Mongabay.co.id

Mengapa Komitmen Pemerintah untuk Membangun SKPT di Pulau Terluar Terus Turun?

Pengembangan kawasan pesisir dan pulau terluar terus dilakukan Pemerintah Indonesia melalui program pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT). Tahun ini, pembangunan difokuskan di 13 lokasi yang sudah ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan satu lokasi merupakan tambahan.

Namun, tambahan lokasi tersebut ternyata tidak diiringi dengan penambahan alokasi anggaran untuk pembangunanm SKPT. Hal itu dibeberkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, untuk membangun 13 lokasi SKPT, alokasi anggaran untuk 2018 yang ditetapkan KKP jumlahnya hanya mencapai Rp275,7 miliar. Jika dibandingkan dengan 2017 yang mendapat kucuran Rp771,8 miliar, jumlah tersebut menurun hingga 41,8 persen.

“Pada 2017, KKP mengucurkan Rp771,8 miliar untuk pembangunan SKPT, namun kemudian dipotong menjadi hanya Rp657,8 miliar pada akhir tahun 2017. Penurunan alokasi ini tentunya akan mengganggu target SKPT secara keseluruhan,” ungkapnya.

baca : Dari Simeulue ke Merauke, Dibangun Sentra Bisnis Perikanan dan Kelautan

 

Aktivitas nelayan dalam perahunya di Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho, Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada Jumat (16/09/2016). Pelabuhan Dagho menjadi tempat pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Adapun, 12 lokasi yang menjadi fokus SKPT tahun ini adalah SKPT Sabang (Aceh), Mentawai (Sumatera Barat), Natuna (Kepulauan Riau), Nunukan (Kalimantan Utara), Talaud (Sulawesi Utara), Morotai (Maluku Utara), Saumlaki (Maluku), Rote Ndao (Nusa Tenggara Timur), Sumba Timur (NTT), Biak (Papua), Mimika (Papua) dan Merauke (Papua). Sementara, satu lokasi tambahan adalah SKPT Moa di Kabupaten Maluku Barat daya, Provinsi Maluku.

Dengan tambahan satu lokasi, Abdi berpendapat, seharusnya KKP memberikan tambahan alokasi anggaran dan bukan justru menguranginya. Menurut dia, dengan alokasi yang serba terbatas itu, pembangunan SKPT tidak akan mencapai level yang diharapkan, yaitu untuk membuka isolasi kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan.

“Upaya pemerintah mewujudkan industrialisasi perikanan dengan membangun SKPT di wilayah pinggiran akan terhambat dengan menurunnya alokasi anggaran pembangunan SKPT,” jelasnya.

Dengan fakta tersebut, Abdi melihat KKP belum memperlihatkan keseriusan dalam melaksanakan pembangunan SKPT di kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan. Apalagi, pembangunan SKPT yang sudah dimulai sejak 2015, hingga saat ini masih belum menunjukan hasil yang optimal di sejumlah lokasi.

baca : Sudah Dua Tahun, Kenapa Pembangunan SKPT Berjalan Sangat Lamban?

 

Suasana di kawasan Pelabuhan Ukurlalan, Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Maluku, pada pertengahan Oktober 2017. Pelabuhan ini rencananya akan digunakan sebagai bagian dari Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Saumlaki, Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Untuk bisa menjaga ruh pembangunan SKPT, Abdi menyebut, satu-satunya cara yang bisa dilakukan KKP adalah dengan menjaga dan mengawal alokasi anggaran. Cara itu harus dipilih, karena SKPT adalah program prioritas dan unggulan dari KKP. Selain itu, KKP juga harus melaksanakan perbaikan program SKPT hingga bisa lebih baik hasilnya.

“KKP menunjukan inkonsistensi perencanaan program SKPT. Pembangunan tidak akan mencapai level yang diharapkan karena anggaran yang ada terus berkurang sejak alokasi awal dan kemudian mengalami pemotongan,” tandasnya.

baca : Pemkab Maluku Tenggara Barat Belum Dukung Pembangunan SKPT Saumlaki?

 

Terus Turun

Selain masalah alokasi anggaran yang terus menurun, Abdi Suhufan mengatakan, persoalan lain yang juga semakin terlihat adalah belum adanya perbaikan konsep dan pelaksanaan pembangunan dari tahun ke tahun. Padahal, pembangunan SKPT secara nasional sudah dimulai sejak 2015.

“Hal ini dapat dilihat dengan terlambatnya proses pengadaan barang dan jasa kegiatan SKPT, baik untuk pembangunan infrastruktur Unit Pengolahan Ikan (UPI), pelabuhan perikanan, ataupun pengadaan bantuan kapal ikan bagi koperasi dan kelompok nelayan,” paparnya.

Kemudian, tanda belum adanya perbaikan, kata Abdi, bisa dilihat dari proses awal pembangunan setiap tahun. Untuk tahun ini, pembangunan juga terlambat karena hingga Februari masih belum terlihat tanda-tanda kelanjutan pembangunan SKPT. Padahal, seharusnya sejak awal tahun pembangunan sudah dilaksanakan oleh KKP.

“Hal ini akan mengulang kejadian tahun lalu dimana pengadaan kapal dan pembangunan lainnya dikebut pada akhir tahun,” tuturnya.

baca : Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

 

Lokasi pembangunan Pelabuhan di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. Pembangunan pelabuhan itu sebagai bagian dari pembangunan sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) dari program KKP. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Kondisi itu akan semakin sulit bagi publik untuk mengharapkan operasionalisasi dan dampak SKPT sesuai tujuan awal, yaitu untuk memicu produksi perikanan di wilayah pinggiran, melakukan ekspor langsung dan menumbuhkan ekonomi lokasi melalui kegiatan perikanan.

