Mongabay.co.id

Apakah Pembangunan Tanggul Laut di Teluk Jakarta Sudah Tepat?

 

Rencana pembangunan tanggul pantai dan tanggul laut (giant sea wall) di Teluk Jakarta dinilai tidak akan menjadi solusi bagi daratan Jakarta yang selama ini mendapat kiriman banjir rob diakibatkan permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut.

Proyek tersebut, justru dinilai hanya akan menjadi pembuka jalan baru bagi beragam masalah berikutnya seperti isu sosial ekonomi dan teknis lingkungan. Demikian analisis yang dipublikasikan Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) belum lama ini.

Menurut EKOMARIN, proyek tersebut tidak akan bisa menyelesaikan masalah kritis yang terjadi di Teluk Jakarta. Melainkan, hanya akan menjadi solusi palsu dengan cara mengeruk keuntungan secara ekonomi di kawasan pesisir itu.

“Dalam kertas posisi kami melihat enam catatan kritis terhadap proyek strategis nasional tersebut,” ungkap Koordinator Nasional EKOMARIN Marthin Hadiwinata.

Alasan pertama kenapa proyek bernama National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) itu dinilai menjadi solusi pertama, adalah karena isu serius tentang penurunan permukaan tanah di wilayah daratan Jakarta.

Fenomena land subsidence tersebut masih terjadi secara bervariasi dengan rerata yang sama antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. EKOMARIN menilai, persoalan tersebut harus dicari penyebabnya terlebih dahulu dan kemudian diselesaikan melalui solusi yang pas.

Perlunya mencari penyebab dan solusi sekaligus, adalah karena Pemerintah Indonesia masih menggunakan data dari 2014, di mana rerata penurunan permukaan tanah masih 7,5 cm per tahun.

“Sehingga 40 persen elevasi daratan di Jakarta lebih rendah daripada muka air laut pasang,” ungkapnya.

baca : Dua Tahun Tanpa Kabar, Proyek NCICD Teluk Jakarta Akhirnya Berlanjut Lagi

 

Pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta pada proyek NCICD. Foto : setkab go.id

 

Namun demikian, dia mengatakan kalau kasus penurunan muka tanah bisa diperbaiki dengan cara menghentikan konsumsi air tanah. Cara tersebut sudah dilakukan oleh Tokyo (Jepang) yang memulainya pada 1950 hingga 1970, dan itu berhasil menurunkan rerata permukaan tanah.

Alasan kedua kenapa NCICD menjadi solusi palsu, adalah karena faktor sedimentasi yang mengalami perubahan pola akibat perubahan garis pantai, hidrologi, dan potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi.

Tetapi, di saat yang sama terjadi peningkatan arus yang akan meningkatkan tekanan terhadap ekosistem di sekitar Kepulauan Seribu. Kondisi itu terjadi karena adanya peningkatan buangan material bahan pencemar dan sedimen.

“Dampak lain yang diterima karena sifat dinamisnya laut adalah pertumbuhan karang di Kepulauan Seribu yang akan terganggu akibat tekanan bahan pencemar dan sedimen,” jelasnya.

Alasan ketiga, tanggul laut bisa menjadi upaya untuk menopang reklamasi, baik pada fase konstruksi atau pun saat operasional. Jika seperti itu, NCICD akan bisa memicu dampak buruk terhadap kualitas air di sekitar lokasi proyek.

 

Penurunan Muka Tanah

Marthin Hadiwinata kemudian mengutip pernyataan Kepala Pusat Riset Teknologi Hidrodinamika Widjo Kongko yang menyebutkan bahwa NCICD akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air di dalam perairan wilayah tanggul laut.

Ada pun, penurunan kualitas air ditandai dengan perubahan signifikan parameter lingkungan, seperti kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved oxygen (DO) lebih dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.

baca juga : Penurunan Laju Muka Tanah Jadi Ancaman Serius untuk DKI Jakarta

 

Pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta pada proyek NCICD. Foto : bappeda.jakarta.go.id

 

Alasan berikutnya, adalah karena proyek NCICD berkaitan erat dengan privatisasi dan akses perpipaan pada penyediaan layanan air bersih di wilayah daratan sekitar Teluk Jakarta. Katanya, permasalahan air bersih di Jakarta disebabkan oleh adanya privatisasi air bersih.

