku Diwa akan kehilangan satu-satunya kebun yang dimiliki. Bukan hanya punya lelaki ini, tapi juga punya sebagian besar masyarakat Beutong.

Kecamatan Beutong merupakan kecamatan kecil dengan hanya empat desa, yaitu, Desa Babah Suak, Blang Meurandeh, Blang Puuk dan Desa Kuta Teungoh. Kecamatan ini diapit hutan, dibelah Sungai Meureubo, dan dikelilingi hamparan sawah 500 hektar.

Empat desa ini berada di lembah beberapa bukit yang menjadi penghubung antara hutan Kawasan Hutan Ekosistem Leuser (KEL) dengan kawasan hutan Ulu Masen, dan sangat mengandalkan persawahan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

“Waktu membersihkan hingga menanam benih padi, ditentukan tokoh adat yang memimpin petani di sawah. Semua pekerjaan dilakukan serentak, gotong royong,” ujar Teungku Malikul Mahdi, pemuda Beutong.

Warga tidak menjual padi, hanya untuk kebutuhan sendiri selama satu tahun. Mereka hanya menjual hasil kebun seperti kemiri (Aleurites moluccana) dan durian ke penampung di Beutong yang kemudian dijual lagi ke Ibu Kota Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh, maupun ke Medan, Provinsi Sumatera Utara.

“Kemiri menjadi andalan kami. Buah yang jatuh dikumpulkan dan dua bulan sekali dijual ke penampung seharga Rp7-8 juta per ton,” kata Mahdi.

 

Pemandangan perkampungan dan hutan Beutong Ateuh Banggalan yang begitu asri. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Air Sungai Meureubo, yang hulunya di hutan Leuser, Kabupaten Aceh Tengah, merupakan sungai paling besar di Beutong. Sungai jernih ini muaranya ke Samudera Hindia di Kabupaten Aceh Barat.

“Hidup kami tidak jauh dan sangat bergantung pada sungai, sawah, kebun, serta hutan. Kalau sungai rusak, kami akan mati, karena tidak ada sumber air lagi,” lanjutnya.

Sebagian warga Beutong, mencari ikan yang hidup dan besar secara alami di Sungai Meureubo. Masyarakat bersepakat tidak menangkap ikan dengan cara merusak, seperti menggunakan racun dan arus listrik.

“Ikan di sini masih besar-besar dan banyak, bahkan ada ikan jurung yang ukurannya lebih tiga kilogram,” terangnya.

Ikan jurung atau ikan batak (Neolissochilus sumatranus) termasuk jenis ikan endemik Sumatera. Di Aceh dianggap ikan raja, karena harganya yang mahal dan enak. Jenis ini hidup di sungai yang airnya bersih dan tidak tercemar.

Warga Beutong tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia, seperti ayam potong atau ayam ras pedaging. Bagi mereka, ayam tersebut tidak sehat karena pertumbuhannya dipaksakan.

Hidup masyarakat yang bergantung pada alam, membuat mereka selalu mempertahankan wilayahnya dari kegiatan pertambangan emas, legal maupun ilegal.

“Kami tidak butuh tambang emas, karena dengan menjaga sawah, kebun, dan sungai, ditambah hutan yang luas, kami lebih sejahtera. Kehadiran tambang emas hanya akan menghancurkan kampung kami,” tutur Mahdi.

 

Anak-anak mandi di Sungai Meureubo, Beutong, yang airnya begitu jernih. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Beutong Target Tambang Emas

“Bagi kami tambang itu sama dengan neraka, kami tidak mau ada neraka di kampung kami. Pertambangan itu sangat mengancam kehidupan masyarakat, akibat dampak yang ditimbulkan,” kata Zakaria, Ketua Generasi Beutong Ateuh Banggalang, 25 Oktober 2023, mengingat peristiwa tahun 2019.

Saat itu, warga Kecamatan Beutong bersama sejumlah tokoh adat, termasuk Teungku Diwa, berunjuk rasa memprotes tambang emas EMM. Di Banda Aceh, ribuan mahasiswa melakukan hal yang sama di Kantor Gubernur Aceh.

Perusahaan modal asing ini mendapatkan izin di Beutong berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nagan Raya Nomor 545/68/KP-EKSPLORASI/2006, tanggal 16 Juni 2006. Luas konsesinya, mencapai 10.000 hektar.

Izin tersebut keluar, ketika belum genap setahun konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia berakhir, dengan perjanjian damai pada 15 Agustus 2005.

