- Sejumlah penyu ditemukan mati di perairan Bali dan Banyuwangi, Jawa Timur. Penyu mati diduga karena memakan sampah plastik yang berada di perairan seputar Bali
- Makin banyak penyu mati terdampar, dan setelah dibedah ditemukan plastik serta benda lain yang merusak organnya.
- Penanganan penyu terdampar juga dilakukan komunitas relawan dokter hewan di Indonesia yang memerlukan bantuan dan dukungan pihak lain seperti lokasi rehabilitasi dan obat-obatan
- Selain keberadaan tim penanganan hewan terdampar, juga diperlukan pengelolaan satu salah sumber penyebab kematian penyu yaitu sampah laut yang tak terurai yang rentan dimakan penyu
Sejak Januari sampai Mei 2020 ini sedikitnya delapan ekor penyu ditemukan mati di pesisir di Bali. Terbanyak di Kabupaten Jembrana. Pada pekan lalu juga ditemukan satu ekor penyu mati di Banyuwangi, Jawa Timur.
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar yang wilayah kerjanya meliputi Jatim menangani penyu yang mati terdampar di Pantai Pulau Santen Banyuwangi, Jatim dengan cara dikuburkan pada Jumat (15/5/2020). Pulau Santen merupakan salah satu tempat bertelurnya penyu-penyu yang ada di Banyuwangi.
Sebelumnya, Tim respon cepat BPSPL Denpasar menerima laporan dari Satwas SDKP Banyuwangi, yang mendapat laporan dari masyarakat Pulau Santen mengenai penyu mati terdampar.
baca : Begini Penderitaan Penyu yang Berusaha Mengeluarkan Plastik dari Perutnya
Kepala BPSPL Denpasar, Permana Yudiarso yang dihubungi Mongabay Indonesia, Minggu (17/5/2020) menyebut penanganan dibantu oleh beberapa instansi lain seperti Kepolisian Air dan Udara (Polairud) Polresta Banyuwangi, BBKSDA Jawa Timur Seksi Konservasi Wilayah V Banyuwangi, Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF) dan masyarakat kelompok nelayan Pulau Santen.
Berdasarkan hasil pemeriksaan secara visual, penyu yang diketahui berjenis penyu lekang (Lepodochelys olivacea) dengan ukuran panjang karapas mencapai 58 cm dan Lebar 61 cm. Penyu ditemukan dalam keadaan mati dengan beberapa luka di tubuh. Luka-luka tersebut antara lain luka retak dan berlubang pada karapas serta luka gores yang cukup banyak pada kepala penyu.
Hal ini disinyalir akibat benturan benda keras hingga menyebabkan kematian. Dilihat dari kondisi penyu yang masih utuh, diperkirakan kematiannya antara 3-4 hari.
Selain itu, ditemukan lagi seekor ekor penyu jenis lekang berjenis kelamin betina dengan panjang 66 cm lebar 64 cm dan berat sekitar 40 kg dalam kondisi mati dan sudah membusuk di Pulau Santen, Banyuwangi, pada Jumat (22/5/2020).
Hal itu diketahui tim respon cepat BPSPL Denpasar dari laporan warga setempat dan BSTF. Dari pantuan tim respon cepat di lokasi, penyu itu telah lama mati di tengah laut kemudian terbawa ombak Selat Bali dan terdampar di pantai. Penyebab kematian penyu tersebut masih belum dapat dipastikan karna proses nekropsi tidak bisa dilakukan akibat laboratorium Universitas Airlangga yang masih di-lock down.
Permana Yudiarso yang dihubungi Minggu (24/5/2020) mengatakan penyu yang telah membusuk itu kemudian langsung dikubur agar tidak berpotensi menimbulkan penyakit bagi warga sekitar.
baca juga : Penyu Hijau Mati Mulut Penuh Sampah Plastik di Sumbawa
Sementara di Bali, kasus terakhir seekor penyu hijau (Chelonia mydas) mati dan ditemukan terdampar di sekitar perairan Serangan, Denpasar, Jumat (1/5/2020) lalu. Hasil pembedahan atau nekropsi di klinik hewan Kedonganan Veterinary, pada 4 Mei menunjukkan pada usus penyu ditemukan benang pancing, plastik, keong kecil, serta sisa makanan.
