- Pulau kecil memiliki pesona yang bisa mengundang kekaguman dari setiap orang yang mendatanginya. Segala potensi yang ada di sana, juga mengundang orang untuk memanfaatkannya dengan maksimal
- Salah satu pulau kecil itu, adalah pulau di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Pulau tersebut sudah berstatus sebagai Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT) sejak 2017, tetapi terdapat aktivitas penambangan pasir laut berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan aturan turunannya
- Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) RI No 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar, pemanfaatan PPKT dibatasi hanya untuk pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan untuk pelestarian lingkungan
- Akan tetapi, walau sudah jelas peruntukannya, pemanfaatan pulau kecil di berbagai wilayah Indonesia masih ada yang tidak sesuai dengan peraturan. Salah satunya, itu terjadi di pulau Rupat. Sehingga banyak pihak mendesak pemerintah untuk mencabut PP No.26/2023 dan aturan turunannya
Praktik bluewashing disimpulkan semakin kuat berjalan pada sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Praktik tersebut dinilai hanya akan memicu munculnya banyak persoalan, baik pada sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) di laut dan pesisir.
Tanda-tanda praktik bluewashing sudah berjalan lancar, adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada 15 Mei 2023. Regulasi tersebut kini sudah resmi diberlakukan di seluruh Indonesia.
Pencucian biru atau bluewashing sendiri adalah praktik pemasaran menipu pada sektor kelautan, perikanan, dan maritim. Kata blue pada praktik tersebut menjelaskan bahwa itu adalah kegiatan yang berjalan di wilayah laut dan pesisir.
Bluewashing disebut sebagai praktik kotor, karena dilakukan dengan cara menipu, seolah-olah semua kegiatan yang dijalankan adalah kegiatan yang baik, positif, dan bertangung jawab terhadap sosial, ekonomi, dan ekologi.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin menjelaskan, penyebutan kata bluewashing pada regulasi pengelolaan hasil sedimentasi, merujuk pada aktivitas tambang pasir laut.
Itu berarti, walau Pemerintah Indonesia mengeklaim kalau PP 26/2023 dan regulasi turunannya adalah bagus, namun pada kenyataannya itu klaim yang salah. Mengingat, walau regulasi diklaim akan menjaga kesehatan laut, serta melindungi wilayah pesisir dan laut, namun kenyataannya itu hanya akan menghancurkan ekosistem yang ada di pesisir dan laut saja.
“Juga, merugikan kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia,” ungkap dia.
baca : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?
Ada pun, regulasi turunan yang dimaksud, adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Kesimpulan bahwa PP 26/2023 dan Permen KP 33/2023 adalah bentuk nyata dari praktik bluewashing, didasarkan pada penjelasan lebih detail dan teknis yang ada pada Pasal 2 Permen KP 33/2023.
Pasal tersebut pengelolaan kalau hasil sedimentasi di laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut; dan mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
Penjelasan pasal tersebut sangat jelas dan tegas bahwa pengelolaan hasil sedimentasi di laut ditujukan untuk kepentingan keberlanjutan lingkungan, utamanya untuk rehabilitasi pada ekosistem pesisir dan laut.
Menurut Parid Ridwanuddin, jika hanya membaca pasal tersebut saja, maka siapa pun akan dengan mudah mempercayai bahwa kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi di laut adalah untuk kebaikan bersama.
Tetapi, jika membaca pasal-pasal selanjutnya, terutama pasal 19 sampai dengan selanjutnya, akan terlihat tujuan asli dari regulasi ini, yaitu memberikan karpet merah untuk pengusaha skala besar. Oleh karena itu, satu-satunya cara agar masalah tersebut selesai, adalah Pemerintah mencabut PP 26/2023 dan Permen KP 33/2023.
baca juga : Pemerintah Indonesia Wajib Revisi PP tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut
Dia menilai, penerbitan Permen KP 33/2023 menjadi bukti bahwa Pemerintah Indonesia tidak peduli pada aspirasi dari masyarakat pesisir di seluruh Indonesia. Khususnya, aspirasi yang berasal dari nelayan tradisional atau nelayan skala kecil, perempuan nelayan, dan pelaku perikanan rakyat yang mengalami kerugian akibat penambangan pasir laut.
