- Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah perbuatan yang tidak dibenarkan secara hukum, ataupun norma di masyarakat. Perbuatan tersebut membahayakan banyak hal, termasuk nyawa dari calon korban TPPO
- Perbuatan TPPO juga banyak ditemukan pada usaha perikanan tangkap, utamanya pada kapal penangkap ikan yang ada di luar negeri. Biasanya, TPPO terjadi dengan merekrut tenaga kerja dari negara lain, seperti Indonesia
- Korban TPPO yang berasal dari Indonesia, banyak mengalami kerugian secara mental dan material. Mereka seperti itu, karena mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan saat berada di kapal, dan juga karena mereka adalah korban perdagangan orang
- Namun sayangnya, penegakan hukum pada kasus TPPO di Indonesia masih belum berjalan baik hingga sekarang. Itu terbukti dengan masih banyaknya pelaporan kasus yang masuk ke kepolisian dan statusnya masih mandek atau berjalan di tempat
Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi provinsi tertinggi dengan laporan pengaduan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang diterima Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Pelaporan itu jumlahnya mencapai 461 kasus dan masuk selama kurun waktu tiga tahun terakhir.
Di belakang NTB, tercatat ada nama provinsi Jawa Barat dengan 273 kasus, Jawa Timur dengan 110 kasus, Jawa Tengah dengan 90 kasus, dan provinsi-provinsi lain dengan jumlah 25 kasus. Catatan yang dibuat SBMI itu memperjelas bahwa kasus TPPO sebagian besar masih terjadi di pulau Jawa.
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno memaparkan, berdasarkan tujuan negara dari kasus TPPO yang berhasil diolah timnya, Polandia menjadi negara paling banyak dituju dalam tiga tahun terakhir. Jumlahnya, tercatat mencapai 364 orang yang menjadi korban TPPO ke negara tersebut.
Kemudian, ada juga Arab Saudi yang menelan korban TPPO hingga 220 orang, Kamboja dengan 212 orang korban TPPO, Malaysia dengan 105 orang korban TPPO, Taiwan dengan 92 orang korban TPPO, dan korban lain yang belum terdata dan bekerja di 38 negara.
Secara keseluruhan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir SBMI melakukan dokumentasi, tercatat sebanyak 1.343 kasus TPPO yang sudah masuk. Dari jumlah tersebut, semuanya sudah memenuhi tiga unsur TPPO, yaitu proses, cara, dan tujuan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 153 kasus TPPO diketahui melibatkan para pekerja migran Indonesia (PMI) yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP). Selama tiga tahun tersebut, SBMI menganalisis kalau korban paling banyak berasal dari kelompok jenis kelamin pria.
baca : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?
Hariyanto Suwarno menerangkan, dari semua kasus yang ditangani oleh SBMI, sebanyak 17 laporan pengaduan kepolisian saat ini diketahui mandek. Padahal, semua laporan tersebut melibatkan korban sebanyak 108 orang.
Kemandekan tersebut menegaskan bahwa ada sikap lambat dan respon yang rendah dari pihak kepolisian saat menerima aduan kasus TPPO. Pun, sampai sekarang kasus-kasus yang mandek tersebut belum mengalami perkembangan berarti.
“Banyaknya kasus yang mandek disebabkan oleh kurangnya kapasitas kepolisian dalam memahami kerangka hukum TPPO, yang menyebabkan kurang profesionalnya penegak hukum dalam menangani kasus. Juga, karena belum adanya aturan teknis di kepolisian untuk menangani TPPO,” jelas dia, pekan lalu.
Selain kasus yang mandek, SBMI mencatat ada juga kasus TPPO yang berhasil diproses secara hukum, namun mendapatkan hukuman yang tidak adil. Menurut dia, hal tersebut bisa terjadi karena ada peran hakim dan jaksa yang terlibat.
“Masih terdapat banyak masalah dalam penegakan hukum,” tambah dia.
Penyebab terjadinya persoalan dalam penegakan hukum, adalah karena selama ini para penegak hukum sering kali menyandingkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan aturan yang lain.
Menurut Hariyanto Suwarno, peraturan lain yang dimaksud, adalah UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Penyandingan tersebut, dilakukan para penegak hukum tanpa alasan yang jelas dan kuat.
