- Ikan wader pari (Rasbora lateristriata) menjadi salah satu ikan yang laris dikonsumsi masyarakat dan bernilai jual tinggi. Namun populasinya terancam punah karena habitat yang rusak
- Tak hanya ancaman penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang mengancam populasi, namun sampah di perairan menyebabkan adanya kandungan mikroplastik dalam tubuh ikan.
- Ikan Wader memiliki kandungan gizi yang tinggi, diantaranya asam lemak omega 3, zat besi, dan protein.
Ikan wader pari (Rasbora lateristriata) merupakan spesies perairan tawar yang memiliki kandungan gizi dan nilai ekonomi yang tinggi. Biasanya ikan ini disajikan sebagai cemilan atau lauk. Jenis ikan kecil ini ternyata memiliki kandungan gizi tinggi untuk mencegah stunting. Sayangnya, populasi ikan air tawar ini berada dalam ancaman kepunahan di alam karena habitat yang rusak.
Pada Mei lalu, Djumanto dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Pertanian UGM membacakan pidatonya dengan judul Tantangan Peningkatan Produksi dan Pelestarian Sumber Daya Ikan Asli Perairan Darat Indonesia. Dia mengatakan bahwa status keberadaan ikan wader dapat kritis jika kualitas habitat ikan wader turun drastis sehingga tidak cocok untuk berkembang biak.
“Spesies ikan yang berstatus rentan yaitu ikan wader bisa menjadi kritis ketika kualitas habitat ikan wader mengalami penurunan yang sangat drastis, sehingga tidak cocok untuk berkembang biak. Demikian halnya, ikan yang berstatus risiko rendah bisa menjadi rentan jika tingkat penangkapan dan gangguan antropogenik lainnya sangat tinggi,” ujar Djumanto.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan ancaman terkait penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti alat tangkap yang menggunakan setrum dan kejut listrik. Kedua, adanya perilaku manusia yang sering melepaskan spesies ikan tertentu yang menyebabkan penurunan populasi ikan mangsa. “Introduksi spesies asing yang invasif bisa menjadi kompetitor atau predator ikan asli.”
Dia mengatakan bahwa perlindungan dan pelestarian terhadap ikan asli dapat dilakukan dengan beberapa cara. Yakni, pemanfaatan ikan terkendali, pembuatan reservat, penebaran atau restocking, pengendalian ikan invasif, domestikasi ikan asli dan modifikasi habitat pemijahan. Djumanto juga menjelaskan bahwa sebagian besar ikan memijah saat musim hujan, saat air melimpah dan kualitas yang baik.
Baca juga: Ikan Batak: Spesies Lokal Danau Toba yang Menolak Punah
Kandungan Gizi Tinggi untuk Cegah Stunting
Meski dianggap sebelah mata, ikan wader memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Sama seperti ikan lainnya, ikan wader memiliki kandungan protein dan kalori yang tinggi. Tentunya ini bisa meningkatkan kekebalan dan pertumbuhan otot pada tubuh kita. Tak hanya itu, ikan wader pun memiliki kandungan asam lemak omega 3 dan zat besi.
Zat besi baik untuk masa pertumbuhan tulang dan mencegah terjadi osteoporosis dan kerusakan pada gigi berlubang. Sedangkan, asam lemak omega 3 bermanfaat bagi kesehatan pada anak, peningkatan fungsi dan perkembangan saraf anak yang mengalami pertumbuhan.
Dalam 100 gram ikan wader, terdapat 0,5 – 2,27 gram asam lemak omega 3 dan 14,88-20 gram kadar protein. Kandungan gizi yang baik inipun membuat ikan wader menjadi salah satu pangan lokal yang baik bagi anak dan ibu hamil, serta mencegah stunting pada anak.
Stunting adalah kondisi seorang balita kekurangan gizi kronis yang menyebabkan pertumbuhannya tidak maksimal. Indonesia termasuk dalam prevalensi stunting terbesar kelima di dunia dan kedua di Asia Tenggara.
Penelitian di Kabupaten Malang (2021) melakukan pengembangan MP-ASI pada balita dengan bahan dasar ikan wader sebagai upaya intervensi mencegah stunting balita. “Tepung ikan wader cocok untuk pembuatan MP-ASI karena memiliki kandungan energi yang tinggi,” ujar Atiqoh Khoirunnisa Maftuch dalam penelitiannya. Tak hanya itu penelitian ini juga menghitung kadar protein, lemak dan karbohidrat.
Sementara itu, penelitian di Kabupaten Aceh Singkil (2022) menyebutkan ada hubungan antara jumlah konsumsi ikan per minggu terhadap status kesehatan, stunting dan tidak stunting. Adapun ikan wader menjadi salah satu ikan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat, selain ikan tongkol dan ikan kembung. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2018) Aceh merupakan provinsi dengan prevalensi urutan ketiga nasional tertinggi secara nasional.
Baca juga: Ikan Nila, Sumber Pangan dan Gizi untuk Cegah Stunting
Secara umum, ikan menjadi sumber protein yang digemari masyarakat dan harganya murah. Namun konsumsi ikan lokal masih terbilang rendah dibandingkan ikan laut. Badan Pangan Dunia mencatat pada 2022 produksi perikanan dunia mencapai 177,8 juta ton terdiri dari ikan hasil tangkapan 93 juta ton dan aquaculture sebanyak 87,5 juta ton. Volume penangkapan ikan di perairan tawar 11,5 juta ton, jauh lebih kecil daripada penangkapan hasil ikan di laut 78,8 juta ton.
Dari 4.811 jenis spesies ikan, 1.246 jenis merupakan ikan jenis ikan tawar, 3.646 jenis ikan laut, endemik 134 jenis. Ikan tawar itu 25,9% proporsi, endemik 2,8% dan bisa menjadi endemik endemik. Ancaman terhadap ikan asli pun masih terus terjadi. Lembaga internasional konservasi alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah melakukan evaluasi terhadap 5000 spesies hewan vertebrata dan menunjukkan bahwa ikan air tawar menjadi kelompok vertebrata yang paling terancam begitu halnya ancaman bagi ikan tawar asli juga sangat tinggi.
Ancaman Mikroplastik
Meski kandungan gizi yang tinggi, ada beberapa ancaman spesies ikan wader di habitatnya. Tak hanya ancaman penangkapan ikan dan spesies asing yang invasif, sampah plastik menjadi masalah terbaru. Beberapa penelitian pun sudah mengungkapkan adanya partikel mikroplastik pada ikan lokal ini.
Tahun 2020, penelitian Nauval Putra Prabowo yang dilakukan di Sungai Code, Yogyakarta menyebutkan bahwa adanya kandungan mikroplastik pada ikan yang ada di sungai tersebut. Diantaranya ikan sapu-sapu, ikan wader dan ikan lele. Padahal ikan tersebut biasa dipancing sebagai konsumsi sehari-hari.
Baca juga: Darurat Mikroplastik pada Sungai di Pulau Jawa
Penelitian tersebut mendata kandungan mikroplastik pada ikan Sapu–sapu sebanyak 207 partikel per kilogram berat ikan, ikan Wader sebanyak 176 partikel/kg dan ikan Lele sebanyak 323 partikel/kg. “Penelitian ini dapat membuktikan bahwa aliran Sungai Code sudah terkontaminasi oleh mikroplastik dan dapat menjadi acuan untuk pemerintah daerah agar memberi edukasi terhadap masyarakat terkait pembuangan sampah di sungai,” tulis penelitian tersebut.
Sama halnya dengan penelitian di Yogyakarta, penelitian Wiwit Subekti (2021) mengidentifikasi adanya kandungan mikroplastik pada jenis ikan wader cakul (Puntius binotatus) di Waduk Selorejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Adapun jenis mikroplastik yang ditemukan diantaranya fragmen, fiber, dan film. “Kelimpahan rata-rata mikroplastik pada sampel ikan sebesar 2,00-6,03 partikel/individu. Artinya bahwa kelimpahan mikroplastik pada air (waduk) lebih tinggi daripada ikan,” tulis penelitian itu.
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa persentase mikroplastik pada air secara keseluruhan sebesar 54,3%, sedangkan pada ikan sebesar 45,7%. Wiwit Subekti juga menyebutkan bahwa penting adanya monitoring pemantauan dan pengendalian pencemaran di perairan tersebut. “Karena ini dapat menimbulkan dampak negatif kepada manusia ataupun biota perairan,” ujarnya.
Baca juga: Sampah Laut Tak Terkendali, Tingkatkan Potensi Mikroplastik pada Tubuh Ikan
Tak hanya mikroplastik, ikan wader yang berada di Sungai Cikaniki, Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan adanya penurunan kualitas air akibat kegiatan ekstraktif maupun non-ekstraktif. “Pencemar logam berat yang terdapat di perairan Sungai Cikaniki terdiri dari timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg). Logam berat yang masuk ke dalam badan air juga dapat terakumulasi di dalam tubuh ikan.
”Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb dan Hg di dalam air masih di bawah nilai ambang batas baku mutu menurut PP No. 22 Tahun 2021, sedangkan kandungan Cd di dalam air Sungai Cikaniki di bawah 0,02 mg/L. Kandungan kadmium pada ikan di bawah 0,4 mg/kg, sedangkan kandungan merkuri dan timbal pada ikan telah melebihi nilai ambang batas baku mutu WHO 1989. Hal ini menunjukkan akumulasi logam berat tertinggi pada ikan ditemukan di daerah pertambangan emas. “Keberadaan logam berat dalam air dan ikan di Sungai Cikaniki perlu diwaspadai karena dapat terakumulasi dalam tubuh manusia.”
***