“Peraturan turunan tersebut juga menegaskan bahwa Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pengusaha besar di sektor tambang pasir laut,” tegasnya.
Akan tetapi, walau desakan untuk mencabut PP 26/2023 dan peraturan turunannya belum juga dipenuhi Pemerintah Indonesia. Namun setidaknya, Pemerintah Provinsi Riau sudah memenuhi tuntutan warga untuk mencabut izin usaha pertambangan (IUT) PT Logomas Utama (PT LMU).
Perusahaan tersebut sebelumnya biasa melaksanakan operasi penambangan pasir laut di wilayah perairan pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Namun, terhitung mulai 25 Oktober 2023, PT LMU dilarang untuk melaksanakan operasi lagi di sana.
Keputusan ini merupakan hasil perjuangan panjang masyarakat pulau Rupat, khususnya nelayan tradisional Desa Suka Damai yang sejak 2021 sudah menolak kehadiran tambang pasir laut yang mengancam ekosistem laut dan wilayah tangkap nelayan Pulau Rupat.
Berkat keputusan tersebut, Parid Ridwanuddin menyebut kalau pesisir dan laut utara di perairan pulau Rupat bisa lepas dari ancaman tambang pasir laut PT LMU. Aktivitas tambang pasir laut berdampak pada kerusakan biota laut, terumbu karang, dan habitat dugong.
“Tak hanya itu, penambangan pasir laut menghancurkan wilayah tangkap nelayan tradisional,” terang dia.
Selain itu, aktivitas tambang pasir laut juga terbukti sudah memperparah abrasi dan bahkan, jika terus dibiarkan bisa menenggelamkan pulau Babi, Beting Aceh, dan beting lainnya, serta pulau Rupat itu sendiri sebagai ruang hidup masyarakat.
baca juga : Permen Sedimentasi Laut Rampung, Walhi: Bukti Bluewashing Pemerintah
Dia mengungkapkan, kalau merujuk pada peraturan perundang-undangan, pertambangan di wilayah perairan bertentangan dengan prinsip keadilan dan kelestarian. Itu sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.
Kemudian, UU No.45/2009 tentang Perikanan, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.32/2014 tentang Kelautan, dan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam.
Bagi dia, pencabutan IUP tambang pasir laut PT LMU tidak hanya menjadi bentuk kemenangan nelayan yang ada di pulau Rupat atas keresahan yang selama ini dirasakan. Namun, keputusan tersebut juga sekaligus menyelamatkan 5.030 hektare luas perairan laut utara pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut.
“Kemenangan ini penting disampaikan kepada jutaan nelayan di Indonesia supaya mereka melakukan upaya serupa untuk melindungi wilayah laut dari ancaman tambang pasir dan industri ekstraktif lainnya,” pungkas dia.
Beban Berkurang
Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau Umi Ma’rufah mengatakan, pencabutan IUP PT LMU sudah mengurangi beban nelayan Pulau Rupat dan sekitarnya. Beban itu, adalah turunnya hasil tangkapan diakibatkan krisis iklim yang semakin memburuk, dan kemudian diperparah dengan aktivitas tambang pasir laut.
Awalnya, dia menyebut kalau masyarakat merasakan kekhawatiran kalau seandainya IUP PT LMU tidak dicabut segera. Salah satu alasannya, karena Syamsuar mengajukan surat pengunduran diri sebagai Gubernur Riau.
“Namun dengan diterbitkannya surat keputusan ini, Pemerintah Provinsi Riau telah memenuhi janji kepada masyarakat pulau Rupat, khususnya nelayan Desa Suka Damai,” jelas dia.
baca juga : Berakhir Sudah, Kegiatan Tambang Pasir di Perairan Pulau Rupat
Diketahui, pulau Rupat mendapat status sebagai Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT) setelah Keputusan Presiden RI No.6/2017 tentang Penetapan Pulau-pulau Kecil Terluar resmi terbit. Merujuk pada Peraturan Pemerintah RI No.62/2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar, pemanfaatan PPKT diberikan batasan untuk pemanfaatannya.
Selain hanya untuk pertahanan dan keamanan, PPKT juga bisa dimanfaatkan hanya untuk kesejahteraan masyarakat, dan untuk pelestarian lingkungan. Pembatasan tersebut bertujuan agar PPKT bisa tetap terjaga dan lestari.
