Mongabay.co.id

Kapal Perikanan Ilegal Diamankan di Laut Arafura, Diduga Terlibat Perdagangan Orang

 

 

Kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia diduga terlibat tindak pidana di perairan Indonesia diamankan. Kapal ini terbukti bekerja sama dengan dua kapal ikan asing (KIA) berbendera Rusia.

Kapal Indonesia ini adalah KM Mitra Usaha Semesta (MUS) yang  alih muatan (transshipment) dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05.

KM MUS berhasil diamankan  Kapal Pengawas Orca 06 di Laut Arafura,  Maluku yang masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia (WPPNRI) 718. Dua KIA belum berhasil diamankan,  masih dalam perburuan KKP.

Ketiga kapal tersebut melakukan tindak pindana di wilayah perairan Indonesia, karena melakukan penangkapan ikan tanpa izin di Indonesia, dan memindahkan 55 awak kapal perikanan (AKP) berkewarganegaraan Indonesia yang diduga kuat menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Adapun, kegiatan transshipment yang dilakukan ketiga kapal tersebut adalah memindahkan hasil tangkapan ikan illegal, 55 AKP, serta bahan bakar minyak (BBM). Semua itu terungkap, saat KM MUS ditangkap hampir dua pekan lalu.

Sayangnya, sejak KM MUS ditangkap hingga sekarang, dua KIA yang sedang diburu tersebut masih mematikan sistem identifikasi otomatis (AIS). Itu membuat KKKP bersama kapal pengawas masih kesulitan untuk menemukan posisi mereka saat ini.

Baca : Pemerintah Indonesia Diminta Bebaskan Nelayan Natuna yang Ditangkap Malaysia

 

KM Mitra Usaha Semesta (MUS) yang ditangkap oleh KP Orca 06 di Laut Arafura, Maluku karena melakukan transshipment ilegal dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP

 

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bersama Greenpeace Indonesia dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mempublikasikan apresiasi tinggi atas upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia tersebut. Namun, ketiga organisasi tersebut mendesak agar dua KIA bisa segera ditangkap.

IOJI meminta pemerintah  menemukan pemilik manfaat (beneficial owner) dan lokasi terkini kedua KIA. Berdasarkan deteksi AIS yang dilakukan IOJI, lokasi terakhir kapal Run Zeng 05 di Teluk Ambon pada 31 Januari 2024.

Kapal Run Zeng 03 atau Run Zeng 05, diketahui sama-sama sempat melakukan lego jangkar di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Run Zeng 05 berangkat dari Pelabuhan Taizhou, China pada 11 April 2023, dan terdeteksi memasuki Pelabuhan Bayah, Kabupaten Lebak,  Banten,  19 Oktober 2023.

Kemudian, dari data historis milik Lloyd’s Intelligence, diketahui kalau kedua KIA sempat diperiksa oleh otoritas pelabuhan di Tanjung Priok, Jakarta,  3 Mei 2023. Pemeriksaan tersebut menghasilkan temuan sejumlah defisiensi terkait standar kompetensi, keselamatan AKP, dan pengelolaan limbah.

Sementara, dari data International Maritime Organization-Global Integrated Shipping Information System (IMO GISIS), kedua kapal tersebut diketahui dimiliki oleh DOPK Progress dan dioperasikan oleh Donggang Runzeng Ocean Fishing, Co. Ltd.

Kedua entitas tersebut beralamat yang sama di 65-1, Donggang Beilu, Donggang, Liaoning, China. Namun, saat IOJI melakukan percobaan untuk mencari alamat ini melalui portal Google Maps, tidak ada hasil apapun.

Baca juga : KKP Izinkan Transshipment untuk Kapal Lokal

 

Plt Dirjen PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono dengan AKP KM MUS yang ditangkap oleh KP Orca 06 di Laut Arafura, Maluku karena melakukan transshipment ilegal dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP

 

Chief Executive Officer IOJI Mas Achmad Santosa menilai kalau KKP ingin menempuh jalur diplomasi, maka mereka perlu melakukan konfirmasi kepada Rusia tentang keabsahan registrasi kapal Run Zeng 03 dan 05. Langkah tersebut penting ditempuh, karena bisa menentukan langkah lanjutan.