Kematian penyu banyak dilaporkan jika ada kelompok pelestari penyu di pesisir. Misalnya Jembrana, Bali Barat. Dalam dua tahun terakhir, belasan penyu dilaporkan terdampar mati. Dari catatan Mongabay saja, pada 2018, selama periode 2 minggu April-Mei sedikitnya 5 penyu lekang mati. Ada yang sudah membusuk dan utuh. Pemeriksaan belum dilakukan karena semua penyu sudah dikubur.
Penyu-penyu mati ini ditemukan nelayan dan warga sekitar pesisir. Wayan Anom Astika Jaya Koordinator Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih yang berlokasi di Pantai Perancak menyebut ini bukan kejadian biasa dan harus diselidiki. “Bukan hal biasa, harus diketahui apa penyebabnya,” katanya. Sayangnya kelima bangkai penyu sudah dikubur tanpa pemeriksaan sampel organ.
perlu dibaca : Abrasi Parah, Kampung Mampie dan Penyelamatan Penyu Terancam
Satwa terdampar dominan penyu
Indonesian Aquatic Megafauna (IAM) Flying Vet, organisasi dokter hewan non-teritorial dibawah Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) ini dalam poster peringatan 2 tahun berdirinya (3 Mei 2018-3 Mei 2020) melaporkan sebagian besar satwa laut terdampar yang ditangani adalah penyu.
Rinciannya, sebanyak 256 penyu, 4 paus, 4 dugong, dan 4 lumba-lumba. Dari 268 Individu tersebut, 206 ekor ditangani dalam keadaan sakit (pemeriksaan dan pengobatan), sedangkan 62 lainnya ditemukan dalam kondisi mati dan beberapa di antaranya nekropsi untuk mengetahui penyebab kematiannya. Dari penanganan 206 Individu yang ditemukan dalam kondisi sakit, 198 di antaranya berhasil pulih dan dilepas liarkan ke habitatnya kembali (96% survive).
IAM Flying Vet dideklarasikan di Bali, digagas untuk mewadahi dokter hewan diseluruh Indonesia dengan minat yang sama dan berkenan mendedikasikan keahliannya untuk menjaga kelestarian ekosistem laut. Melalui penanganan medik megafauna akuatik terdampar atau sakit. Organisasi ini dikukuhkan oleh Dirjen PRL Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Ketua PDHI pada 3 Mei 2018.
Ida Ayu Dian Kusuma Dewi, Koordinator IAM Flying Vet yang dikonfirmasi Rabu (20/5) mengatakan jumlah kasus penyu jauh lebih banyak karena pada 2019 ada penanganan penyu dari kasus penyelundupan dari Batam sebanyak 148 ekor ditangani dokter hewan Dio dan Pram. Namun, jika dibandingkan dengan satwa lain, penyu tetap jauh mendominasi.
Dian menjelaskan, anggota Flying Vet adalah dokter-dokter hewan volunter, namun banyak yang beranggapan organisasi ini punya dana tetap. Padahal menghadapi sejumlah kendala. Ditanya soal kebutuhan, ia berharap ada dukungan peningkatan kapasitas dokter hewan flying vet, operasional kegiatan seperti transportasi, obat-obatan, peralatan, biaya laboratorium, konsumsi, serta fasilitas rehabilitasi.
“Kami harap support peralatan, tunjangan obat jika ada penyu yang direhabilitasi. Juga dari pihak lain, karena kadangkala jarak tempuh ke lokasi penanganan lumayan panjang,” ujarnya.
baca juga : Warga Gane Lepaskan Penyu, di Tobelo Satwa Laut Ini Mati Mengenaskan
Permana Yudiarso memperkirakan banyaknya penyu yang terdampar dan ditangani itu karena populasi penyu banyak dibanding populasi megafauna akuatik seperti dugong, paus, dan mamalia laut lain. “Beda dengan penyu, di daerah Selatan Bali populasi Penyu Lekang cukup stabil dari penelitian ahli yang ada,” katanya. Kejadian terdampar ada yang bisa dinekropsi dan tidak.
Flying Vet menurutnya mulai intensif melakukan nekropsi organ tubuh satwa yang terdampar mati. “Frekuensi penanganan mulai intensif. Pada Maret lalu seperti berita Mongabay, penyu di TCEC (Turtle Conservation And Education Center) yang dibedah ditemukan banyak kresek. Dua minggu lalu, ada penyu lain di saluran ususnya ditemukan tali pancing, senar, gumpalan plastik lain,” paparnya.
Ia mendorong upaya penelitian lanjutan. Flying Vet sudah memformalkan aktivitas dalam dua tahun terakhir, karena sebaran dokter spesialisasi penyu terbatas. Kebetulan di komunitas Flying Vet ini banyak ahli di bidang penyu. Penanganan penyu, dari perawatan, sampai nekropsi lebih menguasai.
Yudiarsa mengakui pemerintah masih terbatas dukungannya, dan sarannya ketika komunitas ini dibentuk adalah mengupayakan legalitas. Ia mengapresiasi terbentuknya asosiasi profesi megafauna akuatik. “Kami mendorong lebih banyak dokter hewan dengan minat profesi penyu bisa praktik dan menyebar ke instansi pendidikan lain. Karena minat profesi megafauna dan mamalia ini belum setinggi hewan lain seperti anjing dan kucing,”katanya.
Pihaknya menyiapkan bantuan obat dan transportasi untuk penanganan. Terlebih makin banyaknya penyu yang mati diduga karena timbunan plastik dan benda anorganik lain, sampah di laut ini menurutnya alarm peringatan. “ Terakhir 3 kasus ditemukan mati karena plastik, rata-rata tiap bulan ada satu. Pencemaran plastik sudah mengancam biota laut. Harus melakukan intervensi,” lanjutnya Yudiarsa.
Intervensi minimal pada dua sisi, mengelola sampah di darat agar mencegah terbuang ke laut, serta kelola sampah di laut agar tak termakan satwa. Salah satu caranya, BPSPL Denpasar memberi bantuan kelompok pengelola sampah di Nusa Lembongan, sebuah pulau kecil yang kesulitan mengelola sampahnya karena harus menyeberangkan anorganik ke daratan lain.
Sementara di Indonesia, salah satu kegiatan yang akan direncanakan adalah mengambil limbah alat perikanan yang tak terpakai dan diolah jadi alat tangkap baru. Menurutnya hal ini sudah dilakukan di wilayah Laut Arafura, dimana para nelayan mengumpulkan ghost net tak tertangani di laut. Limbah jaring di lautan dan pesisir dikumpulkan nelayan dan diproses jadi jaring lagi.
menarik dibaca : Venu, Pulau ‘Surga Penyu’ Yang Terancam Hilang Dari Tanah Papua
Penghargaan bagi warga penyelamat penyu
BPSPL Denpasar pada 10 Mei ini memberikan penghargaan kepada Kelompok Nelayan Mekar Sari Bahari Pilihan, Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem atas kepedulian ikut menyelamatkan biota laut yg dilindungi. Salah satu alasannya sebuah video yang merekam antusiasme beberapa nelayan membebaskan seekor penyu yang terjerat bekas jaring nelayan.
Dalam bahasa Bali, warga bersemangat melepas penyu remaja ini menuju laut. “Mih pedalem. Nah mulih, mulih jani.” (kasihan sekali terjerat, nah sekarang kamu sudah bebas, pulang, pulang sekarang ya).
Pesisir Tianyar di Bali Timur ini juga didatangi penyu untuk bertelur. Nelayan merelokasi telur-telurnya ke lokasi pengeraman agar selamat.