Mongabay.co.id

Pulau Kecil Adalah Masa Depan Indonesia

 

Pada persidangan Senin (21/03/2024), majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan dari perusahaan tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP) dalam perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023 itu tentang Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K).

MK menilai kalau Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K yang sudah diuji, dinyatakan tidak bertentangan dengan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang diskriminatif seperti diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UU Dasar 1945.

Hakim MK Enny Nurbaningsih yang membacakan putusan tersebut mengatakan pada persidangan, “Setelah Mahkamah mencermati secara saksama Pasal 35 huruf k UU 27/2007, pasal a quo tidak mengandung unsur adanya tindakan diskriminasi.”

Berkenaan dengan Pasal 23 ayat (2), Hakim MK menyatakan bahwa kata “diprioritaskan” yang termaktub dalam pasal tersebut, dinyatakan tidak melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan serta mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Justru, pasal tersebut dinyatakan oleh Hakim MK sebagai bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Caranya, dengan memberikan keseimbangan, melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.

Hakim MK kemudian menegaskan lebih jelas bahwa UU 27/2007 tentang PWP3K adalah dibuat dan diberlakukan untuk melindungi keberlanjutan dan kelestarian kawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam NKRI.

Baca : Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan PT GKP, Pulau Kecil Tak Boleh Ada Tambang

 

Putusan hakim Mahkamah KOnstitusi yang disiarkan langsung lewat Youtube Mahkamah Konstitusi. Sumber: tangkapan layar Youtube

 

Pada persidangan sebelumnya, Hari Kamis (01/02/2024), Mas Achmad Santosa sebagai saksi ahli memberikan keterangan pada persidangan putusan permohonan uji materi UU No.27/2007 jo UU No.1/2014 itu. Keterangannya saksi dari Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Ocean Justice Initiative itu, membantu Majelis Hakim untuk membuat pertimbangan keputusan.

Melalui keterang resmi yang dikirimkan kepada Mongabay Indonesia, IOJI menyatakan bahwa Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 menjadi sejarah bagi MK. Sebabnya, itu merupakan keputusan penting (landmark decision) untuk perlindungan pulau-pulau kecil.

Adapun, penafsiran yang disampaikan Mas Achmad Santosa pada sidang putusan tersebut, adalah:

Pertama, tentang penafsiran MK terhadap Pasal 33 (4) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat (strong sustainability). Putusan tersebut menghubungkan penerapan critical natural capital (CNC) sebagai manifestasi dan ciri dari strong sustainability dengan prinsip keadilan antar generasi (inter-generational equity) dan keadilan intra generasi (intra-generational equity).

Berkaitan dengan hal tersebut, IOJI berpandangan bahwa implikasi dari penafsiran tersebut adalah Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk UU (law makers) perlu menetapkan ekosistem-ekosistem tertentu (berdasarkan kriteria ilmiah) yang bersifat kritikal sebagai CNC, yang tidak dapat disubtitusikan dan digantikan oleh kekayaan buatan manusia (man made wealth).

Kedua, MK menyatakan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) memiliki fungsi yang sangat penting, namun rentan terhadap perusakan dan perubahan iklim. Hal itu, membuat WP3K memenuhi persyaratan ‘criticality’ untuk ditetapkan sebagai CNC.

Dengan demikian, itu tidak dapat disubstitusikan dan dialihkan menjadi kekayaan buatan manusia,  terutama kegiatan pertambangan yang diistilahkan sebagai kegiatan yang bersifat abnormally dangerous activity.

Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dipaparkan di atas, menjadi alasan kuat Hakim MK untuk menolak petitum (tuntutan) Pemohon, yang antara lain meminta agar Mahkamah menyatakan kegiatan pertambangan sebagai salah satu kegiatan yang tidak dilarang dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

Hakim MK menjelaskan bahwa WP3K merupakan ekosistem yang rentan, sehingga dalam pemanfaatannya harus berdasarkan prinsip kehati-hatian dan diatur dengan persyaratan yang sangat ketat.

Atas putusan tersebut, IOJI menaruh harapan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia bisa berjalan dengan berlandaskan prinsip pembangunan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkeadilan.

Itu sebagaimana dijamin oleh pasal 33 (4) UUD 1945, yang tidak dapat disubstitusi dan digantikan dengan kepentingan investasi pertambangan yang ekstraktif dan destruktif.

