Buntut Konflik Lahan, Ribuan Warga Karawang Terusir

Kini, sebagian warga ada yang tinggal di rumah keluarga, ada yang mengontrak rumah di lokasi lain. Polisi berjaga-jaga di lahan sengketa.  

Pukul 10.00 pagi, Senin (30/6/14), lima bus besar terparkir di Jalan Tirtayasa, tak jauh dari komplek Mabes polri. Sekitar 500 petani Karawang turun membawa spanduk dan poster kepada aparat kepolisian.

Aksi petani ke Jakarta ini buntut eksekusi lahan pada 24 Juni lalu. Pengerahan ribuan brimob dan aparat kepolisian melukai puluhan orang, satu tertembak peluru karet, dan empat ditangkap. Eksekusi juga merusak lima rumah dan lahan perkebunan mereka. Lahan seluas 350 hektar itu milik 420 keluarga. Kini, 1.200 warga terusir, mereka kehilangan tempat tinggal.

“Kembalikan tanah kami.” “Copot Kapolres dan Kapolda Jabar.” “Kembalikan tanah petani Karawang.” “Agung Podomoro perampas tanah petani.” Begitu antara lain spanduk protes yang mereka bawa.

Wajah mereka tampak lelah tetapi bersemangat mengikuti aksi. Puasa tak menghalangi. Matahari mulai terasa terik. Mereka bergerak menuju mabes polri. Engkus Kosasih, sekretaris jendra Sepetak (Serikat Petani Karawang) memimpin barisan.

“Saudara-saudara, hari ini kita akan meminta kepada Kapolri untuk segera menarik pasukan brimob dari tanah kita!!” kata Engkus.

“Setuju!!!!” timpal peserta aksi.

“Copot Kapolda Jabar!!!”

Yel-yel dan orasi  penolakan keberadaan aparat kepolisian di tanah mereka berkali-kali disuarakan. Sambil berjalan, sesekali peserta aksi mengeluarkan umpatan.

“Kami bukan teroris!! Usir Brimob dari tanah kami!” pekik, Siti Fadilah.

“Saya lahir dan dibesarkan di tanah itu. Sekarang tanah kami dirampas. Ini tidak adil,” katanya.

Aksi warga Karawang di Mabes Polri. Foto: Indra Nugraha
Aksi warga Karawang di Mabes Polri. Foto: Indra Nugraha

Hilal tamami, ketua umum Serikat Petani Karawang (Sepetak) mengatakan, ada tujuh lahan bersertifikat resmi, yang lain mempunyai girik dan salinan letter C.

Menurut dia, tak ada dasar bagi PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) eksekusi. “Ketua PN Karawang baru menjabat dua minggu, langsung mengeluarkan perintah.”

Padahal ketua PN Karawang sebelumnya menyatakan, putusan PK Nomor 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan SAMP tidak bisa ditindaklanjuti eksekusi karena masih ada tumpang tindih dengan putusan lain. Eksekusi ini bertentangan dengan keputusan ketua PN Karwang sekarang, Marsudin Nainggolan.

Anmaning (pertemuan) dilakukan 10 hari sebelum eksekusi. Yang dipanggil hanya 48 orang yang mengajukan gugatan atas tanah seluas 70 hektar. Itu pun tidak ada kesekapakatan. Ketika eksekusi, justru 350 hektar terkena gusur. “Warga sebagian mengungsi ke rumah saudara. Sebagian mengontrak di lokasi lain.”

Agus Suprayitno dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, masih menginventrisir kerugian warga. Dia belum bisa menghitung lebih detail karena akses ke lokasi terkendala. Penjagaan aparat sangat ketat.

“Baru dua hari terakhir bisa masuk. Setelah konflik, tiga desa diisolasi. Padahal disana terbentuk desa. Ada perkampungan, kantor aparatur desa. Ada sembilan sekolah dasar juga  puskesmas.”

Intimidasi aparat masih dialami warga. SAMP mulai membangun sedang sengketa dengan warga belum selesai. Tanah belun clear and clean.

“Rencana kita mendirikan posko di sana. Ini untuk warga yang rumah hancur atau ketakutan kembali ke rumah.”

Aksi warga Karawang di Mabes Polri. Mereka terusir dari tempat tinggal mereka karena berkonflik dengan perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Aksi warga Karawang di Mabes Polri. Mereka terusir dari tempat tinggal mereka karena berkonflik dengan perusahaan. Foto: Indra Nugraha

Tiga perwakilan warga, pengacara serta perwakilan LSM masuk ke Bareskrim membuat laporan perusakan rumah.  “Ini jelas tindak pidana. Ada rumah warga sudah bersertifikat kena eksekusi. Ini melanggar pasal pengrusakan dan penyerobotan lahan. Ini eksekusi sepihak,” kata Ridwan Ristomoyo, pengacara Perhimpunan bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Jakarta, yang mendampingi warga.

Direktur SAMP, Irawan Tjahyadi dan Tomy Kartawinata sebagai terlapor. Direktur Agung Podomoro Land, Trihatma Kusuma juga terlapor. Laporan diterima Kompol Sugeng Hariyadi. Dia mengatakan segera menindaklanjuti.

