Ternyata Bambu Mampu Menyelamatkan Lereng Batur. Begini Ceritanya..

Hidup orang Bali tak bisa dilepaskan dari bambu. Tidak hanya untuk keperluan upacara adat dan agama, bambu juga menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Namun, sebagian petani di Bali justru melupakan bambu, tanaman yang sudah ada secara turun temurun.

Petani di lereng Gunung Batur mencoba menghidupkannya kembali. Sejak 2011, petani di Banjar Bubungklambu, Desa Batur Tengah, Kecamatan Kintamani, Bangli menanam kembali tanaman bambu di lahan-lahan mereka. Sebanyak 25 anggota Kelompok Tani (KT) Hidup Rukun menanam bambu di antara komoditas lain seperti kopi, jeruk, maupun pohon-pohon jenis kayu lain.

Desa Batur Tengah berada di sisi selatan lereng Gunung Batur, gunung berapi di Bali yang pernah meletus 26 kali sejak 1804 hingga 2005. Jaraknya 65 km dari Denpasar ke arah timur laut. Secara umum, kondisi tanah di desa ini kering dan berbatu seperti umumnya lahan-lahan lain di lereng Gunung Batur.

Di lahan-lahan tersebut, dulunya petani setempat pernah menanam bambu secara turun temurun namun sekarang sudah hilang.

I Nyoman Conto, petani dan pembina KT Hidup Rukun menceritakan proses perubahan itu. Sebelumnya, bambu adalah tanaman yang sudah dibudidayakan pendahulu mereka secara turun temurun. Namun, karena dianggap kurang menguntungkan secara ekonomi, petani pun menelantarkannya.

Mereka hanya menanam lalu membiarkan tanpa perawatan. Petani memandang bambu dengan sebelah mata sehingga tidak mengurusnya dengan serius. Akibatnya, bambu makin hilang di desa tersebut.

Pandangan dan persepsi petani Batur Tengah mulai berubah dan bertambah ketika I Wayan Sukasana, pendamping dari International Tropical Timber Organisation (ITTO) di Bali, mengajak mereka untuk menanam kembali bambu. ITTO adalah organisasi antar-pemerintah yang mempromosikan pelestarian dan pengelolaan hutan tropis berkelanjutan, serta menggunakan dan memperdagangkan bahan baku dari hutan lestari.

Sukasana menyebutkan beberapa alasan kenapa dia mengajak petani Desa Batur Tengah untuk menghidupkan kembali bambu di desa mereka. Pertama, menurutnya, komoditas kayu diperkirakan akan segera habis padahal kebutuhan terhadap bambu masih tinggi. Di sisi lain, penggunaan kayu sebagai bahan baku , misalnya kerajinan bagi pematung di Bali, juga harus memenuhi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), hal yang kadang-kadang tidak bisa dipenuhi.

“Kalau tidak punya SVLK, produknya tidak bisa diekspor,” kata Sukasana. Jika petani mengembangkan bambu dengan serius, maka mereka bisa menggantikan peran kayu dalam rantai industri pengolahan kayu.

Wayan Sukasana, pendamping dari International Tropical Timber Organisation (ITTO) di Bali, yang berhasil mengubah dan mengajak petani Batur Tengah, Bangli, Bali untuk kembali menanam bambu. Foto : Anton Muhajir
Wayan Sukasana, pendamping dari International Tropical Timber Organisation (ITTO) di Bali, yang berhasil mengubah dan mengajak petani Batur Tengah, Bangli, Bali untuk kembali menanam bambu. Foto : Anton Muhajir

Kedua, dia melanjutkan, bambu memiliki manfaat ekologis untuk menahan tanah dengan akarnya. Dengan akar serabutnya, tanaman bambu lebih efektif mencegah terjadinya erosi termasuk di kawasan lereng Gunung Batur yang memiliki tingkat kemiringan tanah tajam.

Ketiga, secara tradisional, bambu telah menjadi teman hidup dan mati bagi orang Bali, dari sejak lahir hingga mereka dikuburkan. Sukasana memberikan contoh, sebagian orang Bali dulu menggunakan bambu untuk memotong tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika melaksanakan upacara, orang Hindu Bali juga menggunakan wadah dari bambu sebagai tempat sesaji.

“Setelah berumah tangga dan membangun rumah, orang Bali pun menggunakan bahan baku dari bambu untuk tiang, dinding, dan atap. Bahkan pada saat mati, orang Bali akan digotong dengan bambu,” tambahnya.

Dengan menanam kembali bambu di lahan-lahan mereka, petani di Desa Batur Tengah berharap untuk tetap mempertahankan bahan penting dalam tradisi dan agama mereka sekaligus memperoleh fungsi ekonomi.

Geopark

Tingginya kebutuhan baku bambu di Bali, menurut Sukasana, menjadi motivasi lain bagi petani untuk menanam bambu lagi. Bambu juga memiliki fungsi ekonomis karena bisa menjadi bahan baku pembuatan kerajinan tangan.