Surat izin itu, kemudian diubah, dengan Surat Keputusan Bupati Nagan Raya Nomor 545/22/SK/IUP-Ekspl./2010, tanggal 11 Januari 2010 dan terakhir diubah dengan Surat Keputusan Bupati Nomor 545/143/SK/Rev.IUP-Eksplorasi/2013.

Awalnya, saham EMM dimiliki PT Indoenergi Platinum sebanyak 248 lembar dan Toh Seng Hee dua lembar.

Warga Beutong mengaku pihak perusahaan tidak pernah mensosialisasikan kegiatannya. Tiba-tiba pada 2013, mereka berencana memasang patok batas konsesi untuk izin eksplorasi.

“Perangkat desa dan tokoh masyarakat diundang ke kantor camat, tanpa menyebutkan agenda apa. Saat kami hadir, ternyata disampaikan perusahaan ingin memasang tanda batas wilayah kerja. Semua tokoh masyarakat menolak dan meninggalkan pertemuan,” terang Zakaria.

 

Teungku Malikul Mahdi, pemuda Beutong, tengah mencari buah kemiri yang jatuh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Meskipun terjadi penolakan, namun Direktur Utama EMM melalui suratnya Nomor: 064/EMM/X/2017, tanggal 31 Oktober 2017, justru mengajukan permohonan peningkatan ke tahap operasi produksi ke Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia (BKPM RI).

Satu setengah bulan kemudian, 19 Desember 2017, Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia dalam suratnya Nomor: 66/I/IUP/PMA/2017 memberikan persetujuan untuk penyesuaian dan peningkatan tahap Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi menjadi IUP operasi produksi mineral logam, dalam rangka penanaman modal asing untuk komoditas emas.

Dalam keputusan tersebut, EMM yang 20% sahamnya dimiliki PT. Media Mining Resources  dan 80 persen saham tidak langsung dimiliki Asiamet Resources Limited, diberikan izin mengeruk emas di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah.

Asiamet Resources Limited, dalam situsnya menjelaskan, sumber daya di Beutong mencapai 2,4 juta ton tembaga, 2,1 juta ons emas, dan 20,6 juta ons perak. Selain itu terkandung cadangan molibdenum berkualitas tinggi.

Lokasi izin EMM berada di KEL sekitar 2.478 hektar dengan rincian Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 1.205 hektar dan hutan lindung mencapai 1.273 hektar. Lahan konsesi di luar KEL yaitu di APL seluas 2.779 hektar dan hutan lindung sekitar 4.709 hektar.

Anehnya, saat BKPM mengeluarkan izin usaha produksi, perusahaan ini belum mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Hal tersebut berdasarkan penjelasan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Sigit Hardwinarto, dalam surat Nomor: S.1483/pkn/pen/pla.o/11/2018 tentang IUP PT EMM yang dikirimkan kepada Sudirman, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Aceh, 30 November 2018.

“Berdasarkan data di KLHK, tidak terdapat IPPKH maupun permohonan IPPKH atas nama PT. EMM,” jelas Sigit dalam surat tersebut.

Warga Beutong dengan berbagai cara menolak rencana pertambangan emas.

“Kami tidak mau mewarisi tanah dan lingkungan rusak. Kami ingin anak-anak kami dapat hidup mengandalkan sawah, kebun, hutan, dan sungai,” kata Zakaria.

Zakaria mengaku, masyarakat Beutong telah menyampaikan penolakan kepada Bupati Kabupaten Nagan Raya dan Gubernur Aceh. Karena tidak mendapatkan respon, warga bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh dan beberapa LSM, menggugat izin perusahaan secara hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Teungku Malikul Mahdi menunjukkan bauh kemiri yang menjadi andalan masyarakat Beutong. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pertarungan Mencegah Kerusakan Lingkungan

Gugatan terhadap keputusan Kepala BKPM itu didaftarkan warga Beutong dan Walhi Aceh ke PTUN Jakarta, pada 15 Oktober 2018.

Tokoh Ulama Beutong, Teungku Malikul Azis yang juga penerus Teungku Bantaqiah, mengatakan pertambangan emas itu berdampak negatif pada kesehatan masyarakat, mengganggu lahan pertanian dan perkebunan, serta menghancurkan kehidupan sosial masyarakat.

“Justru ada tambang, hutan rusak. Tentu berpengaruh pada hasil pertanian dan pendapatan warga pasti turun, belum lagi air pasti tercemar,” ujarnya.

Dia menyebut, EMM akan membelah Krueng Meureubo, sumber air masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan lahan pertanian.

