Mongabay.co.id

Muram, Potret Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel tahun 2018

***

Di tahun 2018, potret lingkungan hidup di Sulawesi Selatan tak jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.Muram.Kerusakan lingkungan yang terjadi di Sulsel hampir seluruhnya dialami dan dirasakan oleh masyarakat yang hidup di pedesaandan perkotaan. Sayangnya, kerusakan lingkungan dan hilangnya sumber penghidupan rakyat belumdilihat sebagai hal pentinguntuk segera diatasi.

Pergantian rezim kepemimpinan awalnya diharapkan memberi harapan baru menjawab kebutuhan masyarakat terkait pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Namun setelah 100 hari kepemimpinan baru Gubernur Sulselini belum terlihat adanya upaya berarti yang dikeluarkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.

baca :  Ini Harapan Masyarakat Sipil untuk Gubernur Sulsel yang Baru

“Sikap pemerintah yang selama ini abai terhadap lingkungan hidup telah mengakibatkan kerusakan lingkungan terus meluas hingga berefek secara signifikan terhadap masyarakat dan wilayah kelolanya, baik yang hidup di desa maupun di kota. Kami belum melihat adanya upaya kongkrit dari rezim pemerintahan yang baru ini,” ungkap Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sulsel, Muhammad Al Amin, di Makassar, akhir Desember 2018 lalu.

Menurut Amin, sepanjang 2018 menyisakan berbagai masalah lingkungan hidup yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru untuk segera diselesaikan. Mulai dari reklamasi pesisir Makassar, tambang pasir di Takalar, kebijakan Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), hingga perusakan hutan dan pengelolaan kota yang buruk.

baca juga :  Lima Rekomendasi untuk Pembangunan Pesisir dan Laut di RPJMD Sulsel

 

Direktur Walhi Sulut, Muhammad Al Amin memaparkan potret muram pengelolaan lingkungan hidup sepanjang tahun 2018. Rezim pemerintahan baru dianggap belum memiliki upaya konkrit menyelesaiakan masalah-masalah yang ada. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Soal reklamasi pesisir Makassar serta tambang pasir laut di Takalar, menurut Walhitelah menghancurkan ruang tangkap nelayan serta memiskinkan masyarakat pesisir Kota Makassar dan Takalar.

Proyek reklamasi terus berpolemik sejak Pemkot Makassar menerbitkan Perda RTRW No.4/2015 lalu, yang didalamnya termaktub alokasi ruang reklamasi untuk proyek Center Point of Indonesia (CPI) seluas 157,25 Ha dan rencana reklamasi untuk proyek lainnya seluas 4.000 Ha.

“Sejak saat itu, masyarakat mengetahui bahwa pemerintah provinsi Sulsel tengah bekerja sama dengan pihak pengembang yaitu Ciputra Group untuk mereklamasi pesisir Makassar untuk kepentingan bisnis properti,” jelas Amin.

Buntutnya, pemerintah memberi izin tambang laut di Takalar untuk memenuhi kebutuhan material reklamasi itu.

Masyarakat pun kemudian melakukan penolakan, termasuk mengejar kapal Boskalis untuk menghentikan penambangan tersebut. Masyarakat juga melakukan aksi penolakan di Takalar dan Makassar.

baca juga :  Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris

Sayangnya, penolakan masyarakat ini ternyata tidak mampu menekan pemerintah untuk menghentikan penambangan tersebut, meski sempat berhenti pada Januari 2018, begitu pun aktivitas reklamasi di CPI.

“Masalah yang timbul kemudian bahwa dampak tambang pasir laut tersebut masih terjadi dan dirasakan oleh masyarakat pesisir terutama yang berprofesi sebagai nelayan,” jelas Amin.

Penambangan pasir laut ini mengakibatkan 250 orang nelayan beralih profesi menjadi tukang batu dan pemulung. Selain itu, pendapatan 6.474 orang nelayan menurun hingga 80 persen. Abrasi pantai juga terjadi secara luas.

“Hampir di seluruh desa terjadi abrasi sepanjang 10 hingga 20 meter. Akibatnya, 20 rumah hancur berat dan 2 pemakaman umum juga rusak parah.”

baca :  KKP Surati Gubernur Sulsel, Minta Tambang Pasir di Takalar Dihentikan

 

Mobilisasi warga Takalar untuk turun ke pantai diumumkan di masjid-masjid dan mendapat respon yang cukup besar. Ratusan warga di setiap desa menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Masalah lain adalah terkait Ranperda RZWP3K yang dinilai sesat dan sarat dengan masalah.

“Rencana pemerintah menerbitkan regulasi mengenai rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau sesungguhnya peluang bagi masyarakat pesisir agar terbebas dari konflik lingkungan dan SDA,” kata Amin.

Sayangnya, pada draf Ranperda RZWP3K itu terlihat bahwa kebijakan zonasi pesisir hanya akan memberi jalan bagi penambang untuk semakin leluasa mengeruk pasir laut di perairan Galesong. Adanya alokasi ruang reklamasi seluas 4.000 Ha di Ranperda juga mengancam pesisir Kota Makassar dan pesisir lainnya.