Pertama, jika Rusia mengonfirmasi dua KIA tersebut tidak sah, maka keduanya berstatus stateless dan tidak berada di bawah “exclusive flag state jurisdiction”. Status tersebut memberi keleluasaan semua negara di dunia untuk bisa membantu pencarian dan penangkapan kedua KIA.

Kedua, jika ternyata kedua KIA mengibarkan bendera secara sah, maka KKP perlu melakukan koordinasi dengan Pemerintah Rusia sebagai konsekuensi dari “flag state responsibility” untuk menentukan langkah penegakan hukum yang dapat diambil oleh KKP dan Pemerintah Rusia.

Menurut dia, indikasi kejahatan perikanan lintas batas yang terorganisir (transnational organized fisheries crime) menjadi contoh praktik kejahatan perikanan lintas batas negara yang terorganisir di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.

Berdasarkan catatan dengan data dan fakta yang sudah diuraikan di atas, IOJI berani menyimpulkan kasus yang melibatkan KM MUS, Run Zeng 03, dan Run Zeng 05 adalah bentuk operasi penangkapan ikan yang diduga kuat melanggar hukum dan dilakukan secara lintas batas negara dan terorganisir.

IOJI mendorong pemerintah Indonesia untuk bisa meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap operasi KIA di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia, serta semaksimal mungkin mencegah terulangnya insiden Benjina.

Kemudian, IOJI mendorong pemerintah untuk bisa meningkatkan kemampuan instansi pengawas dan penegak hukum agar bisa menangani kejahatan perikanan lintas negara yang terorganisir.

Baca juga : Banyak Kapal Asing di Natuna, Sayangnya Patroli Laut Terbatas

 

Plt Dirjen PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono (kiri) dengan AKP KM MUS yang ditangkap oleh KP Orca 06 di Laut Arafura, Maluku karena melakukan transshipment ilegal dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP

 

IOJI juga mendorong pemerintah mengamankan seluruh dokumen fisik dan perangkat elektronik di atas kapal KM MUS, namun tidak terbatas pada komputer yang terdapat pada anjungan kapal, laptop, ponsel seluruh AKP, dan meneliti seluruh bukti elektronik yang tersedia.

“Upaya itu dapat membantu penelusuran informasi dan komunikasi elektronik mengenai keterkaitan KM MUS dengan kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05,” terang Santosa.

Selanjutnya, pemerintah harus bisa mengambil keterangan seluruh AKP KM MUS, terutama yang berkaitan dengan aktivitas KM MUS bersama Run Zeng 03 dan Run Zeng 05.  Tak lupa, mengambil keterangan AKP migran Indonesia yang terindikasi menjadi korban TPPO.

Keterangan harus meliputi modus operandi, proses perekrutan AKP, pihak-pihak yang terlibat dalam proses perekrutan, mengonfirmasi status sebagai TPPO, memeriksa aspek ketenagakerjaan dan keselamatan kerja KM MUS sesuai dengan hukum nasional dan internasional yang berlaku.

Santosa mengatakan identifikasi awal perlu dilakukan untuk menemukan unsur TPPO sesuai dengan Undang-Undang No.21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan kemudian berkoordinasi dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.

Tak cukup itu, pemerintah harus memanfaatkan instrumen dan jaringan internasional, seperti INTERPOL dan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) dalam pencarian Run Zeng 03 dan Run Zeng 05, serta mendapatkan informasi mengenai beneficial owner kedua kapal tersebut.

Selain itu, menggunakan pendekatan multi-rezim hukum (multidoors approach) juga harus menjadi pilihan. Itu agar bisa memaksimalkan upaya penegakan hukum, juga penjatuhan sanksi sehingga menimbulkan efek jera terhadap pelaku transnational organized fisheries crime.

Baca juga : Maraknya Kapal Asing Pencuri Ikan Gunakan ABK dari Indonesia

 

Plt Dirjen PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono saat memeriksa KM MUS yang ditangkap karena melakukan transshipment ilegal dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP

 

Perekrutan Ilegal?