“Saya membuat laporan untuk meminta keadilan. Saya belum pernah jual beli lahan. Tahu-tahu lahan saya sudah dieksekusi SAMP. Padahal tanah saya sudah bersertifikat,” kata Karsa, petani Desa Margamulya.

Dia mempunyai lahan dua hektar, sudah disertifikatkan 8.000 meter persegi. Yang lain, girik dan salinan letter C. Dia juga rutin membayar pajak setiap tahun.

Dia berharap, jika SAMP mau membeli lahan, bisa dibayar dengan harga pantas. Selama ini, tidak ada kesepakatan adil antara petani dan perusahaan. Dia sama sekali tidak sepakat dengan ganti rugi Rp3.000 per meter persegi.

“Itu seperti melecehkan para petani. Sekarang lahan saya banyak Brimob dan preman bayaran. Di tenda brimob berjaga-jaga. Sudah tidak bisa berkebun. Semua ketakutan. Saya sedih. Puasa seharusnya pikiran tenang dan banyak ibadah. Ini tanah kami malah dirampas.”

Ngadu ke Kompolnas

Pukul 13.45 massa bergerak menuju gedung Kompolnas. untuk melaporkan tindakan aparat kepolisian yang represif.

“Yang mau usir Brimob bilang usir!”

“Usir!!!”

“Yang mau usir Brimob… yang mau usir Brimob… yang mau usir Brimob bilang Usir…”

“Usir!!!”

Suasana di depan gedung Kompolnas memanas. Massa meminta masuk. Negosiasi lancar. Sekitar 15 warga boleh masuk ke kantor Kompolnas. Dua pejabat Kompolnas yakni sekretaris Syafriadi Cut Ali dan anggota Logan Siagian mempersilakan masuk. Dialog di ruang rapat Kompolnas.

Petani yang berorasi di depan Mabes Polri meminta Kapolri  memerintahkan Polda Jabar menarik pasukan. Foto: Indra Nugraha
Petani yang berorasi di depan Mabes Polri meminta Kapolri memerintahkan Polda Jabar menarik pasukan. Foto: Indra Nugraha

Udam Muhtadi, warga Desa Wanasari bercerita. Saat ini, ada 22 tenda pos penjagaan ribuan Brimob, Dalmas, dan security. Mobil Brimob detasemen B masih bersiaga. Eskavator beroperasi menghancurkan rumah dan perkebunan warga. Sekitar 1.500 lebih pohon albasyiah petani dirusak. Padahal pohon itu, tinggal dua tahun lagi siap dipanen. Banyak pohon pisang, sawah dan lain-lain.

“Kami masih trauma. Ya…Alloh. Kalau lihat Brimob kami semua ketakutan. Terlebih ada preman bayaran juga berjaga di sana.”

Udam mengatakan, tindakan aparat sangat merugikan masyarakat. Banyak petani dipukuli. Semprotan water canon seolah hendak berperang.  “Seharusnya, aparat mengayomi masyarakat. Bukan malah membela perusahaan dan menyiksa masyarakat.”

Dia menyayangkan pertemuan PN Karawang hanya satu kali. Tidak ada kesepakatan. Uang pengganti yang ditawarkan hanya Rp3.000 per meter persegi. Jauh dari harapan. Aanmaning dilakukan minimal tiga kali.

“Kalau perusahaan raksasa banyak uang, kenapa tidak mau membayar tanah kami dengan harga pantas? Kami mau penegakan hukum seadil-adilnya.”

Dia meminta Kompolnas meninjau langsung di Karawang. Lahan milik masyarakat dijaga ketat aparat. Pohon banyak dirusak.

“Tolong tarik pasukan Brimob dari tanah kami. Kami sudah dianiaya perusahaan. Polisi juga mau menganiaya kami?”

Sebelum eksekusi berlangsung, petani beberapa kali menang di pengadilan. Ketika SAMP mengajukan PK, putusan justru merugikan petani. Padahal petani punya bukti kepemilikan berupa girik dan letter C.

“Seharusnya sebelum eksekusi dilakukan, ada plang dipatok BPN. Ini tidak ada. Main hantam sendiri.”

Syafriadi, sekretaris Kompolnas mengatakan, akan konsen mendalami kasus ini. “Kami akan minta klarifikasi kepada Kapolda Jabar. Meminta Kapolda Jabar investigasi mendalam apakah ada bawahan melanggar saat pengamanan eksekusi.”

Menurut dia, Kapolda Jabar harus memberikan sanksi kepada bawahan apabila ada pelanggaran.

Jika ditemukan permasalahan lanjutan dalam penempatan Brimob di lokasi, dia akan meminta Kapolda Jabar menarik pasukan. Dia juga mendorong keterlibatan institusi lain seperti pengadilan membantu memediasi konflik ini. “Sampaikan juga permasalahan ini kepada Komisi Yudisial.”

Logan Siagian mengumpulkan data di lapangan dan mempelajari kasus ini.

“Kami minta warga mengumpulkan data-data. Foto-foto saat kejadian. Silakan berikan kepada kami. Juga data-data berapa rumah yang dirusak, dan berapa banyak korban jatuh. Ini akan kami pelajari lebih mendalam.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,