Selain itu, petani juga ingin mendapatkan manfaat ekonomi dengan menjadikan kebun-kebun bambu mereka sebagai bagian dari pariwisata Bali. “Upaya kami ini juga untuk mendukung pariwisata Bali khususnya Geopark Batur,” kata Conto.

Sejak September 2012, Kaldera Gunung Batur telah ditetapkan sebagai kawasan geopark oleh Badan PBB di bidang Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO). Penetapan ini menambah daftar taman bumi (geopark) setelah Pulau Samosir di Sumatera Utara dan Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Di kawasan Geopark Batur terdapat setidaknya 16 desa di Kecamatan Kintamani termasuk Batur Tengah. Desa-desa tersebut berada di ketinggian antara 1.000 hingga 2.172 mdpl.

Beberapa lokasi di kawasan ini menjadi daya tarik utama turis, seperti gunung dan danau Batur, maupun pura dan desa di sana. Di tempat ini juga terdapat Museum Geopark Batur yang menampilkan informasi tentang Gunung Batur.

I Nyoman Conto, petani dan pembina KT Hidup Rukun di Banjar Bubungklambu, Desa Batur Tengah, Kintamani, Bangli, Bali memperlihatkan tanaman bambu ang telah mereka tanam pada 2013. Foto : Anton Muhajir
I Nyoman Conto, petani dan pembina KT Hidup Rukun di Banjar Bubungklambu, Desa Batur Tengah, Kintamani, Bangli, Bali memperlihatkan tanaman bambu ang telah mereka tanam pada 2013. Foto : Anton Muhajir

Untuk menambah daya tarik kawasan tersebut, petani pun mengembangkan hutan bambu di lahan seluas 12 hektar. Mereka berharap turis yang ke Batur bisa menikmati juga hutan bambu yang mereka kelola. Karena itu, petani juga membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Tiing Bali. Kelompok ini menawarkan paket wisata hutan bambu termasuk penginapan dengan dengan pemandangan danau dan gunung Batur.

“Kami berharap agar tidak hanya bergelut dengan pertanian yang selama ini dilakukan orangtua kami,” Conto berharap. Dalam budidaya bambu pun petani anggota KT Hidup Rukun pun tak hanya menanam. Sejak awal mereka sudah lebih serius membudidayakan bambu dengan pemeliharaan, pemupukan, dan lain-lain.

“Ilmu-ilmu itu dulu tidak diajarkan para pendahulu kami. Mereka menanam bambu lalu membiarkannya begitu saja hingga waktunya memanen,” kata Conto.

Beberapa jenis bambu yang ditanam sebagai perindang kopi dan jeruk itu adalah petung, tali, jajang, tamblang, ampel, dan bambu hitam. Bambu-bambu itu selain untuk dijual sebagai bahan bangunan dan kerajinan juga untuk makanan.

Pemandangan gunung dan danau Batur, di Bangli, Bali. Kelompok Tani Hidup Rukun di Bangli, mengelola ekowisata berbasis bambu dengan kondisi panorama seputar gunung dan danau Batur. Foto : Anton Muhajir
Pemandangan gunung dan danau Batur, di Bangli, Bali. Kelompok Tani Hidup Rukun di Bangli, mengelola ekowisata berbasis bambu dengan kondisi panorama seputar gunung dan danau Batur. Foto : Anton Muhajir

Sejumlah Tantangan

Penanaman kembali bambu di Batur Tengah bisa menambah jumlah produksi bambu di Bali. Hingga saat ini, Bangli merupakan kabupaten yang memproduksi bambu paling banyak di Bali.

Sebagai sentra produksi bambu di Provinsi Bali, Bangli mempunyai potensi luas tegakan bambu 6.119,72 hektare dengan produk sekitar 2,3 juta batang per tahun. Potensi lahan yang ada mencapai 7.500 hektar dan produk hingga 3 juta batang per tahun.

Namun, potensi itu belum bisa dikembangkan dengan baik karena sejumlah tantangan seperti belum adanya perhatian cukup dari pemerintah, terbatasnya informasi tentang bambu, serta belum banyaknya produk pengembangan bambu.

Meskipun belum semuanya bisa dipanen, menurut Conto, mereka sudah mulai mendapat manfaat dari penanaman kembali bambu tersebut. Dari yang sebelumnya kering dengan banyak semak-semak, sekarang sudah lebih hijau. “Desa kami dulunya termasuk wilayah kering yang rawan mengalami kebakaran karena adanya cuma semak-semak. Sekarang sudah tidak lagi,” katanya.

Dengan waktu panen empat sampai lima tahun setelah ditanam, Ketua KT Hidup Rukun I Wayan Rumita percaya bahwa bambu akan bisa menambah pendapatan bagi mereka. “Ke depannya, kami yakin bambu bisa menjadi sumber pendapatan kami karena bambu bisa dipakai bermacam-macam jenis kerajinan juga,” kata Rumita.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,