“Jika Sungai Meureubo tercemar, dampaknya tidak hanya bagi warga Beutong. Tetapi juga berpengaruh hingga ke hilir di tiga kabupaten, enam kecamatan, 13 kemukiman, 70 desa, dengan perkiraan jumlah penduduk 50 ribu jiwa lebih,” ujarnya.

 

Lokasi bekas tambang PT. EMM di hutan Beutong. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ade Widya Isharyati, S.ST, M.Eng, ahli lingkungan hidup yang juga dosen Fakultas Teknik Sipil Jurusan Rekayasa Lingkungan Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, saat menjadi saksi ahli dalam kasus gugatan masyarakat Beutong Ateuh terhadap EMM mengungkapkan, dampak terhadap lingkungan dari pertambangan pasti ada.

“Dampak kerusakan lingkungan itu yaitu kerusakan pada manusia, hewan dan tumbuhan biasa disebut biotik. Kemudian kerusakan air, tanah dan udara atau abiotik, serta kerusakan sosial budaya masyarakatnya,” kata Ade.

Ade mencontohkan, kerusakan tanah menyebabkan mudah erosi, terdapat lubang-lubang bekas tambang, dan akan timbul persoalan kualitas air.

“Pihak penambang juga akan mengalirkan limbah ke sungai terdekat, hal ini akan mengakibatkan kualitas air tercemar. Dari sisi penilaian kualitas udara, debu proses pertambangan akan menjadi faktor yang membuat kualitas udara menjadi tidak baik,” ujar Ade.

Semua zat kimia yang digunakan usaha pertambangan adalah zat berbahaya, terutama merkuri yang biasa digunakan untuk pengolahan emas.

“Limbah yang dicampur zat kimia berbahaya ini pasti akan dibuang ke badan air, langsung maupun tidak, dan ini sangat berbahaya untuk manusia, hewan, tumbuhan, air maupun  tanah,” katanya.

Ade memastikan, tidak ada pertambangan yang tidak merusak lingkungan, kerusakan akan sangat parah, dan bahkan tidak menghasilkan sesuatu yang positif bagi kesejahteraan masyarakat.

“Saya bukan menolak tambang, tetapi setiap pertambangan akan menghasilkan persoalan dan dampak buruk kepada masyarakat sekitar,” jelasnya.

Earthworks – organisasi nonpemerintah dari Amerika Serikat – dalam penelitiannya menyebutkan, umumnya limbah tambang emas mengandung bahan kimia beracun seperti arsenik, timbal, merkuri, zat asam, sianida, serta produk sampingan minyak bumi.

Limbah beracun tersebut akan mencemari sungai dan laut, serta mengkontaminasi air minum sehingga merkuri dan logam berat masuk ke rantai makanan. Dampaknya, menyebabkan manusia serta hewan sakit, sampai beberapa generasi.

Selain itu, industri pertambangan, tak terkecuali tambang emas, mengancam kawasan alam, termasuk kawasan lindung dan wilayah konservasi. Hampir tiga perempat tambang yang aktif saat ini, lokasinya tumpang tindih dengan kawasan konservasi.

Menjelang pembacaan putusan gugatan warga Beutong di PTUN Jakarta, masyarakat Aceh bersama ribuan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Aceh, dari 9 – 11 April 2019.

Mereka mendesak Gubernur Aceh menolak izin EMM, sekaligus mencabut rekomendasi yang telah dikeluarkan pada 8 Juni 2006.

Setelah tiga hari berdemo, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah memenuhi tuntutan tersebut. Pemerintah Aceh mencabut rekomendasi perusahaan dan juga menemui Menteri ESDM, Ignatius Jonan, meminta pihak kementerian mencabut izin EMM.

 

Hutan Beutong Ateuh yang begitu indah dan menawan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kasasi ke Mahkamah Agung

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Jakarta, pada 11 April 2019, tidak berpihak kepada masyarakat Beutong. Majelis Hakim PTUN Jakarta menolak gugatan Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor: 66/I/IUP/PMA/2017.

“Gugatan tidak diterima dan membebankan para penggugat membayar biaya perkara,” kata Ketua Majelis Hakim PTUN Jakarta, M. Arief Pratomo, saat membaca putusan.

Warga Beutong banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Namun, Majelis Hakim dalam keputusan Nomor: 192/B/LH/2019/PT.TUN.JKT yang dibacakan pada 6 September 2019, membatalkan atau menolak banding yang diajukan warga dan Walhi Aceh.

Perjuangan masyarakat Beutong baru membuahkan hasil setelah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Dalam musyawarah yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Agung, Irfan Fachruddin, dengan anggota Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono, tanggal 14 April 2020, melalui surat keputusan Nomor: 91K/TUN/LH/2020, dijelaskan bahwa gugatan masyarakat dan Walhi dikabulkan seluruhnya.