Dia menilai, penyandingan tersebut bukannya memperkuat proses hukum, namun justru sebaliknya malah membuat proses menjadi lemah. Pelemahan itu terjadi, karena penegak hukum lebih memilih untuk menggunakan UU 18/2017, dengan pertimbangan proses pembuktian jauh lebih mudah dibandingkan UU 21/2007.
baca juga : Aparat Penegak Hukum Masih Tumpul pada Kasus Perbudakan Modern di Laut?
Pelemahan Hukum
Penanda bahwa pelemahan terjadi, adalah karena UU 18/2017 juga memberikan hukuman kepada pelaku TPPO lebih ringan, karena tidak ada ancaman hukuman minimal. Juga, UU tersebut tidak menyebutkan kewajiban restitusi bagi pelaku dan itu sangat merugikan korban TPPO.
Selama kurun waktu tiga tahun juga, SBMI menganalisis bahwa penyintas dari kasus TPPO tidak mendapatkan hak restitusi. Totalnya, ada 11 putusan pengadilan dengan hak restitusi yang hingga saat ini masih belum dieksekusi, dengan total nilai sebesar Rp4.227.385.259.
“Lemahnya pelaksanaan hak restitusi ini, disebabkan peran kepolisian dan kejaksaan belum menjalankan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum yang berwenang melakukan pemblokiran, penyitaan, dan pelelangan terhadap aset pelaku,” jelas dia.
Di sisi lain, walau Kepolisian Republik Indonesia dan sudah memiliki Satuan Tugas (Satgas) TPPO dan berhasil menyelamatkan 2.191 korban, namun SBMI memandang bahwa itu menjadi penegas tidak ada komitmen untuk pencegahan dan pemberantasan TPPO.
Kata Hariyanto Suwarno, semua korban yang diungkap dari 719 kasus dalam kurun waktu 5 Juni-26 Juli 2023 itu, memang menjadi bukti kinerja bagus Polri. Namun, tidak seharusnya proses penegakan hukum dilakukan berdasarkan momentum saja.
Karenanya, meski kasus tersebut bisa mengungkap 860 tersangka, penegakan hukum yang dilakukan Polri seharusnya bisa memenuhi prinsip fair trial dan tidak boleh by design. Kemudian, penegakan hukum juga harus berfokus pada korban, agar terlindungi dan hak mereka terpenuhi.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?
Analisis tersebut, menjelaskan bahwa pencegahan dan penanganan kasus TPPO di Indonesia belum mengalami perbaikan berarti. Meskipun menurut Amerika Serikat, Indonesia sudah mengalami kenaikan tingkat dalam menangani TPPO.
Penilaian AS tersebut diterbitkan pada pertengahan Juni 2023 melalui Departemen Luar Negeri mereka. Laporan tersebut berjudul Trafficking in Persons (TIPs) Report dan salah satunya membahas penilaian untuk Indonesia yang diberikan status Tier 2 dari sebelumnya Tier 2 watchlist.
Bagi SBMI, apa yang diberikan AS itu belum layak diterima Indonesia. Pasalnya, sampai saat ini penegakan hukum masih lemah dan akses korban TPPO terhadap keadilan masih mengalami kesulitan. Salah satu tandanya, masih banyak kasus mandek di kepolisian.
Tanda tersebut sudah dijelaskan di paragraf atas. Pun, demikian dengan hak restitusi korban yang dijelaskan di atas dengan tegas. Menurut SBMI, Polri dinilai gagal dalam penegakan hukum yang sistematis, karena prosesnya terburu-buru.
Fakta tersebut semakin memperlihatkan bahwa Polri tak hanya gagal dalam penegakan hukum terhadap kasus TPPO saja, namun juga lemah dalam melaksanakan proses penegakan hukum. Sebabnya, karena pelaku yang ditangkap mayoritas sudah melakukan berulang kali TPPO.
“Permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam konteks pemberantasan perdagangan orang tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun,” ungkap Hariyanto Suwarno.
Dia menyebutkan, dari analisis laporan TIPs 2020 sampai 2023, kendala yang dialami Pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum TPPO adalah anggaran, kapasitas aparat penegak hukum, penyedia layanan, dan adanya keterlibatan oknum yang diduga melakukan korupsi.
baca juga : Membangun Komitmen Banyak Pihak untuk Melindungi AKP dengan Penuh
Rekomendasi
Setelah menganalisis semua yang terjadi, SBMI mengeluarkan rekomendasi kepada sejumlah pihak, termasuk Presiden RI yang menjadi panglima tertinggi di Indonesia. Kepada dia, SBMI meminta agar Presiden memerintahkan kepada Kementerian/Lembaga/Badan Negara untuk secara serius mencegah, melindungi, dan menangani kasus TPPO tidak hanya berdasarkan momentum.
