- Kabar baik bagi lingkungan laut dan pesisir serta pulau-pulau kecil di Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi UU Nomor 27 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) oleh perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), Kamis (21/3/24).
- Dengan begitu, pupus upaya perusahaan yang menginginkan pertambangan bisa beroperasi di pulau-pulau kecil.
- Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil (TAPaK) menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi harus jadi dasar Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pertambangan di seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia
- Pasca putusan MK, warga Pulau Wawonii mengingatkan kepada PT GKP agar segera meninggalkan atau angkat kaki dari pulau.
Kabar baik bagi lingkungan laut dan pesisir serta pulau-pulau kecil di Indonesia. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi UU Nomor 27 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) oleh perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), Kamis (21/3/24). Dengan begitu, pupus upaya perusahaan yang menginginkan pertambangan bisa beroperasi di pulau-pulau kecil, seperti Pulau Wawonii.
Mahkamah Konstitusi menyebutkan, dalil perusahaan yang beroperasi di pulau kecil Wawonii ini tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut karena tak ada relevansi dengan ketentuan Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 35 huruf K UU PWP3K. Majelis hakim yang dipimpin Suhartoyo membacakan amar putusan, ‘Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.”
“Dalil GKP yang beranggapan ketentuan a quo tidak memberikan jaminan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum hingga dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat,” kata Hakim sidang putusan MK di Jakarta, yang disaksikan via daring melalui akun Youtube Mahkamah Konstitusi.
Justru ketentuan a quo dibentuk dengan tujuan memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan memberikan keseimbangan, melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Serta sistem ekologis secara berkelanjutan, sebagaimana tujuan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PWP3K), khusus Pasal 4 huruf a UU 27/2007.
Dalil perusahaan yang mengasumsikan ketentuan Pasal a quo mengurangi hak konstitusional warga negara, dinilai tidak ada relevansinya
Terlebih, GKP yang mengaitkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 35 huruf k UU 27/2007 dengan tindakan diskriminasi, juga dinilai tidak ada relevansi.
MK pun membacakan pengertian diskriminasi sesuai ketentuan UU. Hakim sebutkan, diskriminasi itu dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan langsung maupun tak langsung berdasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Hingga berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lain.
Putusan hakim pun menyebutkan kalau dalil GKP tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Sebelumnya, pada Maret 2023, GKP ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, menggugat Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) dalam UU No.27/2007 soal PWP3K. Gugatan itu sebagai upaya perusahaan melegalkan aktivitas tambang di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Dalam UU No.27/2007, pulau kecil memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2, termasuk Kabupaten Konawe Kepulauan masuk kategori pulau kecil yang dikecualikan dari kegiatan pertambangan. Luas Konawe Kepulauan sekitar 706 km2.
GKP mengajukan gugatan uji materiil dan meminta frasa “apabila” dalam Pasal 23 dan 35 UU PWP3K agar ditafsirkan tidak bertentangan dengan pertambangan di pulau kecil. Namun, UU No. 27/2007 sebagaimana telah diganti menjadi UU No 1 Tahun 2014, menegaskan larangan aktivitas pertambangan di pulau kategori sebagai pulau kecil, yaitu pulau yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2. GKP berdalih, kata “apabila” dalam pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada kerugian warga.
Baca juga: Kala Tambang Nikel Datang Biodiversitas Pulau Wawonii Mulai Terdampak
Setop seluruh tambang di pulau kecil
Arko Tarigan, Kuasa hukum Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil (TAPaK), dalam siaran pers usai pembacaan putusan MK, mengatakan, gugatan GKP atas UU PWP3K dengan gunakan Pasal 28D dan 28I UUD 1945 sebagai batu uji justru tidak memiliki relevansi serta tidak berlandaskan hukum.
“Alih-alih menunjukkan GKP sebagai pihak yang merasa hak asasinya diambil, ini justru menunjukkan mereka sebagai pihak yang melakukan diskriminasi terhadap warga Pulau Wawonii dengan merenggut hak atas air dan hak atas hidupnya,” kata Tarigan.
TAPaK terdiri dari Jatam, Kiara, Walhi, Trend Asia, YLBHI, dan warga Pulau Wawonii, menilai, putusan Mahkamah Konstitusi harus jadi dasar Pemerintah Indonesia menghentikan pertambangan di seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia.
Saat ini, tercatat ada 218 izin usaha pertambangan dengan luas lebih 274.00 hektar di 34 pulau-pulau kecil di Indonesia. Salah satu pulau kecil yang diancam aktivitas pertambangan ialah Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang menjadi tempat perusahaan tambang nikel GKP beroperasi.
Muhammad Jamil, Devisi Hukum Jatam mengatakan, putusan MK menunjukkan, pulau-pulau kecil bukan untuk ditambang. Katanya, Putusan MK sebagai kemenangan rakyat secara umum, khususnya rakyat pesisir dan pulau kecil.
“Ini mesti jadi momentum mengevaluasi seluruh tambang di pulau kecil,” katanya.
Apalagi sebelum putusan MK ini, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sudah membatalkan izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan (IPPKH) anak perusahaan Harita Group yang beroperasi di Pulau Wawonii ini.
Pembatalan itu berdasarkan perkara gugatan bernomor 167/G/2023/PTUN Jakarta yang diajukan Pani Arpandi, warga Wawonii. IPPKH yang dibatalkan dari Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor SK.576/Menhut/-II/2014, tertanggal 18 Juni 2014.
Putusan Mahkamah Agung pun menguatkan kelestarian Pulau Wawonii. Mahkamah Agung memerintahkan, Pemerintah Konawe Kepulauan (Konkep) tak jadikan pulau kecil Wawonii sebagai kawasan pertambangan.
Keputusan itu tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022 pada 28 Desember lalu. Putusan ini mengabulkan permohonan keberatan hak uji materi 29 warga yang disebutkan menggarap lahan pertanian di lima desa, yakni, Sukarela Jaya, Sinaulu Jaya, Roko-roko, Dompo-dompo, Sinar Masolo, di Kecamatan Wawonii Tenggara.
Baca juga: PTUN Batalkan Izin Pinjam Pakai PT GKP di Wawonii, Desak Kementerian Lingkungan Patuh
Warga Wawonii bahagia
“Senang dan bahagia karena pulau pesisir dan pulau pulau kecil masih bisa diselamatkan dari cengkraman industri ekstraktif terutama pertambangan,” kata Mando Maskuri, warga Desa Roko-roko, Pulau Wawonii kepada Mongabay.
Dia mengapresiasi putusan MK yang dinilai berpihak pada hak-hak masyarakat nelayan dan masyarakat adat di pulau-pulau kecil.
Maskuri berharap, pemerintah segera mengambil tindakan terkait dengan putusan MK ini.
“Kami juga mengingatkan kepada GKP segera meninggalkan atau angkat kaki dari pulau.”
Sehari sebelum pembacaan putusan, masyarakat Pulau Wawonii di Desa Roko-roko berdampingan dengan kegiatan GKP, menyampaikan pesan terbuka melalui video singkat berdurasi hampir dua menit.
Mereka meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan judicial review GKP. Mereka sebut, kehadiran GKP, merusak mata air yang dulu bersih jadi rusak dan keruh.
“Ruang hidup kami, anak cucu kami ke depan akan terganggu.”
*********
Menanti Eksekusi Putusan Mahkamah Agung soal RTRW Pulau Wawonii Tak Boleh Ada Tambang