Mongabay.co.id

Pembudidaya Ikan Skala Kecil Semakin Diperhatikan, Seperti Apa Itu?

ikan budidaya. Foto : kkpnews

Hasil panen perikanan budidaya. Foto : kkpnews

 

Pemerintah Indonesia memberi perhatian khusus pada sektor perikanan budidaya untuk berkembang lebih pesat pada 2018. Sektor tersebut mendapat kucuran dana sebesar Rp944,85 miliar dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2018. Dana tersebut akan digunakan untuk melaksanakan program prioritas yang menjadi andalan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto menjelaskan, dari kucuran anggaran yang diberikan Negara, sebagian di antaranya akan diberikan untuk program pengembangan pembudidaya skala kecil yang ada di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, Negara mendukung penuh masyarakat pembudidaya ikan yang ada sekarang.

“Untuk bisa berkembang, pembudidaya skala kecil harus distimulan agar mampu mengembangkan kapasitas usahanya. Bentuk dukungan tersebut, antara lain berupa kemudahan akses untuk mendapatkan fasilitas maupun bentuk dukungan langsung berupa input produksi,” ungkap dia di Jakarta, akhir pekan lalu di Jakarta.

baca : Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?

Menurut Slamet, selain bentuk dukungan seperti disebut di atas, pihaknya juga memastikan bahwa dukungan seperti sarana produksi budidaya dan pakan mandiri akan terus diberikan kepada para pembudidaya skala kecil. Dukungan tersebut telah melalui tahapan kajian yang berbasis pada penilaian kebutuhan di tingkat masyarakat.

Bentuk dukungan kepada pembudidaya kecil tersebut, sekaligus menjadi jawaban atas keraguan yang diungkapkan sejumlah pakar dan stakeholder atas dana besar yang didapat sektor perikanan budidaya pada 2018. Kata Slamet, walau ada yang menilai dukungan berupa bantuan kepada pembudidaya kecil belum efektif, tapi itu adalah salah satu cara yang harus tetap dilakukan oleh Negara.

“Sah-sah saja memiliki persepsi yang berbeda. Namun saya pastikan bahwa program yang diberikan telah tepat dan dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat. Namun demikian, kritik yang bersifat konstruktif akan jadi masukan bagi perbaikan ke depan,” tutur dia.

baca : Demi Target Produksi 2017, Perikanan Budidaya Pelajari Kegagalan Produksi 2016

 

Keramba budidaya ikan napoleon dan ikan kerapu di Pulau Sedanau Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ikan napoleon dijual Rp1,2 juta per ekor dan kerapu Rp300 ribu per ekor. Perikanan menjadi sektor ekonomi utama di Natuna. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Slamet mengingatkan, jika memang ada yang menilai kurang tepat, maka itu menjadi tanggung jawab dia untuk ikut membangun ekonomi pembudidaya. Dengan demikian, alokasi anggaran yang ada di KKP bisa berjalan dan dirasakan di masyarakat dengan baik. Anggaran tersebut, digunakan tak hanya untuk pemberian fasilitas kemudahan akses saja, melainkan juga untuk pembiayaan dan perlindungan usaha.

“Semua pihak punya tanggungjawab yang sama untuk membangun ekonomi pembudidaya. KKP konsisten agar alokasi anggaran bisa langsung dirasakan masyarakat,” tegas dia.

baca : Sudah Saatnya Indonesia Fokus Bangun Sektor Perikanan Budidaya

 

Sertifikasi Hak

Bentuk dukungan kemudahan akses mendapatkan fasilitas yang diberikan KKP, menurut Slamet, adalah mendorong para pembudidaya ikan untuk melaksanakan sertifikasi hak atas tanah yang mereka miliki dan gunakan. Sementara, untuk dukungan perlindungan usaha, dia menyebut, KKP sengaja merilis program asuransi bagi pembudidaya ikan kecil.

“Itu adalah skema asuransi pertama di Indonesia yang diterapkan langsung kepada pembudidaya ikan. Belum pernah ada sebelum ini,” ucap dia.

