Mongabay.co.id

Seberapa Dalam Tiga Calon Presiden Pahami Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Isu kelautan dan perikanan masih menjadi isu yang jarang diungkap lebih jauh oleh tiga pasang calon Presiden dan Wakil Presiden RI yang akan bertarung pada Pemilihan Umum pada 14 Februari 2024 nanti. Ketiganya hanya menyinggung sedikit saja berkaitan dengan isu tersebut.

Meski begitu, ketiga pasangan calon (Paslon) tetap diberikan apresiasi karena sudah berani mengungkap isu kelautan dan perikanan pada panggung debat Calon Presiden (Capres). Setidaknya, isu pertahanan dan keamanan dari wilayah laut sudah mulai dilihat dari berbagai aspek.

Hal itu diungkapkan  Greenpeace Indonesia yang menyoroti kampanye tersebut dengan sejumlah catatan. Terutama, tiga isu yang disinggung oleh ketiga Capres yang berkaitan dengan perjanjian internasional, peran Indonesia di ASEAN, dan penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Catatan pertama, ketiga Capres sama-sama memandang penting tentang peran Indonesia dalam sejumlah internasional. Tetapi, ketiganya sama-sama kurang memperhatikan peran penting tersebut dan membungkusnya dengan cara masing-masing.

Capres nomor tiga misalnya, dia tidak banyak menyinggung soal peran penting Indonesia dalam perjanjian internasional. Hal tersebut sedikit berbeda dengan Capres nomor satu yang memandang bahwa Indonesia harus jadi pelaku utama dan penentu arah perdamaian global.

Sementara Capres nomor dua, saat debat ketiga cenderung bermain aman dengan menggunakan kalimat seperti menjalin politik tetangga baik sebagai ekspresi atas pandangan peran Indonesia pada perjanjian internasional.

Ada pun, Capres dan Cawapres nomor satu adalah pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, nomor dua adalah pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, dan nomor tiga adalah Ganjar Pranowo bersama Mahfud MD.

baca : Pemilu 2024: Visi Misi Capres-Cawapres Belum Berpihak pada Konservasi Laut Berbasis Masyarakat

 

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Ilustrasi : Hidayaturohman

 

Greenpeace Indonesia menilai, pernyataan yang diungkapkan Prabowo Subianto menjelaskan bahwa dia akan meneruskan tradisi politik luar negeri yang bebas aktif, non blok, dan tidak memihak. Prabowo menilai, hubungan baik akan mengamankan kepentingan nasional.

“Seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak,” ucap Prabowo pada debat ketiga.

Selain Prabowo, dua Capres lain juga berpandangan hampir sama, dan tidak melakukan elaborasi lebih jauh. Padahal, Greenpeace Indonesia menilai dengan ikut dan turut melaksanakan berbagai perjanjian internasional yang sejalan dengan kepentingan nasional, maka Indonesia akan mendapatkan manfaatnya.

Dengan ikut terlibat, Indonesia bisa berkontribusi secara nyata dan terukur atas upaya menjaga perdamaian dunia dan kelestarian bumi. Di antara perjanjian internasional itu, salah satunya adalah Perlindungan dan Pemanfaatan Berkelanjutan Keanekaragaman Hayati di Perairan Laut Internasional (BBNJ).

Perjanjian terbaru yang ada di bawah Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) itu, fokus melaksanakan penguatan upaya konservasi keaneakaragaman hayati di laut lepas (global ocean treaty). Saat ini, Indonesia sudah menandatangani perjanjian tersebut bersama 83 negara lain di dunia.

Greenpeace Indonesia mendorong agar perjanjian BBNJ segera dilakukan ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan kemudian diikuti dengan rencana penerapannya. Upaya tersebut menjadi penting, karena Indonesia adalah salah satu pemilik garis pantai terpanjang di dunia.

Hal tersebut sudah diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sesuai penandatanganan dokumen perjanjian BBNJ pada pertengahan 2023. Dia yakin, dengan terlibat langsung, Indonesia bisa ikut bergerak dan mengatasi segala persoalan yang terjadi di laut lepas.

“Laut adalah ekosistem yang saling terhubung, sehingga semua hal yang terjadi di laut lepas dan sekitarnya akan berdampak bagi Indonesia,” ungkap dia.

baca juga : Jelang Debat Capres: Bagaimana Keseriusan Para Kandidat untuk Reforma Agraria?

 

Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto : shutterstock

 

Perjanjian Internasional

Kampanye tentang isu kelautan dan perikanan yang masih sangat sedikit, menjadi hal yang seharusnya tidak terjadi. Hal itu, karena siapa pun kandidat yang akan menjadi Presiden RI, harus bisa memastikan Indonesia terlibat dalam setiap pembahasan, perumusan, dan pelaksanaan perjanjian-perjanjian internasional.