Agar pemanfaatan ruang laut dan pesisir bisa tepat dan tidak ada pelanggaran, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperketat pengawasan terhadap ancaman aktivitas yang ilegal dalam bentuk apa pun.
Pengawasan tersebut menjadi bagian dari implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Ruang Laut. KKP berharap, pemanfaatan ruang laut tidak hanya sekedar untuk manfaat ekonomi saja, namun juga manfaat untuk masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Merujuk pada aturan tersebut, seluruh pemanfaatan ruang laut yang sifatnya menetap atau lebih dari 30 hari, maka wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dalam bentuk Konfirmasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
baca juga : Nelayan Minta Presiden Cabut Izin Tambang Pasir di Laut Rupat
Tambang Pasir Lombok Timur
Tentang terbitnya Permen KP 33/2023, masyarakat pesisir menilai itu hanya akan semakin memperburuk kehidupan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil. Hal itu dikatakan Amin Abdullah, salah satu nelayan di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Menurut dia, bentuk nyata kehancuran pesisir di NTB sudah terlihat sejak ada praktik penambangan pasir laut di wilayah Lombok Timur. Praktik tersebut dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu untuk melayani kepentingan kegiatan reklamasi yang berjalan di Teluk Benoa, Bali.
Aktivitas tambang pasir laut yang berdampak negatif, ditambah krisis iklim yang terus memburuk, membuat perairan Lombok Timur akhirnya menerima dampak buruk. Itu semua dirasakan oleh nelayan yang semakin hari, semakin mengalami kesulitan.
Salah satu dampak pertambangan pasir laut dan krisis iklim di perairan sekitar Lombok Timur, adalah banyak nelayan tradisional harus pergi melaut dengan jangkauan semakin jauh untuk menangkap ikan hingga ke sekitar perairan Sumba.
“Situasi di lapangan semakin buruk. Nelayan harus menghadapi krisis iklim pada satu sisi. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan dampak pertambangan pasir laut yang dulu pernah dialokasikan untuk reklamasi Teluk Benoa,” tegasnya.
baca juga : Jerat Korupsi Hentikan Tambang Pasir Besi di Lombok
Amin Abdullah mencatat, penerbitan PP 26/2023 dan Permen KP 33/2023 menjadi langkah yang tidak tepat. Mengingat, dua kebijakan tersebut kontraproduktif dengan upaya pemulihan, dan perlindungan kawasan pesisir dan laut, serta pulau-pulau kecil.
“Selama ini (upaya tersebut) telah dilakukan oleh masyarakat pesisir di tingkat tapak,” ungkap dia.
Bagi dia dan masyarakat pesisir, jika Pemerintah ingin melindungi pesisir dan laut, kebijakan yang harus didorong bukanlah penambangan pasir laut. Melainkan, kebijakan yang memulihkan tiga ekosistem penting, yaitu ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Ketiganya sama-sama, menempatkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sebagai pilar utama.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan kalau kegiatan tambang pasir di sebuah pulau kecil memang tidak seharusnya ada. Alasan apa pun tidak membenarkan kegiatan tersebut, dan bertentangan dengan konstitusi.
“Ini sebenarnya bukan pada pertambangan itu legal atau ilegal, tapi tentang konstitusi,” ucap dia.
Menurut dia, jika persoalan tambang pasir masih terjebak pada status legal dan ilegal, maka itu akan berakhir pada program prioritas yang tengah dijalankan oleh KKP sekarang, yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kegiatan tersebut didorong untuk bergerak sangat cepat agar nilai PNBP membengkak dengan cepat.
Pada aturan yang berkaitan dengan PNBP, dia menyebutkan bahwa ada narasi yang tidak beres namun sengaja dibangun oleh para pemangku kebijakan. Narasi tersebut menjelaskan seolah-olah kegiatan penambangan pasir adalah legal, selama membayar pajak dengan benar.
Padahal, sebesar apa pun nilai PNBP yang dihasilkan dari kegiatan penambangan pasir di pesisir, itu tidak sepadan dengan akibat yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut, yaitu kerusakan lingkungan. Jika itu terjadi, maka proses pemiskinan nelayan tradisional juga akan mulai berjalan di saat yang sama. (***)