Terpisah, Manajer Human Right DFW Indonesia Miftahul Choir menyebut kalau penangkapan KM MUS dilakukan oleh KM Orca 06 karena ada laporan masyarakat tentang indikasi praktk transshipment dari dua KIA berbendera Rusia.

Laporan tersebut kemudian semakin kuat, karena National Fishers Center (NFC) pada saat yang sama juga menerima pengaduan lima AKP yang sebelumnya direkrut dan bekerja pada KM MUS. Berdasarkan keterangan mereka, salah satunya AKP berinisial SI, perekrutan dilakukan agen perseorangan dari Juwana, Pati, Jawa Tengah pada Maret 2024.

Modus perekrutan dilakukan melalui media sosial (facebook), dengan janji setiap pekerja akan mendapatkan gaji Rp2 juta, premi Rp500 ribu, dan pinjaman Rp5-7 juta jika bekerja pada kapal ikan. Setelah direkrut, tidak ada Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ditahan oleh agensi.

Awal April 2024, IS bersama 55 orang ABK berangkat dengan kapal KM MUS menuju perairan Arafura. Setibanya di sana, mereka bekerja memindahkan ikan dari kapal KM RZ 03 ke kapal KM MUS yang merupakan kapal pengangkut ikan.

Saat sudah bekerja, para KP menanyakan hak mereka berupa premi dan THR yang sudah dijanjikan oleh agen perekrut, namun ditolak oleh nakhoda. Ketidakpastian tersebut membuat enam AKP mengambil tindakan nekad dengan terjun ke laut pada 11 April 2024, dengan lima orang hilang berasal yang kemudian ditemukan meninggal dan 5 selamat.

Menurut dia, upaya yang dilakukan pemerintah terkait kasus tersebut harus diapresiasi. Termasuk, upaya repatriasi atau pemulangan sebanyak 16 orang AKP ke daerah asal yang menjadi tindakan kemanusiaan, dan pemulihan hak para AKP berupa upah dan jaminan sosial mesti dijamin oleh pemerintah.

DFW Indonesia mendesak KKP dan TNI AL laut untuk melakukan sinergi dan pengejaran kepada KIA RZ 03 dan RZ 05 yang ditengarai masih terdapat AKP Indonesia. Kemudian, aparat penegak hukum juga didesak untuk melakukan upaya penegakan hukum yang serius dengan mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana perikanan yang memakan korban warga negara Indonesia.

Selain itu, Miftahul Choir juga juga meminta KKP untuk melakukan inspeksi kepada kapal pengangkut ikan yang mungkin terindikasi memuat BBM bersubsidi dan memperdagangkannya. Termasuk, melakukan pemeriksaan secara regular kepada kondisi kerja dan kelengkapan kerja AKP.

Baca juga : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok

 

Barang bukti berupa ikan tangkapan beku dalam KM MUS. Foto : PSDKP KKP. Foto : PSDKP KKP

 

Pengawasan Transshipment

Sedangkan Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Sihar Silalahi , menjelaskan,  kalau aktivitas transshipment sangat erat dengan  penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF). Hal itu terjadi, karena transshipment biasa berlangsung pada wilayah perairan yang terisolasi dari pemantauan.

Berdasarkan laporan Environmental Justice Foundation (EJF) yang dirilis pada 2023, kapal yang melakukan transshipment sebagian besar melakukan IUUF. Sementara, saat ini pemerintah justru masih mengizinkan praktik transshipment dilakukan kapal perikanan.

Katanya, kegiatan transshipment yang masih diizinkan pemerintah sudah seharusnya dibarengi dengan peningkatan kegiatan pengawasan yang dilakukan di wilayah perairan laut secara aktif. Juga, harus ada pengetatan yang kuat agar tidak ada celah bagi para pelaku IUUF.

Maka dari itu, kalau pemerintah tidak siap melarang praktik transshipment seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, maka praktik tersebut sekarang harus bisa melewati proses perizinan dan pemantauan yang baik melalui observer, pemantauan vessel monitoring system (VMS) yang transparan ke publik, dan verifikasi izin yang menyeluruh.

“Tanpa ini, Pemerintah masih mungkin kecolongan lagi,” jelasnya.