Dengan adanya asuransi dan juga kemudahan akses mendapatkan fasilitas, Slamet berharap di kemudian hari sektor perikanan budidaya nasional bisa bahu membahu untuk membangun. Harapan tersebut muncul, karena dengan mendapatkan bantuan dan dukungan program, pembudidaya kecil ke depan akan mendapatkan manfaat banyak.

baca : Akhirnya, Pembudidaya Ikan Kecil Terlindungi Asuransi Juga

Kata Slamet, jika ada di antara pembudidaya ikan yang mendapatkan bantuan tersebut dan kemudian sukses mengembangkan usahanya, maka diharapkan kesuksesannya itu ditularkan kepada pembudidaya kecil lain. Prinsip tersebut, akan mempercepat proses pengembangan pembudidaya kecil dari waktu ke waktu.

“Memang ada beberapa yang kurang berhasil, namun dipastikan apa yang KKP berikan berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat dan nasional dan ini dibuktikan dengan data yang ada,” jelasnya.

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Slamet menambahkan, dari hasil kajian dan berdasarkan data yang ada, program yang dilaksanakan KKP memberikan efek positif baik secara makro maupun mikro ekonomi. Pada September 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai tukar usaha pembudidaya ikan (NTUPi) naik 1,12 persen menjadi 110,54.

“Kondisi ini mengindikasikan bahwa usaha budidaya yang dilakukan masyarakat lebih efisien dan memberikan nilai tambah yang lebih baik,” klaim dia.

Sementara, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Perikanan dan Peradaban Maritim Suhana mengklaim, selama tiga tahun terakhir, neraca perdagangan ekspor perikanan budidaya terus memperlihatkan respon positif. Klaim tersebut diakuinya merujuk pada data International Trade Center yang menjelaskan kinerja neraca perdagangan perikanan budidaya positif.

Kinerja positif tersebut, menurut Suhana, dinilai dari kinerja ekspor komoditas ke berbagai negara. Dari semua komoditas, udang menjadi komoditas andalan yang menempati posisi paling atas dalam kontribusi untuk ekspor perikanan nasional. Komoditas tersebut, kata dia, menyumbang angka 31 persen dengan nilai USD1,28 miliar.

“Itu berarti, komoditas budidaya justru memberikan peluang sangat tinggi terhadap pemenuhan devisa,” klaim dia.

baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?

Terpisah, Ketua Asosiasi Catfish Club Indonesia Imza berpendapat bahwa bantuan yang diberikan KKP untuk para pembudidaya kecil, menjadi bantuan yang sangat berharga. Mengingat, hampir semua pembudidaya kecil di Indonesia, rerata selalu bermasalah dengan akses permodalan dan sarana prasarana.

“Hanya saja, khusus untuk pembudidaya pemula harus diimbangi dengan pendampingan yang intensif. Kemudian, harus ada juga penguatan kelembagaan yang mendorong para pembudidaya untuk memiliki akses terhadap informasi pasar,” jelas dia.

 

Seorang pekerja sedang memberikan pakan pada ikan nila dalam budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Budidaya Berkelanjutan

Di samping memberikan bantuan dan dukungan langsung, Slamet menyebut, keberhasilan pembudidaya kecil dalam mengembangkan usahanya, juga sangat bergantung pada kondisi alam. Menurut dia, perikanan budidaya harus menggantungnya hidupnya pada kelestarian alam, baik di darat maupun di laut.

Untuk itu, Slamet mengatakan, para pembudidaya ikan dan juga semua pihak lain yang berkaitan, harus bisa sama-sama menjaga alam sebaik mungkin. Tugas berat tersebut, tak bisa dilakukan sendiri oleh Pemerintah saja, melainkan juga oleh masyarakat yang berada di tengah-tengah alam secara langsung.

“Kita semua yang harus menjaga laut ini beserta isinya. Jika tidak, maka tunggu saja kerusakan di laut,” ungkap dia.

Selain masyarakat umum, Slamet mengatakan, upaya untuk menjaga kelestarian alam di laut juga bisa dilakukan dengan memulai pemanfaatan sumber daya laut dengan menggunakan konsep berkelanjutan. Konsep tersebut, diyakini dia bisa menjaga potensi laut dengan baik.

“Selain sektor perikanan tangkap yang ikut memanfaatkan laut, sektor perikanan budidaya juga ikut memanfaatkannya. Makanya, sektor ini juga harus ikut menjaga sumber daya laut sebaik mungkin,” ujar dia.

baca : Memetakan Solusi menuju Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan. Bagaimana Prakteknya?