“Dengan adanya alokasi ruang reklamasi tersebut, maka kerusakan pesisir di daerah lain akan meningkat pesat, dan pengaplingan ruang tangkap nelayan akan semakin nyata terjadi,”tambahnya.

baca :  Sarat Masalah, Aktivis Minta Pembahasan RZWP3K Sulsel Ditunda

Apalagi kemudian Pemprov dan DPRD Sulsel kemudian malah memberikan jalan keluar yang tidak solutif dengan memasukkan zona tambang pasir laut pada jarak 8 mil dari pesisir.

“Memasukkan zona tambang pasir laut di jarak 8 mil sesungguhnya menguatkan pendirian kita bahwa pemerintah dan legislatif di provinsi Sulsel merupakan perpanjangan tangan penambang.”

Dengan kondisi ini Walhi Sulsel menilai pemerintah dinilai lebih menjaga iklim investasi ketimbang menyelamatkan kehidupan puluhan ribu nelayan.

“Dengan demikian, secara tegas kami sampaikan bahwa masih adanya alokasi ruang reklamasi dan tambang pasir laut di dalam draf Ranperda RZWP3K merupakan ancaman nyata bagi pesisir dan keselamatan nelayan di Sulsel, sehingga kami meminta Gubernur untuk menghapusnya.”

menarik dibaca :  ASP Menolak Raperda Zonasi Pesisir Sulsel. Ada Apakah?

 

Pembangunan Center Point of Indonesia (CPI) yang mereklamasi pesisir pantai Makassar, Sulut dan menimbulkan berbagai masalah lingkungan.Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Alih Fungsi Lahan

Sorotan lain Walhi terkait kerusakan hutan. Hutan tropis yang masih sangat luas di Sulsel berada di pegunungan Querles dan Verbeek, yang terbentang mulai dari Kabupaten Luwu, Luwu Utara hingga Luwu Timur. Masyarakat menamainya pegunungan Tokalekaju.

Saat ini, sudah banyak perusahaan yang memperoleh izin usaha pertambangan di dua pegunungan tersebut. Bahkan sebagian besar telah melakukan kegiatan penambangan, tanpa melibatkan masyarakat lokal saat penyusunan hingga pembahasan AMDAL.

WALHI Sulsel mencatat dari 13 perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Luwu Timur, perusahaan yang paling banyak menguasai ruang baik hutan maupun non hutan adalah PT Vale Indonesia Tbk.

“Dengan begitu, perusahaan ini merupakan pihak yang paling berkontribusi terhadap kerusakan hutan tropis di Sulsel,” kata Amin.

menarik dibaca :  Nurdin Abdullah: Sawit dan Tambang Bukan untuk Sulawesi Selatan

Sorotan lain adalah terkait pembangunan di Kota Makassar, di mana semakin masifnya alih fungsi daerah resapan air untuk pembangunan hotel perumahan dan pusat perbelanjaan. Ini berdampak pada semakin berkurangnya Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar.

Walhi Sulsel mencatat dua perusahaan property besar sedang membangun perumahan di pinggiran Kota Makassar, yaitu CitraLand Tallasa City Ciputra Group dan FKS Land.

“Proyek ini dibangun di lahan resapan air seluas 700 hektar yang dinilai akan semakin mengurangi ketersediaan RTH Kota Makassar yang masih jauh dari batas keharusan.”

Begitu pula dengan proyek pengembangan kawasan perumahan dan pusat bisnis Summarecon Mutiara Makassar oleh PT Summarecon Agung di area pembangunan seluas 400 hektar yang terletak di Jalan Ir Sutami, juga merupakan daerah resapan air.

“Banjir yang setiap tahunnya melanda Kota Makassar adalah akibat dari semakin berkurangnya daerah resapan air. Ketika proyek pembangunan properti ini terus berlanjut maka titik-titik banjir di Kota Makassar akan semakin bertambah.”

baca :  Tata Kota Buruk, Banjir Rendam Makassar

 

Kondisi warga saat banjir melanda kota Makassar pada Desember 2013. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Masalah lainnya adalah semakin tingginya tekanan terhadap kawasan karst di Kabupaten Maros-Pangkep,akibat usaha pertambangan batu gamping untuk produksi semen, marmer dan industri lainnya.

Penambangan karst ini selain mengancam ketersediaan air tanah di sekitar kawasan karst, juga menghilangkan kekayaan arkeologi, dan mengancam keunikan geomorfologi serta biodiversity.

Walhi Sulsel menemukan ada 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kecamatan Tondong Tallasa yang terdiri atas tambang marmer (15 IUP), tambang pasir kuarsa (5 IUP), tambang batubara (1 IUP) dan tambang tanah liat (3 IUP).

“Hilangnya resapan air, air hujan yang tidak terserap kemudian akan mengalir di permukaan dan mengikis sedikit demi sedikit lapisan tanah lama kelamaan juga akan semakin menurunkan kualitas lingkungan.”

 

Exit mobile version