Mongabay.co.id

Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Nelayan kecil yang beroperasi di wilayah perairan pesisir di seluruh Indonesia dijamin akan menjadi prioritas untuk mendapatkan kuota penangkapan ikan secara terukur. Kebijakan tersebut dijadwalkan akan mulai diterapkan pada 2022 ini.

Janji tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini. Menurut dia, nelayan kecil yang bisa mendapatkan kuota adalah mereka yang berstatus nelayan lokal dan dibuktikan dengan identitas kartu tanda penduduk (KTP).

“Mereka adalah yang berdomisili di zona penangkapan ikan terukur,” ungkap dia akhir pekan lalu di Jakarta.

Dengan status KTP dan domisili yang jelas, nelayan kecil akan masuk kelompok prioritas akan mendapatkan kuota penangkapan ikan secara terukur. Itu berarti, semua nelayan kecil di manapun berada, dijamin akan mendapatkan kuota untuk penangkapan ikan.

Muhammad Zaini menerangkan, seluruh kuota yang akan diberikan kepada nelayan kecil sudah melalui rekomendasi kajian yang dilakukan Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) tentang estimasi potensi sumber daya ikan (SDI) dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

“Rekomendasi tersebut menjadi salah satu pertimbangan KKP untuk menetapkan kuota penangkapan ikan. Jadi, Pemerintah menjamin nelayan kecil pasti akan mendapatkan kuota,” tegas dia.

baca : Catatan Akhir Tahun : Era Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap Dimulai pada 2022

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain jaminan akan mendapatkan kuota penangkapan ikan, nelayan kecil juga dijamin tidak akan dikenai pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di zona penangkapan ikan terukur yang menjadi tempat lokasi penangkapan ikan mereka.

Kemudian, nelayan kecil juga akan didorong untuk bisa bergabung ke dalam koperasi yang ada di setiap zona penangkapan ikan masing-masing. Tujuannya, agar mereka bisa ikut memperkuat kelembagaan usaha nelayan dan bisa berdaya saing tinggi.

Muhammad Zaini menambahkan, semua kesempatan tersebut diberikan oleh Pemerintah, karena ada mandat Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam.

Dia menyebutkan, saat ini nelayan kecil yang sudah terdata di seluruh Indonesia jumlahnya mencapai sekitar 2,22 juta orang. Dengan jumlah tersebut, ada proyeksi perputaran ekonomi yang diperkirakan bisa mencapai Rp61,4 triliun per tahun.

“Nelayan kecil juga berkesempatan untuk menjadi awak kapal perikanan skala industri, sehingga terjadi peningkatan pendapatan,” jelas dia.

Lebih detail Muhammad Zaini mengatakan, setelah penerapan skala prioritas kepada nelayan berhasil diselesaikan, kuota tangkapan ikan yang masih ada akan diberikan untuk bukan tujuan komersil, dan kemudian sisanya ditawarkan kepada badan usaha dan koperasi.

Adapun, kuota untuk bukan tujuan komersil adalah termasuk kegiatan penelitian, pendidikan dan latihan (Diklat), kesenangan, dan untuk rekreasi. Sementara, untuk kuota terakhir kepada badan usaha dan koperasi, adalah untuk industri perikanan di Indonesia.

Kebijakan penangkapan ikan secara terukur direncanakan akan dilaksanakan pada enam zona yang ada di 11 WPPNRI. Penetapan zona didasarkan WPPNRI yang telah ditetapkan, di mana dalam pemanfaatan SDI di zona tersebut harus memperhatikan keberadaan kawasan konservasi, serta daerah pemijahan ikan dan pengasuhan ikan.

baca juga : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Muhammad Zaini meyakini, dengan penangkapan ikan terukur kualitas pendataan ikan yang didaratkan akan semakin baik karena langsung ditimbang dan dicatat di pelabuhan perikanan saat itu juga. Namun, kebijakan tersebut juga bukan sekedar pengelompokan wilayah laut saja.

Dengan kebijakan penangkapan terukur, kebiasaan lama subsektor perikanan tangkap yang dikelola dengan input control juga menjadi berubah ke output control. Perubahan tersebut memiliki tujuan satu, agar pengelolaan ekonomi dan ekologi bisa berjalan beriringan.

Akan tetapi, walau diklaim menjadi akan menjadi kebijakan yang memberikan manfaat bagi banyak orang, penangkapan ikan terukur justru dinilai sebaliknya oleh sebagian kalangan. Di antara yang bertentangan itu, adalah Koalisi untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL).

Kelompok massa yang terdiri dari sembilan organisasi non Pemerintah itu mengkritisi kebijakan tersebut yang dinilai hanya untuk memberikan karpet merah bagi korporasi asing. Kebijakan tersebut, dinilai hanya akan memberikan kemudahan bagi kapal eks asing atau kapal asing untuk bisa melaut di Indonesia.

 

Pesta Korporasi

Kebijakan yang akan dijalankan oleh KKP itu, nantinya akan dinaungi Peraturan Pemerintah RI dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang penerapan sistem kontrak di WPPNRI. Tujuan utama dari penerapan kebijakan tersebut, adalah untuk mengumpulkan PNBP hingga mencapai angka minimal Rp12 triliun pada 2024 mendatang.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Keadilan untuk Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, dengan tujuan tersebut, maka kuota kontrak akan ada yang diberikan kepada korporasi asing atau yang mau bermitra dengan perusahaan nasional.

“Nantinya kapal-kapal eks-asing dan kapal ikan asing yang diberi izin atau lisensi termasuk dimigrasikan menjadi kapal ikan berbendera Indonesia, bebas berkeliaran dan mengeruk kekayaan laut Indonesia,” ucap dia dalam keterangan KORAL kepada Mongabay pada pekan lalu.

baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurungkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

 

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, jika memang KKP sudah siap untuk menerapkan kebijakan tersebut, maka seharusnya mereka sudah menghitung tingkat kesiapan, resiko, dan manfaatnya dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dengan kata lain, dia mengingatkan kepada Pemerintah untuk tidak sekedar memanfaatkan potensi ekonomi dan mengabaikan potensi kerusakan alam yang akan muncul pada ekosistem laut dan pesisir. Ancaman itu muncul dari penangkapan berlebih dan penggunaan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan.

“Juga potensi konflik antara nelayan kecil dengan korporasi yang mendapatkan kuota penangkapan ikan,” tegas dia.

Melalui sistem kuota kontrak, Abdi Suhufan menyebut kalau perusahaan akan mendapatkan keistimewaan luar biasa karena sebanyak 66,6 persen kuota sudah dikuasai mereka. Persentase tersebut bisa bertambah hingga 95 persen, karena faktanya koperasi perikanan tidak akan mampu bersaing dengan syarat kontrak yang ditetapkan KKP untuk kebijakan penangkapan ikan terukur.

Sementara, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin menyatakan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur adalah bentuk eksploitasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan yang didorong oleh KKP.

Penilaian itu muncul, karena KKP menerapkan lelang terbuka kepada 4-5 investor per WPPNRI dan menggunakan ikatan kontrak selama 20 tahun. Padahal, sebelum membuat kebijakan tersebut, KKP seharusnya melihat mandat dari UU 7/2016 yang sangat penting.

Jika mandat tersebut sudah dipahami, maka tugas KKP yang sesungguhnya adalah bagaimana UU tersebut bisa dibuatkan peraturan turunan untuk melindungi dan memberdayakan keluarga nelayan di Indonesia. Mandat tersebut belum terlambat untuk dibuat aturan turunannya, setidaknya pada periode 2022 hingga 2024 mendatang.

baca juga : Nelayan Keluhkan Kapal Ikan dari Luar Maluku Utara, KKP Tangkap 13 Kapal di Perairan Halmahera

 

Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

 

Ketimbang menerapkan kebijakan tersebut, KORAL meminta agar KKP lebih dulu menerapkan perizinan berbasis tingkat kepatuhan kapal perikanan, memperkuat kapasitas dalam pengkajian stok ikan dan pengawasan, serta menutup kegiatan penangkapan ikan dari invasi kapal ikan asing.

Kemudian, merujuk pada UU No.7/2016, KKP sebaiknya menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil, dan atau nelayan tradisional. Selain itu, KKP juga harus bisa segera merumuskan kebijakan untuk melindungi wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari ancaman dampak buruk krisis iklim.

Selanjutnya, KKP didesak untuk mengevaluasi sekaligus mencabut izin seluruh proyek pembangunan yang merusak dan menghancurkan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, seperti reklamasi, tambang pasir, tambang migas, dan proyek-proyek lain yang melipatgandakan krisis ekologis di kawasan tersebut.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menerangkan bahwa kebijakan untuk menerapkan kebijakan kuota penangkapan terukur di 11 WPPNRI, maka itu menjelaskan kalau KKP tidak memiliki argumentasi jernih dan obyektif dalam menetapkan sebuah kebijakan.

Pasalnya, KKP harusnya sadar bahwa sebagian besar dari 11 WPPNRI saat ini tingkat pemanfaatannya sudah mengalami full exploited, terutama di WPPNRI 711, 713, dan 718. Kemudian, dalam membagi zona menjadi tiga di 11 WPPNRI, itu juga menegaskan bahwa fokus utama adalah untuk kepentingan ekspor atau industrialisasi.

“Perikanan berbasis adat atau komunitas dan perikanan skala kecil tidak pernah dipertimbangkan dalam rencana kebijakan ini,” tegas dia.

baca juga : Laut Arafura Jadi Panggung Pertunjukan Utama Penangkapan Ikan Terukur

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Adapun, pembagian zona yang dimaksud ada dalam draf penangkapan ikan dengan sistem kontrak dengan membagi 11 WPPNRI ke dalam tiga zona. Rinciannya, ada zona perikanan industri (WPPNRI 572, 573, 711, 715, 716, 717, dan 718), perikanan lokal (572, 712, dan 713), dan perlindungan (714).

Sementara, dalam Kertas Kerja Kebijakan yang diterbitkan oleh KORAL, disebutkan kalau penerapan sistem kuota penangkapan ikan sudah memicu banyak dampak negatif di sejumlah negara yang sudah menerapkannya.

“Kebijakan tersebut juga memicu kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK), sehingga berdampak pada perubahan iklim yang sedang berlangsung sekarang,” demikian pernyataan resmi KORAL.

Semua ancaman yang muncul dan potensi negatif yang sudah dijelaskan di atas, menjadi bagian dari total 12 rekomendasi KORAL yang diterbitkan secara khusus dalam Kertas Kerja Kebijakan. Pada poin 4 dan 5, KORAL juga menolak kegiatan alih muat ikan di tengah laut dan pendaratan hasil tangkapan ikan secara langsung ke pelabuhan yang dimiliki oleh swasta.

 

Exit mobile version