Baca juga : Manipulasi di Balik Praktik Pencucian Biru di Pulau Kecil

 

Kuasa Hukumm Pemohon PT GKP saat mendengarkan Pengucapan Putusan Perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023, di Ruang Sidang Pleno MK. Foto : Humas MK/Teguh

 

Tak Tergantikan

Selain dari IOJI, Putusan MK tersebut juga mendapatkan tanggapan dari Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) bersama Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PHBI). Keduanya membagikan keterangan resmi kepada Mongabay Indonesia sebagai Tim Advokasi Anti Pertambangan di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Demi Kemanusiaan (Terpukau).

Terpukau menyebutkan ada beberapa hal penting yang menjadi catatan dalam putusan tersebut.

Pertama, WP3K dinyatakan sebagai wilayah yang kritis (critically). Itu menjelaskan bahwa WP3K memenuhi syarat elemen ‘criticality’ apabila melihat dari kadar pentingnya (degree of importance), maupun kadar keterancamannya (degree of threats) berdasarkan kriteria-kriteria di atas. WP3K juga sangat rentan dan mudah mengalami kerusakan, serta perubahan akibat kegiatan manusia (anthropogenic) atau bencana.

Kedua, Terpukau menegaskan syarat-syarat pemanfaatan sumber daya pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang wajib dipenuhi:

  1. Persyaratan pengelolaan lingkungan, sebab kelestarian lingkungan merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945;
  2. Memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, sehingga setiap pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan peruntukannya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 33 ayat (3) UUD 1945]; dan
  3. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan yang menjadi faktor penting agar dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya tersebut tetap menjaga dan mementingkan kelestarian lingkungan [vide Pasal 23 ayat (3) UU 1/2014].

Baca juga : Pulau Kecil, Terancam Tenggelam oleh Pertambangan

 

Pengerukan ore nikel PT GKP di Pulau Wawonii. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Ketiga, mengakui kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity, termasuk kegiatan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil.

  1. Kegiatan tersebut mengandung atau menimbulkan resiko bahaya yang tinggi kepada manusia, tanah, atau harta benda bergerak;
  2. Kegiatan dengan kemungkinan timbulnya bahaya sangat besar;
  3. Ketidakmampuan meniadakan resiko dengan melakukan tindakan atau kehati-hatian wajar;
  4. Termasuk bukanlah suatu hal atau kegiatan yang lazim;
  5. Tidak bersesuaiannya sifat kegiatan dengan tempat/area di mana kegiatan tersebut diselenggarakan; dan
  6. Nilai atau manfaatnya bagi masyarakat tidak sebanding dengan tingkat kebahayaan dari kegiatan bersangkutan.

Itu artinya, dalam hal terdapat kepentingan pengelolaan WP3K yang berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada kerusakan lingkungan jika diperhadapkan kepada kepentingan memelihara kelestarian lingkungan, maka menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan harus menjadi prioritas.

Keempat, menafsirkan norma pasal 23 yang mengandung tiga prinsip utama: Pertama, prinsip pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Kedua, prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Ketiga, syarat pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

Kelima, menegaskan kembali hak-hak asasi manusia dari masyarakat nelayan tradisional dan perikanan skala kecil untuk memastikan pemanfaatan pulau kecil supaya:

(1) Pemanfaatan sumber daya tersebut tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya non hayati pesisir;

(2) Pemanfaatan sumber daya pesisir tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumber daya pesisir; dan

(3) Pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.

Baca juga : Kegiatan Tambang di Pesisir Pulau Kecil adalah Pelanggaran Konstitusi

 

Terminal khusus PT GKP yang bersisihan dengan dermaga warga di kampung Roko Roko. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Atas semua itu, apresiasi disampaikan PBHI dan Ekomarin, karena Hakim MK berani mengedepankan perlindungan lingkungan hidup serta HAM dalam berbagai pertimbangannya. Putusan tersebut diharapkan dapat menjadi landmark yang menjadi basis untuk perlindungan yang kuat, tidak hanya WP3K namun juga perlindungan hak konstitusional rakyat yang tinggal di wilayah tersebut.

Selain itu, Terpukau juga berharap bahwa putusan ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai basis untuk melakukan pemulihan terhadap berbagai kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM yang telah disebabkan perusahaan tambang di WP3K.

Terakhir, Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) memberikan pandangannya tentang putusan MK tentang UU PW3K. KORAL menilai bahwa PT GKP kleiru dalam menafsirkan Putusan MK Nomor Perkara 35/PUU-XXI/2023.

Kekeliruan itu, adalah karena PT GKP memahami bahwa melakukan penambangan di pulau kecil bisa tetap dilakukan selama tata kelola lingkungan dan sosial tetap dipatuhi oleh perusahaan. Pemahaman tersebut dipublikasikan PT GKP pada tautan ini, namun kemudian dihapus.