Privatisasi air yang telah berjalan selama 25 tahun tersebut, dilakukan melalui perjanjian antara Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya) dengan PT Palyja dan PT Aetra dan resmi berakhir pada Februari 2023 lalu. Tetapi, setelah kerja sama berakhir, Gubernur periode 2018-2023 Anies Baswedan menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan PT MOYA Indonesia.

“Kerja sama itu tentang Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum melalui optimalisasi aset eksisting dan penyediaan aset baru dengan skema pembiayaan bundling,” ungkap Marthin.

Alasan kelima, adalah berkaitan dengan politik dagang Pemerintah Kerajaan Belanda untuk mendukung Perusahaan Belanda. EKOMARIN menyebut alasan ini, karena proyek NCICD di Teluk Jakarta adalah salah satu proyek strategis nasional.

Awalnya, proyek tanggul laut bernama Jakarta Costal Defense Strategy (JCDS) dan menjadi bagian dari bantuan dari Kerajaan Belanda. Kemudian, proyek tersebut berganti menjadi sarana untuk memfasilitasi perdagangan jasa untuk korporasi multinasional asal Belanda, yang kemudian akan mendapatkan keuntungan dari pembiayaan jasa pengerukan dan reklamasi.

Alasan terakhir, adalah permasalahan sosial ekonomi wilayah perairan tangkap nelayan di Teluk Jakarta. Wilayah tersebut selama bertahun-tahun sudah menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di pesisir Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan.

Marthin menerangkan, perkampungan nelayan sudah berdiri lama dan kehidupan mereka bergantung pada laut di Teluk Jakarta. Pembangunan tanggul laut akan berdampak kepada nelayan kecil yang mengelola sumber daya laut di sana.

“Jumlah nelayan yang terdata sendiri dari versi pemerintah Jakarta terdapat 33.500 nelayan yang mendiami pesisir Jakarta,” tuturnya.

Mengutip Ramadhan et.al (2016), dia menyebut kalau ada potensi kerugian nelayan senilai Rp.94.714.228.734 per tahun diakibatkan hilangnya wilayah perairan mencapai. Juga, potensi kerugian pembudidaya kerang senilai Rp.98.867.000.591 per/tahun, kerugian pembudidaya ikan di tambak Rp.13.572.063.285 per/tahun.

perlu dibaca : Presiden : Jika Jakarta Tak Mau Tenggelam, Teluk Jakarta Harus Reklamasi  

 

Pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta pada proyek NCICD. Foto : setkab.go.id

 

Tentang tanggul laut, Marthin menerangkan kalau namanya saat ini sudah mengikuti perkembangan kebijakan terkini menjadi Integrated Food Safety Plan (IFSP). Proyek ini berbeda dengan pembangunan reklamasi pantai dan pulau yang ada dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Perda RTRW DKI Jakarta).

Kemudian, saat Joko Widodo menjadi Presiden RI, proyek tanggul laut dijabarkan dalam Peraturan Presiden No 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019. Saat ini, NCICD diatur dalam Perpres 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.

“Namun tidak ada kejelasan menyebut adanya frase untuk menyatakan menggantikan atau mencabut Perpres 2/2015,” terang dia.

Ia menerangkan, dalam narasi Perpres 18/2020, logika yang dibangun Pemerintah mendasarkan pada “peningkatan jumlah penduduk perkotaan” yang memberikan tekanan pada kawasan perkotaan, menurunkan kesejahteraan, dan menyebabkan sebagian wilayah perkotaan tidak layak huni.

Atas alasan tersebut, dengan menggunakan DKI Jakarta sebagai contoh, mengalami peningkatan angka kejadian banjir, penurunan permukaan tanah, kenaikan muka air laut, penurunan kualitas air sungai hingga 96 persen, dan kerugian akibat kemacetan senilai Rp65 triliun per tahun.

Diketahui, program NCICD baru selesai sekitar 13 kilometer dari prioritas pembangunan 46 km. Pengerjaan sisa 33 km akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepanjang 11 km, Kementerian PUPR sepanjang 11 km, dan PT Pelindo II atau KSOP Sunda Kelapa sepanjang11 Km.

Pemprov DKI Jakarta membagi pengerjaan ke dalam empat kluster: Muara Angke 3,4 km; pantai Mutiara 1,05 km; Sunda Kelapa 2 km; dan Kali Blencong 1,7km. Sementara, Kementerian PUPR mencakup tanggul Pantai Kamal-Dadap, Cengkareng Drain, Muara Baru, Ancol Hilir, dan Kalibaru.

Proyek NCICD pertama kali muncul dengan nama JCDS dan dibuat untuk menjawab bencana banjir di sekitar Jakarta yang terjadi pada 2007 dengan curah hujan ekstrem tertinggi mencapai 340 milimeter per hari di Pondok Betung, Tangerang Selatan.

Padahal, penyebab tambahan yang memperparah banjir 2007 adalah land subsidence dengan range penururan mencapai 0,9-17,9 cm/tahun. Serta, kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim yang mencapai 0,5-0,8 mm/tahun.

Dari masalah tersebut, berkembang proyek JCDS yang kemudian berganti menjadi NCICD atau Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN), dengan Jakarta menjadi pemeran utama karena menjadi IKN. Oleh karena itu, fokus utama NCICD adalah untuk melindungi pesisir Teluk Jakarta dari ancaman masuknya air laut ke darat atau rob.

 baca juga : Opini: Tanggul Raksasa dan Banjir Jakarta

 

Pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta pada proyek NCICD. Foto : setkab.go.id

 

Sesat Pikir

Solusi palsu juga disuarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menanggapi pernyataan Pemerintah yang menyebut NCICD menjadi jawaban atas banjir rob yang sering terjadi di Pantai Utara Jakarta. Di sana, ada lima wilayah pertumbuhan, 70 kawasan industri, lima kawasan ekonomi khusus (KEK), dan lima wilayah pusat pertumbuhan.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan, rencana Pemerintah membangun kembali tanggul laut dengan cara mereklamasi laut adalah sesat pikir pembangunan.

Menurut dia, proyek tersebut tidak akan menjawab akar persoalan kehancuran ekologis pulau Jawa yang selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif, baik di darat, di pesisir, laut, dan pulau kecil.

Pada 2012, WALHI pernah menerbitkan sebuah buku berjudul “Java Collapse” yang menjelaskan tentang kehancuran dan kebangkrutan sosial ekologis pulau Jawa. Buku itu menyebutkan bahwa eksploitasi sumber daya alam di wilayah darat Pulau Jawa sudah dimulai sejak era kolonial Belanda dan berlanjut hingga pasca reformasi.

“Oleh karena itu, daya dukung ekologis pulau Jawa telah hancur,” terangnya.

Selama ini, wilayah pesisir utara Jawa dari Banten hingga Jawa Timur sudah dieksploitasi oleh industri skala besar yang kemudian memicu terjadinya penurunan muka tanah dengan cepat. Jika persoalan itu ingin teratasi, maka bukan dengan membangun tanggul laut raksasa.

“Tetapi dengan mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa,” tambahnya.

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Bukan sekedar itu, pembangunan NCICD juga dinilai akan merugikan nelayan kecil dan tradisional yang ada di sekitar Teluk Jakarta. Selama ini, para nelayan di sana sudah terbiasa menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di sekitar perairan tersebut.

Terancamnya lingkungan pesisir di Teluk Jakarta, karena jika tanggul laut jadi dibangun, maka proyek akan memerlukan pasir laut dengan jumlah tidak sedikit. Jika diteruskan, maka ancaman degradasi lingkungan bisa memicu kepunahan aneka ragam hayati laut di sekitar perairan utara Jawa.

Parid mengatakan, sumber daya ikan (SDI) di perairan pulau Jawa saat ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Merujuk pada data yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), SDI yang mengalami fully exploited sebanyak 67 persen, dan over exploited sebesar 22 persen.

Data tersebut dicatat dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Jika melihat data tersebut, bisa disimpulkan bahwa perairan utara Jawa perlu dipulihkan karena selama ini telah dieksploitasi tanpa henti. Tetapi, pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall justru akan semakin mengancam stok sumber daya ikan sebagai sumber protein masyarakat.

Selain berpotensi menghancurkan perikanan, dia menyebut kalau pembangunan NCICD juga akan menghancurkan ekosistem mangrove yang ada di pesisir Teluk Jakarta. Jadi, NCICD bukan menjadi solusi krisis iklim, namun bisa memperparah.

Bagi dia, kehilangan mangrove menjadi ironis karena Pemerintah tengah melakukan kampanye dan diplomasi ke dunia internasional tentang upaya Indonesia untuk menjadi pusat mangrove dunia. Kampanye tersebut juga menjanjikan mangrove menjadi mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

“Proyek ini merupakan solusi palsu krisis iklim karena bertentangan dengan upaya pemulihan ekosistem mangrove sebagai bagian penting dari upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim,” tegasnya.

Direktur WALHI Jakarta Suci Fitriah Tanjung menambahkan, pembangunan NCICD yang masih berjalan saat ini sudah mengancam kehidupan nelayan yang tinggal di pesisir utara Jakarta. Berdasarkan hasil analisis resiko yang dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), ada sekitar 24.000 nelayan di Jakarta Utara yang terancam digusur oleh NCICD.

Saat ancaman sedang mengintai para nelayan, Pemerintah menawarkan solusi melalui pelatihan untuk membuka lapangan kerja baru. Tawaran tersebut dinilai aneh, karena nelayan seharusnya mendapat jaminan akses terhadap laut.

“Dengan begitu, ancaman hilangnya identitas nelayan akibat pembangunan NCID di Teluk Jakarta semakin besar,” ungkapnya.

Mengingat tak ada pilihan bagi Pemerintah untuk memberikan jalan keluar, maka satu-satunya jalan yang bisa diambil adalah dengan menghentikan rencana pembangunan NCICD, menjadikan pemulihan sosial ekologis pulau Jawa, baik daratan maupun lautannya, sebagai agenda utama dalam rencana pembangunan.

Lebih detail, Suci memaparkan dokumen dampak sosial dan rekomendasi kebijakan reklamasi Teluk Jakarta. Di antaranya, setiap wilayah perairan yang hilang seluas satu hektare karena reklamasi, maka kerugian ekonomi yang dialami masyarakat dan nelayan adalah Rp26.899.369 per orang per tahun.

Total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp137.536.474.541 per tahun. Nilai tersebut mengasumsikan nelayan masih dapat beroperasi pada wilayah perairan di atas Teluk Jakarta yang tidak mengalami pengurukan lahan.

Setiap unit usaha budi daya kerang hijau yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian pembudi daya senilai Rp85.599.135 per unit per tahun. Jumlah unit budi daya kerang hijau tercatat sebanyak 1.155 unit, sehingga total kerugian mencapai Rp98.867.000.590 per tahun.

Kemudian, setiap pedagang perikanan berpotensi mengalami kerugian senilai Rp76.488.078 per tahun atau Rp6.374.007 per bulan. Jumlah pedagang yang tercatat berdasarkan hasil identifikasi lapangan adalah 1.561 orang, sehingga nilai total kerugian sebesar Rp119.397.890.393 per tahun.

Setiap pengolah hasil perikanan memiliki potensi kerugian sebesar Rp97.797.274 per tahun atau Rp8.149.773 per bulan. Secara statistik jumlah pengolah tercatat sebesar 472 orang, sehingga dapat diperoleh potensi kerugian sebesar Rp46.160.313.328 per tahun.

Berdasarkan kalkulasi tersebut di atas, proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall akan memperluas kerugian dan kehilangan ekonomi yang dirasakan oleh nelayan dan para pelaku perikanan lainnya di pesisir utara Jawa. (***)

 

 

Exit mobile version