Untuk bisa mewujudkan perikanan budidaya berkelanjutan, Slamet memaparkan, pihaknya merancang pedoman tentang pendekatan pengelolaan perikanan budidaya berbasis ekosistem (Ecosystem Approach to Aquaculture/EAA). Penyusunan pedoman itu, dilakukan dengan menggandeng World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.

“Ini menjadi upaya dari implementasi pola pengelolaan budidaya yang bertanggungjawab sebagaimana mandat dalam FAO- Code of Conduct for Responsible Fisheries atau CCRF,” jelas dia.

Lebih lanjut Slamet mengungkapkan, dengan dibuatnya pedoman EAA, itu akan memberikan acuan bagi para pelaku usaha di sektor perikanan budidaya untuk bisa melakukan pengelolaan usaha budidaya yang mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.

Menurut Slamet, dipilihnya perikanan budidaya, karena kegiatan tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ekosistem laut secara keseluruhan. Oleh karena itu, ke depan aktivitas usaha budidaya harus dilakukan dengan tetap menjamin kelestarian ekosistem melalui penerapan prinsip eco-efisiensi.

“Prinsip tersebut yaitu mendorong produktivitas dengan tetap menjaga kualitas lingkungan yang ada,” sebutnya.

baca : Praktik Berkelanjutan dalam Bisnis Perikanan dan Kelautan, Seperti Apa?

 

Seekor lobster yang tertangkap dalam bubu di Blongko, Sulawesi Utara. Foto : Tantyo Bangun/WWF/Mongabay Indonesia

 

Dengan diterbitkannya EAA, kata Slamet, maka pengelolaan kawasan budidaya harus dilaksanakan secara terpadu. Prinsip itu penting dilakukan, karena itu bisa menjawab berbagai tantangan yang ada, terutama berkaitan dengan status kawasan budidaya yang diakses terbuka dan melibatkan banyak sektor di dalamnya.

“Pedoman EAA ini dapat menjadi alat dalam memberikan arahan pengelolaan agar dapat dilakukan secara terpadu dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan,” tanda dia.

 

Jaminan Keberlanjutan

Direktur Coral Triangle Initiative (CTI) WWF Indonesia Wawan Ridwan memaparkan, pedoman EAA dibuat sebagai bentuk perhatian bersama antara Pemerintah dan publik dalam menjamin keberlanjutan SDA dan lingkungan. Menurutnya, keberadaan perikanan budidaya tidak bisa dilepaskan dari daya dukung kapasitas ekosistem secara keseleruhunan.

“Pengelolaan budidaya yang tidak mengindahkan daya dukung dan peran ekosistem sama saja bunuh diri dalam investasi usaha,” jelas dia.

baca : Seperti Apa Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem?

Wawan menambahkan, mengingat sektor perikanan budidaya memiliki peran sentral dalam mencukupi kebutuhan pangan global, penting untuk dilakukan bagaimana menjamin keberlanjutan aktivitas perikanan budidaya termasuk jaminan ketelurusan produk.

Berkaitan dengan ketelusuran produk, Wawan mengingatkan kepada semua pihak bahwa persaingan perdagangan produk kelautan dan perikanan di tingkat global saat ini menuntut adanya aspek tersebut dan juga aspek keberlanjutan. Kedua aspek tersebut untuk memastikan produk berbasis pangan yang dihasilkan dari laut bisa dikonsumsi secara layak oleh konsumen di seluruh dunia.

“Untuk memastikan dua aspek tersebut, maka EAA penting untuk diterapkan dalam perikanan budidaya. Tujuannya, untuk meningkatkan daya saing produk perikanan,” tambah dia.

 

Lobster, salah satu jenis unggulan hasil perikanan kelautan Indonesia. Foto: Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Menurut Wawan, mengingat pentingnya keberadaan pedoman EAA tersebut, maka ke depan produk tersebut diharapkan bisa menjadi bagian dari produk hukum KKP. Dengan demikian, ke depannya seluruh pelaku usaha perikanan budidaya memiliki acuan formal dalam melakukan pengelolaan budidaya secara bertanggungjawab.

Sebagai gambaran, Wawan menjelaskan, pedoman EAA berisi sejumlah indikator penilaian yang mengakomodasi berbagai aspek utama yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Kata dia, suatu kawasan pengembangan budidaya dikatakan baik jika telah memenuhi kriteria dalam indikator EAA.

 

Exit mobile version