“Oleh karena itu KKP perlu menyegerakan lelang kegiatan SKPT terutama untuk lokasi yang progress-nya rendah seperti Saumlaki dan Mimika,” tegas Abdi.

baca : Fokus Liputan Saumlaki : Di Pulau Matakus, Warga Labuhkan Harapan untuk SKPT Saumlaki (Bagian 3)

 

Penguatan Kapasitas Nelayan

Peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman di kesempatan yang sama, mengingatkan kepada KKP untuk tidak melupakan intervensi penguatan kapasitas kelembagaan nelayan di lokasi SKPT dan konektivitas antar rantai kegiatan. Salah satu wujudnya, adalah penyediaan infrastruktur perikanan di lokasi SKPT harus diikuti dengan upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan nelayan.

“Bisa melalui koperasi atau BUMDes yang solid dan terkonsolidasi dengan baik,” ucapnya.

Perlunya melakukan intervensi, menurut Subhan, tidak lain karena jenis-jenis bantuan masyarakat dan infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah di lokasi SKPT memerlukan dukungan manajemen kelembagaan yang kuat oleh pemerintah daerah maupun oleh nelayan lokal.

Bagi dia, proses naik kelas nelayan lokal yang selama ini hanya mensuplai pasar-pasar lokal, akan bergeser dengan terbangunnya UPI di lokasi SKPT dan pada akhirnya akan menyerap hasil tangkapan nelayan.

“Proses transisi dan perubahan orientasi tangkap yang dari tradisional menjadi modern membutuhkan pendampingan karena terkait dengan alih teknologi, dukungan permodalan dan skill yang meningkat oleh kelompok nelayan di lokasi SKPT,” pungkas dia.

baca : Liputan Sangihe: Tepatkan Dagho Jadi Sentra Perikanan? (Bagian 2)

 

Kondisi bangunan tempat pelelangan ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ukurlalan, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Pelabuhan ini rencananya akan digunakan sebagai bagian dari Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Saumlaki, Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

 

Sementara itu, peneliti DFW-Indonesia lain, Widya Savitri, menyebut KKP harus melakukan koordinasi lebih bagus lagi dengan stakeholders kelautan dan perikanan jika ingin program SKPT terus mendapatkan dukungan secara berkelanjutan.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh KKP, menurut Widya, adalah melalui kegiatan forum bisnis yang dilaksanakan setiap bulan. Kegiatan tersebut, perlu dievaluasi lagi agar jangan hanya menjadi pertemuan seremoni saja, tetapi harus bisa menghasilkan sejumlah kontrak dan kerja sama.

“Berapa nilai investasi yang terealisasi di lokasi SKPT dan kapan deadline proyek tersebut dikerjakan oleh pihak swasta,” jelasnya.

Agar pembangunan bisa menjadi lebih baik, Widya menuturkan kalau KKP perlu mengakselerasi pembangunan SKPT berdasarkan evaluasi dua tahun pelaksanaan selama ini. Hal-hal fundamental, seperti perencanaan, koordinasi, atau pembiayaan SKPT, kata dia, seharusnya sudah tidak menjadi persoalan lagi.

“Saat ini kita mau melihat bentuk nyata sentra perikanan operasional dengan skala yang berbeda-beda di setiap lokasi,” tandasnya.

baca : Selat Lampa Dijadikan Pusat Perikanan Terpadu di Perairan Natuna

 

Pelabuhan Perikanan Pantai Dagho, Kota Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada Jumat (16/09/2016), tempat pembangunan sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu (SKPT). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Kendala SKPT

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP Sjarief Widjaja pada kesempatan terpisah mengatakan, pembangunan SKPT di sejumlah lokasi memang tidak bisa mencapai perkembangan yang sama. Antara satu lokasi dengan lokasi yang lain, ada pelbagai macam persoalan yang bisa mempercepat atau menghambat pembangunan.

Salah satu lokasi yang masih adalah Saumlaki yang ada di bawah pengelolaan DJPT. Selain Saumlaki, lokasi lain yang pembangunannya ada di bawah tanggung jawab DJPT adalah adalah Natuna, Merauke, Sebatik, Dogo (Tahuna).

“Dari semua lokasi yang sedang dalam pembangunan itu, masing-masing memiliki karakteristik berbeda,” jelasnya.

baca : Liputan Natuna : Beruntungnya Natuna Dibuatkan Fasilitas Berstandar Internasional (Bagian 3)

Sjarief menjelaskan, dari semua lokasi, ada lokasi yang pembangunannya sudah berlangsung dan hampir selesai, tapi kapal-kapal ikan masih belum ada yang berlabuh. Tapi sebaliknya, ada juga yang pembangunannya belum bagus progress-nya, namun kapal-kapal sudah banyak yang masuk.

Dari lima lokasi yang ada tersebut, Sjarief menyebut, Natuna sudah beroperasi per 1 Juni 2017 dan saat itu sudah didatangi 144 kapal ikan sekaligus. Situasi berbeda justru terlihat di Merauke yang fasilitasnya masih sangat minim. Di sana, justru animo kapal-kapal ikan untuk berlabuh terlihat sangat tinggi.

Untuk sarana seperti cold storage, Sjarief menegaskan, pembangunan akan dilaksanakan di lokasi Sebatik dan Merauke. Sementara, lokasi lain hingga saat ini masih belum diketahui apakah akan dibangun cold storage atau tidak.

 

Exit mobile version