Kemudian, meminta Presiden untuk menjadikan agenda Keketuaan ASEAN sebagai bagian dari proses untuk memaksimalkan kerja sama antar negara. Tujuannya, untuk mencegah, melindungi, dan menghukum pelaku TPPO.
Lebih khusus, SBMI meminta Kementerian Perhubungan RI untuk menghentikan sosialisasi dan penerbitan Surat Izin Usaha Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dengan mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Kemudian, Kemenhub RI juga bisa menginstruksikan kepada pemilik SIUPPAK untuk bisa melaksanakan konversi SIUPPAK ke Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).
Kepada Kementerian Ketenagakerjaan RI, SBMI meminta agar segera diterbitkan semua aturan turunan UU 17/2017 sebagaimana yang telah diagendakan sebelumnya. Juga, membuat mekanisme penyelesaian sengketa dalam pemenuhan hak PMI dan teknis pelindungan terhadap PMI yang menghadapi masalah.
Kepada lembaga penegak hukum, SBMI meminta semuanya bisa bekerja dengan tegas, dan memperkuat penanganan kasus TPPO melalui penerbitan regulasi yang dibutuhkan. Juga, memperkuat aparat penegak hukum yang melakukan tindakan langsung.
Upaya untuk memberi perlindungan kepada PMI yang berprofesi sebagai AKP, dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Belum lama ini, Gubernur Sulut Olly Dondokambey menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 249 Tahun 2023.
Surat tersebut berisi tentang pembentukan forum daerah perlindungan pekerja perikanan dan nelayan (Forda P3N) yang dipimpin Sekretaris Daerah Provinsi Sulut sebagai Ketua Forum Daerah untuk periode 2023-2026.
Forda tersebut memasukkan unsur pemerintah daerah, perwakilan pemerintah pusat, serikat pekerja, NGO, pelaku usaha, perguruan tinggi dan media. Unsur yang terlibat di dalamnya, adalah Kelompok Kerja (Pokja) 1 tentang Penguatan Regulasi, Pokja II tentang Pengawasan Bersama, dan Pokja III tentang Edukasi dan Kampanye.
Selain memuat struktur Pokja, beleid tersebut juga memuat Rencana Aksi Daerah yang akan dilaksanakan dalam tiga tahun ke depan oleh Kelompok Kerja Forda. Hal tersebut diungkapkan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey.
“Kita perlu melakukan upaya yang terintegratif dalam meliputi pelindungan sosial, ekonomi dan hukum kepada pekerja perikanan dan nelayan. Kita perlu memberikan pelindungan kepada pekerja perikanan dan nelayan, dalam dan luar negeri secara terpadu dan berkesinambungan,” kata dia.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohamad Abdi Suhufan berpendapat, pembentukan Forda P3N merupakan langkah maju dan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya.
Penambahan unsur nelayan dalam keputusan ini didasari bahwa regulasi pelindungan nelayan belum tersedia di Sulawesi Utara, dan rantai pasok ikan dikontribusikan oleh nelayan kecil dan kapal besar skala industri.
Rantai pasok ikan tuna di Sulut dihasilkan oleh kapal industri, nelayan kecil, dan pekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI). Dengan demikian, pelindungan pada pekerja pada rantai tersebut harus dilihat secara utuh dan intervensi dengan perlindungan yang optimal.
“Pada tahun 2020, Gubernur Sulawesi Utara telah membentuk Forum Daerah Perlindungan Awak Kapal Perikanan dan kini berubah dengan memasukkan unsur nelayan dalam SK yang baru,” kata dia.
Kata dia, karakteristik dan resiko kerja yang dihadapi pekerja pada kapal perikanan dan nelayan kecil nyaris sama, yaitu terkait ancaman keselamatan, kesehatan kerja di laut yang sangat besar. Melalui Forda P3N, usaha perikanan tangkap dan pengolahan ikan bisa memenuhi standar ketenagakerjaan dan hak asasi manusia.