KORAL menyatakan, Putusan MK tersebut harusnya dipahami secara komprehensif dan utuh, tidak dikutip beberapa bagiannya saja yang menguntungkan perusahaan. Sebelum menjatuhkan Putusan, MK lebih dulu merumuskan dua persoalan yang diajukan oleh PT GKP, yang esensinya adalah:

Pertama. Apakah benar norma Pasal 23 ayat (2) UU PW3K tidak memberikan jaminan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin UUD 1945 apabila melarang kegiatan pertambangan berikut sarana dan prasarananya, selain untuk kegiatan yang diprioritaskan?

Kedua. Apakah benar norma Pasal 35 huruf k UU PWP3K tidak memberikan jaminan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa adanya diskriminasi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 apabila kegiatan pertambangan dilarang secara mutlak tanpa syarat?

Baca juga : Hilirisasi Industri Tambang Ancam Ekosistem Pulau-pulau Kecil, Jaring Nusa: Visi Misi Capres Perlu Dikaji Ulang

 

Jalan utama yang membelah kebun warga yang dibangun PT GKP. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Penolakan gugatan dari PT GKP menegaskan bahwa: (1) Norma Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K yang melarang kegiatan pertambangan berikut sarana dan prasarananya, selain untuk kegiatan yang diprioritaskan tidak bertentangan UUD 1945; (2) Norma Pasal 35 huruf k UU PWP3K yang mengatur kegiatan pertambangan dilarang secara mutlak tanpa syarat tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Itu berarti, ada permohonan PT GKP sebelumnya yang meminta MK untuk menafsirkan kedua pasal di atas, sehingga pulau kecil boleh ditambang. Namun kemudian, permohonan tersebut ditolak oleh MK. Itu harus diapresiasi karena pertambangan merusak alam, terlebih pertambangan terbuka.

 

Penguatan

Selain itu, Putusan MK tersebut juga menguatkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022 yang menyatakan bahwa pertambangan di pulau kecil masuk ke dalam kategori abnormally dangerous activity.

Kategori tersebut menjelaskan bahwa pertambangan bisa memicu bahaya tingkat tinggi untuk manusia dan lingkungan hidup, sehingga dapat menimbulkan terjadinya bahaya besar. Terlebih, dengan adanya ketidaksesuaian antara sifat kegiatan dengan kondisi lingkungan tempat berlangsungnya kegiatan pertambangan.

Putusan MK tersebut juga mengkategorikan tambang di pulau kecil sebagai abnormally dangerous activity dan pulau kecil serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sebagai modal alam atau critical natural capital.

MK juga dalam pertimbangannya menekankan prinsip kehati-hatian dan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menurut MK menganut pembangunan berkelanjutan yang kuat (strong sustainability) dan berwawasan lingkungan. Sumber daya alam yang bersifat kritis tidak dapat digantikan oleh kekayaan buatan manusia.

Cara pandang MK tersebut, menegaskan bahwa walaupun WP3K memiliki kekayaan sumber daya alam, namun dalam memanfaatkannya sebagai aspek nilai moneter, maka WP3K diposisikan sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan ekosistem.

Oleh sebab itu, baik modal alam maupun buatan manusia, keduanya harus dijaga daya dukungnya, sehingga generasi yang akan datang tidak mewarisi lingkungan hidup yang fungsinya telah terdegradasi. Sekalipun, sumber ekstra kekayaan tersedia untuk mereka.

 

Lokasi pelabuhan mongkar muat PT GKP di Pulau Wawoni. Foto : Dokumentasi Warga Wawonii

 

KORAL memandang, pemikiran yang dimiliki MK tersebut juga menjadi pemikiran yang sama dan menjadi salah satu pertimbangan untuk pembentukan UU PWP3K. Intinya, pemanfaatan WP3K perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun akan datang.

Berbeda dengan pulau besar, KORAL menilai kalau pulau kecil memang berkarakter khusus. Selain memiliki keterbatasan dari sisi luasan, pulau kecil juga terpencil, terbatas pasokan air dan rentan terhadap gangguan eksternal, baik yang bersifat alami maupun akibat gangguan manusia.

Di sisi lain, pulau kecil memiliki fungsi dan peranan ekosistem sebagai penunjang kehidupan. Sebut saja, pengatur iklim, siklus hidrologi dan biokimia, penyerap limbah, dan sumber plasma nutfah. Tegasnya, jika pulau kecil hilang, maka manusia yang akan merasakan kerugiannya. (***)

 

 

Nasib Pulau-pulau Kecil dalam Cengkeraman Tambang

 

 

Exit mobile version