“Menyatakan batal keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 66/I/IUP/PMA/2017,” tertulis dalam putusan.

 

Hutan Beutong merupakan penghubung antara hutan Kawasan Ekosistem Leuser dengan hutan Ulu Masen. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan, keputusan Kepala BKPM dibatalkan dan perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan pertambangan di Beutong. Majelis Hakim mewajibkan keputusan Kepala BKPM dicabut.

Dalam putusannya, Majelis Hakim Agung mempertimbangkan areal izin usaha pertambangan EMM masuk wilayah KEL. Apabila areal tersebut diberikan IUP akan berpotensi menimbulkan kerusakan KEL dan fungsi lingkungan hidup.

Areal IUP perusahaan juga mengenai sejumlah lokasi paling bersejarah di Aceh seperti, kuburan massal pasukan Cut Nyak Dhien, kuburan ulama besar Teugku Alue Panah, dan lokasi pembuangan mayat murid Teungku Bantaqiah yang masuk kasus pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Provinsi Aceh, Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah, yang dinyatakan sebagai areal yang diperuntukkan sebagai lokasi EMM, merupakan kawasan rawan bencana alam. Seperti, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan gempa bumi dengan skala VII-XII Modified Mercalli Intensity [MMI].

“Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 192/B/LH/2019/PT.TUN.JKT tertanggal 6 September 2019 yang membatalkan putusan PTUN Jakarta dengan Nomor: 241/G/LH/2018/PTUN.JKT tertanggal 11 April 2019, tidak dapat dipertahankan,” jelas Majelis Hakim Agung dalam putusannya.

BKPM dan EMM tidak terima keputusan itu, mereka mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK).

Dalam putusan Mahkamah Agung dengan Nomor: 77 PK/TUN/LH/2021 yang dikeluarkan pada 1 Juli 2021, Majelis Hakim Mahkamah Agung, Dr. Yosran, SH, M. Hum, Dr. H. Yulius, SH, MH, Prof. Dr. H Supandi, SH, M. Hum, menolak upaya PK yang diajukan tersebut.

 

Teungku Malikul Azis bersama warga Beutong dengan tegas menolak segala bentuk pertambangan yang datang ke wilayah mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Izin Dicabut, Masuk Perusahaan Baru

Kamis, 25 Mei 2023, hari beranjak siang, ratusan warga dari empat desa di Kecamatan Beutong berkumpul di jalan yang menghubungkan Kabupaten Nagan Raya dengan Kabupaten Aceh Tengah.

Tepat di ujung jembatan Sungai Meureubo, warga menghadang perwakilan PT. Bumi Mentari Energi (BME) dan Pemerintah yang ingin melihat lokasi rencana pertambangan emas perusahaan ini.

BME merupakan perusahaan tambang yang didirikan pada Desember 2020. Data AHU online Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menjelaskan, perusahaan mendapatkan SK Pengesahan AHU dari Kemenkumham pada 10 Desember 2020 dengan Nomor: AHU-0065812.AH.01.01.Tahun 2020. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yaitu, Aktivitas Konsultasi dan Manajemen Lainnya.

Saham BME dimiliki PT Eco Mandiri Jaya, PT Putra Citra Mandiri, dengan Direktur Antonius Richardus Anggoro Setyo dan Komisaris Ir. Iwan Kurniawan Rachman.

30 Desember 2022, terjadi perubahan anggaran dasar, direksi, dan komisaris serta peralihan saham. Selain itu juga terjadi perubahan KBLI menjadi pertambangan batubara, bijih nikel, emas, perak, serta aktivitas penunjang pertambangan minyak bumi dan gas alam. Ir. Iwan Kurniawan Rachman duduk sebagai direktur, komisaris dipegang Hatta Solihin, sementara pemegang saham Apri Reza Fachtoni dan Drs. Siswan Derry.

Awal Januari 2023, perwakilan BME sempat menggelar pertemuan dengan Pj. Bupati Nagan Raya, Fitriany Farhas dan sejumlah Kepala Desa Beutong. Rencana izin konsesi BME yang diajukan seluas 3.300 hektar, masuk wilayah sejumlah kampung di Kecamatan Beutong.

“Calon investor harus mempresentasikan langsung rencana mereka ke warga setempat, karena masyarakat yang akan menerima manfaat dan dampak,” sebut Fitriany.

Saat itu, Teungku Malikul Azis bersama Teungku Diwa, Zakaria, dan tokoh perempuan Beutong Fatimah, yang paling reaktif dengan kedatangan tamu tak mereka undang itu.