Sihar melanjutkan, kasus yang melibatkan tiga kapal perikanan tersebut menyadarkan semua bahwa IUUF tidak bisa dianggap remeh, dan bahkan bisa merusak ekosistem laut Indonesia karena dilakukan tanpa ada batasan.

Pemerintah harus bisa melacak siapa pemilik ketiga kapal tersebut, siapa penerima manfaat dari praktik ilegal itu, dan ke mana jaringan regional dan global bisnis dari ketiganya berakhir. Dia sangat yakin kalau praktik illegal tersebut berjalan sangat sistematis dan terkoneksi antar negara. Itu berarti, potensi kerusakan ekosistem laut dan kerugian akibat IUUF tak hanya terjadi di Indonesia.

“KKP segera memberikan notifikasi kasus tersebut ke RFMO, termasuk ke sekretariat The Regional Plan of Action (RPOA-IUU),” ungkapnya.

Selain para pihak terkait, dia meyakini kalau kasus tersebut muncul karena peran pelabuhan perikanan di Indonesia dalam mencegah kapal-kapal yang terindikasi melakukan IUUF keluar dan masuk Pelabuhan, masih belum optimal.

Itu artinya, pemerintah perlu mengembangkan mekanisme inspeksi kapal berbasis resiko, di mana kapal-kapal ikan dikategorikan menjadi kapal berisiko tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan catatan sejarah aktivitas IUUF yang dilakukan oleh kapal atau perusahaan yang terafiliasi dengan kapal tersebut.

Kemudian, dalam inspeksi kapal di pelabuhan juga perlu menyesuaikan kategori yang telah disusun. Tujuannya, agar bisa mencegah praktik IUUF sejak dari hulu, atau sejak kapal masih berada di pelabuhan dan belum melakukan kegiatan di atas laut.

Belajar dari kasus tersebut, para pengusaha dan konsumen seafood di seluruh dunia, khususnya di negara-negara maju yang menjadi titik rantai pasok seafood, harus memulai pengawasan lebih hati-hati terhadap produk seafood yang berasal dari Indonesia.

“Selain diduga didapat dari praktik IUU fishing, namun juga hasil eksploitasi para awak kapalnya,” terang dia.

Baca juga : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?

 

Barang bukti berupa BBM dalam KM MUS yang dialihmuatkan ke dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP

 

Ratifikasi Konvensi ILO C-188

Tentang praktik TPPO pada AKP, Greenpeace Indonesia menyebut kalau sebagian besar korbannya memang berasal dari Indonesia. Mereka bekerja di kapal-kapal berbendera Taiwan atau Cina dan hasil tangkapannya dipasarkan di negara-negara maju seperti kawasan Eropa dan Amerika Serikat.

Praktik tersebut harus dihentikan melalui ratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Perjanjian tersebut disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.

Pemerintah Indonesia didesak harus bisa melakukan ratifikasi konvensi tersebut, karena secara khusus mengatur standar perlindungan bagi para pekerja di sektor kelautan, dan memuat sejumlah pembaharuan dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan, agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.

Pekan lalu, tepatnya pada Selasa (16/4/2024), Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono menyatakan bahwa operasi penangkapan KM MUS dilakukan dengan melibatkan KP Orca 04, 05, 06, Paus 01, dan pesawat airbone surveillance.

Saat ditangkap KP Orca 06 pada Minggu (14/4/2024), posisi KM MUS sedang ada di Laut Arafura pada 05° 30.422″ LS – 133° 59.005″ BT. Setelah ditangkap, diketahui kalau kapal sudah melakukan transshipment selama lima hari berurutan, dan saat ditangkap sedang membawa BBM jenis solar sebanyak 150 ton, dan 58 AKP yang akan didistribusikan ke kapal Run Zeng 03 dan 05.

“Namun baru 40 ton BBM solar yang dipindahkan dari total BBM Solar yang berada pada KM MUS sebanyak 110 Ton,” jelas dia.

Setelah penangkapan, KM MUS kemudian dibawa ke Kota Tual, Maluku dan diamankan oleh Pangkalan PSDKP Tual untuk menjalani proses pemeriksaan lebih lanjut. Semua fakta dan data yang sudah dikumpulkan tentang KM MUS, terbukti sebagai tindak pidana. (***)

 

 

Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok

 

 

Exit mobile version