- Suku laut Air Mas, Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau terpaksa memulung ketika cuaca laut tidak bersahabat.
- Mereka juga mengeluhkan makin sedikitnya ikan tangkapan, bahkan ketika cuaca teduh. Nelayan suku laut kalah saing dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan modern yang menjamur di perairan.
- Apalagi pesisir laut Batam dan Bintan terdampak pembangunan yang masif, salah satunya reklamasi yang menjadi-jadi.
- Suku laut Kota Batam memiliki sejarah panjang, sebagian mereka saat ini terabaikan. Cerita suku laut ini merupakan bagian kedua.
Setelah pertemuan dengan suku laut di perairan Bintan beberapa waktu lalu, saya bertandang lagi ke rumah salah seorang dari mereka yaitu Saikim (40 tahun) pada akhir November 2023 lalu.
Setelah 20 menit perjalanan dengan kapal kayu dari Pelabuhan Telaga Punggur Batam, kami sampai di Kampung Air Mas, Pulau Tanjung Sauh yang terlihat lengang. Rumah-rumah panggung warga bertengger di pesisir pulau. Sebagian besar terbuat dari asbes, ada juga yang dibangun dari susunan papan kayu.
Ketika kapal sudah berlabuh, kami melintasi dermaga kayu yang sudah lapuk menuju ke pemukiman warga suku laut. Kami menuju rumah Ketua RT Air Mas, Asep Wahyudi. Asep merupakan perantau berasal dari Pulau Jawa, kepeduliannya kepada suku laut menjadikannya Ketua RT sudah 10 tahun belakangan.
Terlihat rumah suku laut ini berderet menghadap ke laut. Bagian belakangnya langsung berhadapan dengan hutan belantara. “Disini suku laut semua, hanya saya dan istri yang pendatang, istri orang Alor,” kata Asep membuka cerita. Setidaknya ada sekitar 40 keluarga di Kampung Air Mas ini.
Berbeda dengan pemandangan rumah warga pesisir Batam biasanya, di kampung Suku Laut ini hampir setiap rumah terjemur atap kajang. Kajang adalah jenis atap yang terbuat dari daun nipah atau kelapa yang digunakan nelayan suku laut berteduh di atas kapal saat mengembara atau berkelam. “Mereka baru beberapa minggu ini kembali dari melaut (berkelam),” kata Asep.
Berkelam merupakan istilah suku laut ketika hidup di atas kapal nomaden di laut. Tradisi ini dilakukan mereka turun temurun. Semua kebutuhan hidup dibawa mereka di atas kapal, mulai dari pakaian, makanan, hingga binatang peliharaan.
Sebagian besar warga Suku Laut Air Mas, kata Asep masih menjalankan tradisi berkajang atau mengembara di perairan Bintan dan Batam selama tiga bulan. Setelah beberapa hari kembali ke rumah Air Mas, mereka kembali lagi mengembara.
Namun ketika sudah masuk akhir dan awal tahun, berkajang dihentikan. Angin utara dengan cuaca ekstrem tidak memungkinkan mereka untuk mengembara diri di pesisir laut Batam atau Bintan.
baca : Kisah Pilu Suku Laut Batam: Kalah di Lautan, Dirundung di Daratan
Rumah Bantuan Mulai Lapuk
Kami menuju rumah Saikim yang terbuat dari papan kayu yang mulai lapuk dimakan waktu. “Hati-hati itu (lantai) sudah lapuk,” kata Saikim.
Di sudut rumah Saikim terlihat lantai rumahnya lebih tinggi. Beberapa barang menumpuk di atas lantai tersebut, terutama barang-barang yang rentan basah. “Itu sengaja ditinggikan, kadang air laut sampai ke atas lantai,” katanya. Air laut semakin hari semakin naik. Bahkan sudah merendam lantai rumahnya dan menyebabkan lapuk.
Terlihat alat pancing rawai yang disimpan di dalam sebuah drum. Ribuan mata pancing tertancap di sekeliling drum. Begitu juga atap kajang disimpannya di dalam rumah. “Kalau melaut kami sering pakai rawai ini,” kata Ita, suami Saikim bersama dua orang anak mereka Noel dan Eka.
Saikim mengatakan, dirinya baru beberapa minggu ini pulang dari berkajang. Pasalnya angin utara sudah mulai datang sehingga sulit melaut.
Jika berkajang, kedua anaknya juga ikut. “Mereka tidak sekolah, karena seperti saya bilang, takut kena omongan kawannya (bullying),” katanya.
Ita mengatakan, saat ini hasil melaut tidak banyak. Penyebabnya mulai dari cuaca yang tidak menentu, hingga alat tangkap mereka yang kalah saing dengan kapal-kapal besar. “Kadang dapat, kadang tidak,” kata Ita.
Biasanya dalam satu hari mereka hanya dapat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Itu semua tidak cukup untuk menghidupi keluarga dengan dua orang anak.
Di tengah kondisi laut yang tidak menghasilkan, Saikim dan keluarga harus segera memperbaiki rumahnya yang sudah mulai roboh. Ia bahkan sempat mengambil keputusan untuk pindah dan tinggal di atas kapal, berkajang seperti nenek moyang mereka dahulu.
Tetapi kondisi orang tuanya yang sudah berumur 100 tahun tidak memungkinkannya nomaden di laut. “Apalagi cuaca tidak menentu seperti ini, kalau bawa orang tua itu jadi bahaya, bagaimana kalau tiba-tiba badai di laut datang nanti,” katanya.
baca juga : Ketika Suku Laut Tidak Lagi di Laut. Mengapa?
Tidak hanya Saikim, beberapa nelayan suku laut lainnya juga mengeluhkan hasil tangkapan mereka berkurang. Penyebab lainnya karena, pesisir Batam dan Bintan sudah mulai rusak akibat pembangunan reklamasi. “Misalnya di Lobam Bintan itu, kami tidak boleh lagi mancing disana,” kata Kaca, nelayan suku laut lainnya.
Ditengah kondisi Saikim dan perempuan suku laut lainnya tidak hanya berdiam diri dirumah saat angin utara melanda. Mereka memutuskan ikut menjadi pemulung barang bekas di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Telaga Punggur, Kota Batam.
Menjadi Pemulung
Tiga hari setelah bertemu Saikim, saya memutuskan melihat bagaimana perempuan suku laut menopang hidup dengan memulung di TPA Telaga Punggur. Tepat, Minggu, (19/10/2023) pertemuan ketiga dengan Saikim berlangsung di tumpukan sampah itu.
Beberapa pemulun termasuk Sakim, dan Bunga, tetangganya mengerumuni sampah yang baru saja diturunkan dari truk. Mereka mengurai sampah dengan kail. Setiap barang yang menurut mereka layak dimasukan ke dalam karung yang disandang. Perlahan karung itu penuh terisi.
“Ini ada macam-macam isinya, lebih banyak kita ambil makanan, seperti buah dan minuman kaleng, kalau baju sudah banyak,” kata Saikim saat duduk menepi istirahat sejenak.
Saikim menunjukan hasil memulungnya, tidak hanya barang bekas, tetapi juga ada satu kantong anggur merah. “Nanti dicuci dulu sebelum dimakan,” katanya.
Aktivitas memulung tidak hanya dilakukan Saikim atau Bunga, hampir semua perempuan suku laut Air Mas melakukan hal yang sama. “Kami tidak berdua, yang lain sedang mengambil bantuan di bawah (posko TPA Punggur),” kata Saikim.
baca juga : Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]
Memulung sudah menjadi aktivitas rutin yang sudah berlangsung beberapa tahun belakangan. Terutama ketika angin utara melanda perairan Kepulauan Riau. “Biasanya setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu, hari ini (Minggu) kebetulan mengambil bantuan, jadi sekalian memulung,” katanya.
Bukan tanpa modal, perempuan suku laut ini datang ke TPA dengan biaya Rp40 ribu sekali berangkat. Masing-masing, Rp20 ribu untuk sewa naik kapal pulang pergi dari Air Mas ke Pulau Batam, dan Rp20 ribu lagi untuk ongkos naik lori dari pelabuhan Punggur Dalam ke TPA Telaga Punggur.
Beberapa saat setelah Saikim dan Bunga bercerita, truk yang mengangkut belasan perempuan suku laut lainnya datang menjemput. Karung-karung hasil memulung tadi, dinaikan mereka ke atas truk. Setelah itu mereka berlalu kembali ke Kampung Air Mas. (***)