“Khususnya yang berkaitan dengan perlindungan manusia dan lingkungan hidup,” demikian menurut Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia Arifsyah Nasution.

Menurut dia, dengan berpartisipasi langsung dalam berbagai perjanjian lintas negara, maka Indonesia akan menunjukkan konsistensi dan eksistensi sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk menyelesaikan beragam permasalahan global.

Bentuk partisipasi itu, salah satunya adalah ikut aktif pada perjanjian BBNJ. Perjanjian tersebut harus segera dilakukan ratifikasi, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan dua per tiga wilayahnya adalah laut.

Melalui ratifikasi, Indonesia akan bisa aktif memimpin upaya pelaksanaannya dan menjadi contoh bagi negara lain yang ikut meratifikasi. Khususnya, negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik.

Hal lain yang juga menjadi sorotan dari pernyataan Capres saat debat terakhir, adalah tentang permasalahan yang terjadi di lingkup ASEAN. Sorotan berfokus pada beragam konflik dan peran dari kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

Capres nomor satu contohnya, saat debat dia mengkritisi jawaban dari Capres nomor tiga yang sama sekali tidak menyebut nama ASEAN. Kritik yang dilayangkan Anies Baswedan kepada Ganjar Pranowo itu menyebut bahwa Indonesia selama ini hanya menjadi penonton dan penyelenggara kegiatan-kegiatan besar.

Padahal, contoh kasus dalam konflik Laut Cina Selatan, kunci penyelesaiannya adalah ASEAN. Seharusnya, sebagai negara besar dan sekaligus pendiri ASEAN, Indonesia harus menjadi pemimpin ASEAN yang dominan. Bukan sekadar menggelar kegiatan pertemuan-pertemuan saja.

baca juga : Apa Keuntungan Konservasi di Laut Lepas bagi Indonesia?

 

Bendera merah putih berkibar di atas kapal nelayan Natuna Utara. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Mendapat kritikan seperti itu, Ganjar mengakui bahwa ASEAN memang masih menjadi sesuatu yang rumit. Saat pengambilan keputusan misalnya, Declaration of Conduct (DoC) atau Code of Conduct (CoC) bisa menjadi panduan, namun sampai sekarang masih belum rampung dibahas.

Dalam penilaian dia, persoalan tersebut akan terus memasung ASEAN di masa akan datang. Solusi paling tepat, adalah dengan melakukan revitalisasi, sehingga proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan bulat.

Juru Kampanye Strategi Legal dan Politik Regional Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia Rayhan Dudayev memberikan tanggapan tentang pernyataan yang dikeluarkan para Capres. Menurut dia, mereka seharusnya berani berkomitmen untuk terus memperkuat pertahanan, terutama menjaga kedaulatan sumber daya alam di laut Indonesia yang beririsan dengan negara ASEAN.

Komitmen itu, terutama karena Capres nomor satu, Anies Baswedan sudah menyinggung tentang wilayah Indonesia yang sering menjadi lokasi kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF), dan pasir laut.

“Apa yang dikatakan Anies, memang cukup mengkhawatirkan. Dugaan praktik pencurian ikan oleh kapal berbendera asing beberapa waktu lalu cukup menyita perhatian publik,” terang dia.

Pernyataan Anies tersebut perlu didorong menjadi sebuah komitmen, karena saat ini ada banyak masalah pada sektor kelautan dan perikanan di kawasan Asia Tenggara. Situasi itu membuat Presiden yang akan terpilih nanti wajib menyiapkan strategi jangka pendek untuk mengatasi persoalan tersebut.

Solusi jangka pendek tersebut, Presiden harus berani mengambil langkah tegas dan konkret untuk mengatasi persoalan TPPO dan aktivitas perikanan ilegal. Sementara, untuk solusi jangka panjang, Presiden harus menyiapkan visi kebijakan luar negeri yang bisa menyelesaikan persoalan hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan laut lintas negara.

Menurut Rayhan Dudayev, persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, bisa diselesaikan melalui peran aktif Indonesia dalam pengembangan rencana ASEAN Community Vision 2045. Rencana tersebut mengintegrasikan strategi ekonomi dengan perlindungan HAM, dan mencegah kerusakan lingkungan.

baca juga : Belum Ada Kepastian Nasib Awak Kapal Perikanan di ASEAN

 

Setelah 20 hari melaut, ABKKM Bandar Nelayan membongkar hasil tangkapan ikan tuna beku di Pelabuhan Benoa, Bali, Februari 2017. Foto : shutterstock

 

Perdagangan Orang

Persoalan lain yang juga menjadi sorotan, adalah pemberantasan TPPO yang dinilai masih sulit dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pandangan tersebut diungkapkan oleh Ganjar Pranowo, yang diikuti rencana membuat satuan baru di setiap Kepolisian Daerah (Polda) yang khusus menangani TPPO.

Greenpeace Indonesia menilai, fokus yang diungkapkan Ganjar tersebut bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Mengingat, Cawapresnya Mahfud MD yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan adalah tokoh sentral reorganisasi Satgas TPPO.

Baik Rayhan Dudayev, atau pun Arifsyah Nasution sama-sama mengakui bahwa persoalan TPPO adalah hal yang kompleks, karena para korban berdatangan dari beragam latar belakang pekerjaan, salah satunya adalah profesi awak kapal perikanan (AKP).

Pada 2019 dan 2021, Greenpeace Asia Tenggara dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pernah membeberkan fakta bahwa AKP migran yang menjadi korban perbudakan di atas kapal perikanan, juga adalah korban TPPO.

Rayhan menyebut, TPPO adalah salah satu kasus kejahatan luar biasa lintas negara paling akut. Oleh karena itu, siapa pun yang akan menjadi Presiden RI nanti, maka dia harus bisa menyelesaikan masalah ini melalui kerja sama dengan negara-negara lain.

“Sejak 2014, Greenpeace Asia Tenggara telah bekerja sama dengan pegiat Hak Asasi Manusia dan serikat pekerja untuk menekankan pelindungan terhadap nelayan migran guna mengakhiri perbudakan modern di atas laut dan praktik perdagangan orang,” kata Arifsyah.

Selain Greenpeace Indonesia, kritikan juga datang dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Mereka menilai kalau ketiga Capres masih belum menyebutkan narasi tentang perlindungan kepada nelayan yang mendominasi wilayah pesisir.

KIARA kemudian melakukan reviu terhadap tiga dokumen visi dan misi dari ketiga pasangan calon kandidat tersebut. Hasilnya, ketiga kandidat masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru merujuk apa yang sudah dilakukan Pemerintah saat ini.

baca juga : Benarkah Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang Masih Lemah?

 

Saat cuaca buruk awal Maret 2020, sebagian nelayan di Tuban, Jatim, memilih untuk memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Namun, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menilai, jika yang dibicarakan adalah ekonomi biru, maka rujukannya bukan yang dijalankan Pemerintah saat ini. Menurutnya, Pemerintah menjalankan ekonomi biru dengan cara pikir lembaga keuangan global.

“Bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” ungkap dia.

Berdasarkan reviu terhadap dokumen visi dan misi ketiga Paslon, ada kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Hal itu, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan.

Menurut dia, kondisi tersebut jika dibiarkan, akan mengulangi kondisi serupa di bawah rezim Presiden Joko Widodo. Selama 10 tahun memimpin Indonesia, pemerintahan Joko Widodo sangat minim memberi pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Hal ini berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut,” terang dia.

Lebih lanjut, Susan Herawati mengatakan bahwa dari reviu juga diketahui kalau ada kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pasca-produksi.

Fakta tersebut menjadi catatan yang harus dikoreksi, karena Pemerintah saat ini juga salah dalam menilai perempuan nelayan. Ada perbedaan data antara Pemerintah dengan KIARA, di mana jumlahnya sebanyak 3,6 juta orang dan 3,9 juta orang. Sementara, perempuan nelayan yang sudah menerima kartu Kusuka jumlahnya hanya 15 ribu orang.

Menurut dia, itu menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan masih sangat minim. Namun, potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat Capres dan Cawapres dalam dokumen visi misi mereka.

baca juga : Hari Nelayan: Nasib Perempuan Nelayan yang masih Kelam

 

Sejumlah nelayan perempuan mengumpulkan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Catatan berikutnya, dokumen visi dan misi tiga Paslon juga menegaskan bahwa cara pandang mereka terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih hanya sebagai obyek yang menjadi pintu gerbang masuknya industri. Baik itu masuk melalui konsep ekonomi biru, atau industri sumber daya konvensional.

Susan menganalisis, ketiga Paslon masih terjebak dalam konsep ekstraktivisme dan bias darat saat melihat pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka belum bisa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal, dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada di dalamnya.

“Kami melihat, visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif,” jelas dia.

Dia menyimpulkan, ketiga Paslon masih belum paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010. Merujuk putusan itu, masyarakat pesisir harusnya memiliki hak untuk mengakses, hak untuk mengontrol dan memanfaatkan, hak untuk menjalankan tradisi nelayan yang telah dijalani dari generasi ke generasi.

“Serta hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat,” pungkas dia. (***)

 

Exit mobile version