Warga menulis pernyataan penolakan terhadap semua pertambangan yang ditandatangani kepala desa dan Camat Beutong, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nagan Raya.

Dalam pernyataan bertulis tangan itu disebutkan, warga dan Muspika Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang menolak semua jenis tambang.

 

Surat Pernyataan Masyarakat Beutong menolak kehadiran perusahaan tambang emas. Foto: Dok. Masyarakat Beutong

 

Ketua Generasi Beutong Ateuh Banggalang, Zakaria mengatakan, informasi yang diterima warga, konsesi BME berada diluar konsesi EMM. Konsesi perusahaan baru ini berada di permukiman penduduk, areal pertanian dan perkebunan masyarakat.

“Izin mereka berdampingan dengan EMM sebelumnya. Jika EMM merusak hutan sungai, maka perusahaan ini akan menguasai tanah, rumah, sawah, dan kebun warga,” kata Zakaria.

Pada 20 Oktober 2023, BME mengirimkan surat ke Kepala Desa di Kecamatan Beutong, meminta rekomendasi pertambangan emas di wilayah ini.

Surat yang ditandatangani Iwan Kurniawan itu menyebutkan, perusahaan ingin melakukan penambangan emas, batuan tembaga, dan mineral pengikut. Untuk kelengkapan administrasi perizinan, perusahaan meminta rekomendasi dari kepala desa.

“Tidak ada warga yang sejahtera karena tambang, yang ada hanya penderitaan karena air tercemar, hutan rusak, kebun hilang, dan bencana datang,” kata Fatimah.

Jika penolakan secara baik-baik tidak didengar, jangan salahkan masyarakat Beutong nantinya menolak secara kasar.

“Kami sudah siap mati jika kampung kami diganggu perusahaan yang bagi kami sama dengan penjajah,” lanjutnya.

Fitriany Farhas pada Selasa, 24 Oktober 2023, mengatakan setiap ada investor yang ingin masuk ke Kabupaten Nagan Raya, dirinya selalu menekankan agar mempresentasikan langsung kepada Camat, Kepala Desa, pemuda dan tokoh masyarakat, karena mereka langsung yang menerima dampak negatif dan positif kegiatan tersebut.

“Kalau warga setempat seperti di Beutong menolak pertambangan, kami akan mem-back up. Bila warga menerima, kami juga mendukung, kalau warga tidak menerima maka kami tidak akan mengeluarkan rekomendasi.”

Fitriany mengatakan, terkait izin, sekarang keluar langsung dari pemerintah pusat, sehingga pemerintah di tingkat kabupaten tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kadang kami tidak tahu, ujung-ujungnya izin sudah ada.”

Dia menambahkan, dirinya akan selalu mendukung kegiatan yang melindungi hutan dan warga, selama hal itu sesuai aturan yang berlaku. Dia juga mendukung Beutong tidak dijadikan daerah pertambangan, tetap sebagai kawasan bersejarah dan religi.

“Di Beutong ada napak tilas pejuang-pejuang Aceh dulu, misalnya napak tilas Cut Nyak Dhien. Saya sudah meminta dinas terkait agar, misalnya tidak lagi menjadikan desa yang ada di sana sebagai desa tambang, tapi daerah wisata sejarah,” ungkap Fitriany.

 

Pemandangan Beutong Ateuh Banggalan yang begitu indah, hutan hijau berpadu dengan air Sungai Meureubo yang jernih. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang (Kabid) Pengaduan, Kebijakan, dan Pelaporan Layanan, Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Aceh, Saifullah Abdulgani, mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima dokumen izin terkait aktivitas BME.

“Bila mereka mengajukan izin eksploitasi, kami tetap lihat apakah warga setempat setuju atau tidak. Kami juga minta pertimbangan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh,” jelasnya.

Eksplorasi hanya penjajakan atau pengambilan sampel. Setelah izinnya selesai dilanjutkan mengajukan izin eksploitasi.

“Izin eksploitasi pertambangan itu ada syaratnya, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan, yang basisnya adalah warga setempat setuju atau tidak,” ujar Saifullah.

Mongabay Indonesia telah berusaha mengkonfirmasi PT BME melalui nomor telepon yang terdapat di Data AHU online Kemenkumham. Namun, hingga saat ini telepon tidak tersambung.

 

* Tulisan ini diproduksi dengan dukungan Internews’ Earth Journalism Network

 

Hutan Beutong Kembali Diincar Perusahaan Tambang Emas

 

Exit mobile version