Fajar perlahan mulai menyeruak di antara pohon jati (Tectona grand) dan mahoni (Swietenia mahagoni) yang tumbuh di kawasan wisata Akar Langit. Burung berkicau bersahutan tampak menyambut riang mentari datang.
Udara sejuk menyertai perjalanan saat memasuki obyek wisata Akar Langit yang didominasi jati dan mahoni. Jati dan mahoni tersebar di sepanjang desa di pesisir utara Jawa Timur, termasuk Desa Sendangharjo.
Di daerah ini, jati dan mahoni tumbuh rapi, tampak elok dipandang dari segala sisi.
Di antara hutan jati dan mahoni ini ada pohon dengan tampilan begitu mencolok. Namanya, pohon bunga kupu-kupu dengan (Bauhinia lingua). Pohon ini termasuk dalam famili Caesalpiniaceae, berusia sekitar 30 tahun.
Di antara barisan jati dan mahoni yang kurus tinggi, pohon ini tampak seperti akar yang menjalar ke atas. Bergumul jadi satu membentuk batang berdiameter sekitar 75 centimeter. Batang-batang kecil menjalar meliuk-liuk belasan meter ke pohon-pohon lain mirip jaring.
Kalau dilihat dari kejauhan tampak seperti akar yang tumbuh ke atas langit. Hal inilah yang kemudian membuat warga sekitar menyebutnya sebagai “Akar Langit.”
Wisata Akar Langit berada di Desa Sendangharjo, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Ia berada di petak 35C KRPH Lembor, masuk KBH Tuban.
Pohon unik
Warga sekitar menyebut bunga Kupu-kupu trinil. Di hutan yang sama, ada puluhan bunga kupu-kupu tumbuh, hanya dua yang berukuran raksasa.
Nama bunga kupu-kupu diambil dari bentuk daun yang memiliki dua ujung lancip mirip sayap kupu-kupu.
Kalau memasukkan kata kunci “pohon bunga kupu-kupu” di mesin pencari Google, hasilnya tak akan memuaskan. Hasil teratas yang muncul Oxalis triangularis. Bentuk tanaman ini sangat berbeda dengan trinil. Hasil lebih memuaskan jika memasukkan kata kunci Bauhinia glabra.
Pohon ini sempat viral Agustus 2017. Perhutani lantas meminta Kebun Raya Purwodadi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk mengecek pada 20 Oktober 2017. Hasilnya, pohon ini memang unik dan jarang ditemui.
Berdasarkan laporan hasil identifikasi pohon di wisata Akar Langit menyebutkan, pohon induk trinil sering dijumpai di daerah lain tetapi yang bentuk dan ukuran seperti di Akar Langit merupakan terbesar, unik, dan satu-satunya di Indonesia.
Laporan ini menyebutkan, bunga kupu-kupu bukan tanaman parasit atau benalu. Hanya saja, puluhan ranting menjalar ke berbagai sisi membuat rimbun. Pohon-pohon sekitar bisa mati karena tak mampu berfotosintesis. Tak heran, beberapa mahoni dekat bunga kupu-kupu itu mati.
Hasil identifikasi pohon itu melahirkan tiga rekomendasi terkait bunga kupu-kupu ini. Pertama, agar pohon disterilkan dalam radius 10 meter. Namun, di tempat wisata, para pengunjung bisa mendekat sekitar dua meter dari batang.
Pagar dipasang cukup dekat dengan batang pohon. Pengunjung bahkan bisa menyentuhnya.
“Kalau jarak segitu (10 meter), kasihan penunjung yang jauh-jauh datang,” kata Andik Setijono, Kepala Resort Pemangku Hutan (KPRH) Lembor.
Untuk mengindari kerusakan atau pohon unik itu mati, KPRH menimbun akar yang menonjol ke atas tanah agar tak terinjak pengunjung. Ini sesuai rekomendasi kedua.
Ketiga, pemberian label pada pohon-pohon yang sudah teridentifikasi. Trinil itu dan beberapa pohon lain sudah dipasangi tulisan identifikasi dari kertas kecil. Khusus trinil, tulisan nama itu tercentel di salah satu batang pohon. Pengunjung yang tak jeli tak mungkin menemukan.
Keberadaan pohon raksasa ini jadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Sekilas pohon tampak mirip dedalu perkasa di serial film Harry Potter, terutama pada bagian batang.
Populer berkat sosial media
Akar Langit ini jadi destinasi wisata baru yang sedang populer di Lamongan Pantura. Perhutani bersama warga desa menjadikan hutan ini obyek wisata selama satu tahun terakhir ini.
Menurut Ali, pemuda Sendangharjo, trinil raksasa sudah lama diketahui warga sekitar. Hutan jadi tempat utama warga mencari pakan ternak. Selain jati dan mahoni, ada banyak pohon lain yang tumbuh, termasuk semak belukar.
“Awalnya, trinil raksasa ini tumbuh di antara belukar padat. Ketika batang yang unik tak kelihatan mencolok,” kata Ali.
Pada 2015, dia iseng memotret dan merekam pohon ini dengan telepon selular. Dia bagikan foto ke akun sosial media. Tak banyak respon, hanya pemuda karang taruna desa yang tertarik keunikan pohon itu.
Pemuda-pemuda sekitar kemudian membagikan dan membuat viral pohon ini lewat media sosial yang lain. Dua tahun kemudian, atau Agustus 2017, beragam respon positif berdatangan. Banyak orang penasaran.
Berbondong-bondong mereka datang menuntaskan rasa penasaran melihat pohon itu. Sampai saat ini, trinil masih jadi magnet para pengunjung. Sehari puluhan orang datang berkunjung. Pada hari libur, pengunjung bisa sampai ratusan.
Terus dikembangkan
Sebelum menjadi obyek wisata, hutan ini oleh warga Desa Sendangharjo jadi tempat mencari kayu dan daun-daun pakan ternak. Cabang trinil sering untuk tali pengikat kayu maupun pakan ternak.
Awal 2018, obyek wisata ini dibuka resmi oleh Pemerintah Desa Sendangharjo. Pengunjung yang ingin menikmati Akar Langit kena tiket masuk tiket Rp10.000 dan retribusi parkir kendaraan roda dua Rp2.000, roda empat Rp5.000.
Pengelolaan obyek wisata dilakukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Multi Sarana Mandiri Sendangharjo. Untuk penambahan fasilitas, pemerintah desa akan mengalokasikan dana desa guna pembangunan sarana dan prasarana penunjang.
Kini, Pemerintah Desa Sendangharjo bersama KRPH Lembor berencana mengembangkan kawasan ini sebagai area wisata lebih luas. Total hutan di wilayah itu 19,8 hektar. “Di sisi selatan, di Petak 35D, ada trinil yang bentuk unik-unik. Di Petak 35E ada Goa Genuk, Goa Gangsir, dan Goa Lowo,” kata Andik.
Goa yang disebut adalah cekungan dari dalam bebatuan yang tak terlalu dalam. Spot-spot buatan untuk berswafoto para pengunjung juga jadi perhatian. Salah satunya, penataan bambu bentuk kapal di atas bukit. Para pengunjung bisa berfoto di sana dengan latar pemandangan area hutan.
Keterangan foto utama: Pengunjung melintas di area pohon yang memiliki akar panjang, banyak warga menyebut pohon ini seperti pohon dedalu raksasa perkasa mirip di film kenamaan Harry Potter. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia