- Ansyurdin, Ketua AMAN Sumut menyuarakan pentingnya segera pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Sumut. Rancangan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat sudah diajukan lima tahun lalu, namun hingga kini belum ada titik terang.
- AMAN Sumut menilai, pembangunan pro investasi, menyebabkan kerusakan alam, pencemaran lingkungan skala luas, dan penghancuran hutan adat. Ia sekaligus menyebabkan perampasan ruang hidup bagi masyarakat adat di Sumut.
- Wina Khairina, Peneliti dari Articula mengatakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggunakan pendekatan berbasis hak dalam mediasi konflik agraria di Sumut.
- Dalam rapat terbatas Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Maret lalu, Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi menyampaikan, ada dua masalah pertanahan di Sumut yang perlu putusan cepat agar tak berlarut-larut, yaitu, eks HGU PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dan sengketa lahan di Pangkalan Udara Soewondo, eks Bandara Polonia Medan.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN Sumut) mendesak DPRD dan Pemerintah Sumatera Utara, segera mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (Perda Masyarakat Adat). Rancangan Perda Masyarakat Adat sudah diajukan lima tahun lalu, namun hingga kini belum ada titik terang.
Ansyurdin, Ketua AMAN Sumut menyuarakan pentingnya segera pengesahan Perda Masyarakat Adat di Sumut. Dia mendatangi Kantor Gubernur Sumut di Medan, Senin (7/9/20) bersama organisasi sayap AMAN. Mereka juga mendatangi DPRD Sumut dan Badan Pertanahan Nasional Sumut.
“Perda masyarakat adat Sumut, lima tahun didorong untuk masuk sebagai perda inisiatif melalui DPRD,” katanya.
Di tingkat pusat, DPR juga sedang membahas Rancangan U Undang-undang Masyarakat Adat , memasuki periode ketiga parlemen karena gagal ketok palu dua periode lalu.
Menurut Ansyurdin, melalui perda juga UU, kasus-kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat di Sumut, bisa tuntas.
Kasus agraria melibatkan masyarakat adat antara lain, konflik lahan 5.873 hektar eks HGU yang tak melibatkan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu sebagai pemangku hak.
AMAN Sumut menilai, pembangunan pro investasi, menyebabkan kerusakan alam, pencemaran lingkungan skala luas, dan penghancuran hutan adat. Ia sekaligus menyebabkan perampasan ruang hidup bagi masyarakat adat di Sumut.
Di lapangan, soal lahan ini, katanya, melibatkan banyak aktor, seperti preman, mafia tanah, developer, maupun investor.
Mereka menguasai wilayah masyarakat adat yang tidak mendapatkan perlindungan pemerintah hingga kini.
“Bahkan birokrasi ikut melegitimasi, dengan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat adat, melalui beragam kebijakan sektoral terkait pengelolaan sumber daya alam yang menjauhkan masyarakat adat dari ruang hidupnya,” kata Ansyurdin.
Dia bilang, keluar sertifikat kepemilikan di wilayah adat, tanpa pemberian informasi dan persetujuan dari masyarakat. Kondisi ini, menyebabkan penyingkiran masyarakat termasuk perempuan adat dari sumber-sumber penghidupan mereka.
Harun Noeh, Ketua Dewan AMAN Sumut menyatakan, ada beberapa hal mereka lakukan, seperti menyuarakan dan menyampaikan aspirasi masyarakat adat Sumut kepada pemerintahan pusat dan DPR. Juga sampaikan aspirasi ke DPRD Sumut agar ada perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, termasuk atas sumber daya alam dan agraria. Dia meminta, DPR dan pemerintah segera sahkan Undang-undang Masyarakat Adat.
Terpenting juga, katanya, Gubernur dan DPRD Sumut segera mengesahkan perda, tata cara pengakuan, perlindungan hak dan penetapan masyarakat adat Sumut.
Konflik lahan di Sumatera Utara terus terjadi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Dia juga mendesak Gubernur dan BPN Sumut segera menuntaskan konflik agraria. Dia tegaskan, aparat hentikan upaya kekerasan seperti gusur paksa, intimidasi dan teror kepada masyarakat adat di Sumut.
“Menolak segala bentuk pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat adat, dan mengabaikan masyarakat adat di Sumut,” kata Harun.
Soal kasus Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, dia menyerukan penuntasan konflik agraria dengan PTPN II. Juga mendorong pembentukan lembaga semi otonom khusus mediasi konflik, verifikasi dan validasi masyarakat adat Rakyat Penunggu.
Wina Khairina, Peneliti dari Articula memberikan beberapa catatan terkait konflik agraria di provinsi ini yang tak kunjung reda, termasuk di lahan eks PTPN II.
Pertama, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggunakan pendekatan berbasis hak dalam mediasi konflik agraria di Sumut.
Dalam catatannya, ada dua kasus besar terkait konflik agraria yang melibatkan PTPN II. Pertama, konflik agraria lahan eks HGU seluas 5.873 hektar, melibatkan banyak komunitas adat, petani, dan penggarap. Pemangku hak sudah keluar dari tim B plus sejak 2004.
Sayangnya, upaya redistribusi kepada pemangku hak hingga ditunda-tunda oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Dari upaya redistribusi periode 2018-2019, menunjukkan, lebih banyak peruntukan RTRW dibandingkan distribusi ke masyarakat.
Kedua, redistribusi dengan sistem divestasi, pembayaran ganti rugi kepada negara, dengan 70% nilai jual obyek pajak (NJOP). Penilaian berdasarkan saat ini, katanya, tentu tak berkeadilan bagi petani dan penggarap yang menguasai lahan di lapangan.
Wilayah yang dulu rural, katanya, sudah berkembang selama 18 tahun jadi wilayah urban. Kondisi ini, menyebabkan harga tanah jadi mahal hingga tak mungkin petani dan penggarab mampu membayar.
Di lapangan, petani penggarap terjebak pakai pihak ketiga untuk menebus tanah. Artinya, petani dan penggarap tidak lagi menguasai tanah yang mereka perjuangkan selama ini.
“Bila ini terjadi, tentu cita-cita reforma agraria tidak akan terwujud.”
Pemerintah daerah, kata Wina, perlu segera membuat tim masyarakat adat untuk verifikasi dan validasi.
Konflik agraria lahan HGU aktif di Sumut, sekitar 20.000 hektar dengan lahan ada masyarakat adat, petani, penggarap dan kaum miskin kota. Konflik terjadi, katanya, karena tidak ada kejelasan dalam distribusi 5.873 hektar eks HGU.
Dia merekomendasikan, antara lain, revisi beberapa regulasi terkait reforma agraria, antara lain pemerintah pusat merevisi Perpres Nomor 86/2018 dengan memasukkan HGU BUMN sebagai salah satu obyek tanah obyek reforma agraria (tora).
Lalu, memasukkan masyarakat adat secara jelas sebagai subyek tora, mendorong kelembagaan otonom di bawah koordinasi presiden untuk mediasi konflik agraria.
Sebaiknya, kata Wina, pemerintah pusat dan daerah mendorong kelembagaan otonom, untuk mediasi konflik yang langsung dipimpin presiden.
Perintah presiden
Dalam rapat terbatas Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Maret lalu, Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi menyampaikan konflik pertanahan di provinsi terbesar ketiga republik ini.
Edy menyampaikan, ada dua masalah pertanahan di Sumut yang perlu putusan cepat agar tak berlarut-larut, yaitu, eks HGU PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dan sengketa lahan di Pangkalan Udara Soewondo, eks Bandara Polonia Medan.
Secara khusus, kepala negara dan jajaran membahas percepatan penyelesaian permasalahan pertanahan di Sumut.
Jokowi mengatakan, terkait eks HGU PTPN II, data yang dimiliki ada 5.873 hektar telah dikeluarkan dari HGU, dan status dikuasai langsung negara.
Dari luas itu, 3.104 hektar belum memperoleh izin penghapusbukuan dari Kementerian BUMN, dan telah ditetapkan daftar nominatif pihak yang berhak. Sisanya, 2.768 hektar telah memperoleh izin penghapusbukuan.
Sejalan dengan penyelesaian sengketa itu, dia minta KATR/BPN mengeluarkan kebijakan pembekuan administrasi pertanahan, terhadap tanah eks HGU PTPN II.
Langkah ini diambil untuk menghindari spekulasi tanah. Jadi, tanah eks HGU PTPN II betul-betul dimiliki dan bisa dimanfaatkan rakyat, berdasarkan daftar nominatif atau inventarisasi dan verifikasi ulang Pemerintah Sumut.
Sedangkan sengketa lahan di Pangkalan Udara Soewondo, berdasarkan laporan yang diterima presiden, terdapat 591 hektar tanah eks Bandara Polonia.
Dari luas itu, 302 hektar telah ada sertifikat hak pakai untuk TNI AU, seluas 260 hektar belum ada sertifikat.
Di atas tanah seluas 260 hektar itu ada 5.036 keluarga atau 27.000 warga, termasuk keluarga atau ahli waris penggarap tanah seluas 5,6 hektar, yang memiliki putusan hukum dari Mahkamah Agung.
Presiden meminta, ada penyelesaian adil dengan mempertimbangkan berbagai opsi. “Semua opsi penyelesaian harus dibicarakan dengan baik. Ini perlu segera diputuskan karena bukan saja menyangkut aset-aset TNI AU, juga 27.000 warga yang menempati 260 hektar eks lahan Bandara Polonia,” kata Jokowi.
Presiden minta seluruh kementerian dan lembaga hingga pemerintah daerah tertib administrasi.
Jokowi juga meminta, seluruh kementerian/lembaga, TNI, polri, BUMN, hingga pemerintah daerah menertibkan administrasi tata kelola dan menjaga aset. Pembenahan tata kelola perlu, kata Jokowi, agar tak memunculkan masalah pertanahan berlarut-larut apalagi muncul konflik antarwarga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan BUMN.
Presiden juga khusus meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil, menyusun skema penyelesaian aset tanah bermasalah atau bersengketa.
Presiden minta menteri ATR menyusun skema penyelesaian tanah aset bermasalah atau yang bersengketa yang akan jadi pedoman oleh instansi pusat dan daerah di seluruh Indonesia.
“Saya kira ini akan menjadi contoh kita bersama bagaimana menyelesaikan masalah secepatnya hingga tidak berlarut-larut sampai bertahun tidak kita selesaikan,” kata presiden, seraya bilang, masalah pertanahan terjadi hampir di seluruh wilayah di tanah air.
Keterangan foto utama: Dirman-Rajagukguk, Ketua Adat Tungko Nisolu dari Desa Parsoburan Barat Toba, pada Juli 2019 didakwa merusak hutan yang merupakan wilayah adat mereka dan berkonflik dengan perusahaan HTI. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia