- Selama 40 tahun terakhir, Samudra Arktik telah kehilangan sekitar 75% volume es lautnya. Hal ini berarti hilangnya rata-rata luas dan ketebalan es laut hingga setengahnya.
- Ketika kawasan kutub memanas, spesies-spesies akan menghadapi cuaca ekstrem, penyusutan dan perubahan habitat, berkurangnya ketersediaan makanan, dan persaingan dengan spesies-spesies di wilayah selatan yang menginvasi.
- Beragam organisme Arktik yang bergantung pada es laut untuk mencari makan atau berkembang biak terancam oleh pencairan es di kutub.
- Meskipun spesies dapat beradaptasi seiring berjalannya waktu, perubahan ekosistem Arktik terlalu cepat bagi banyak hewan untuk beradaptasi, sehingga sulit untuk menebak spesies mana yang akan bertahan, mana yang akan musnah, dan di mana saja.
Tahun 2023 sejauh ini dinyatakan sebagai tahun terpanas dalam sejarah umat manusia. Peristiwa ini membawa dampak yang serius tidak saja bagi lingkungan manusia, tetapi juga kehidupan satwa.
Dilaporkan bahwa satwa yang berpindah ke belahan Bumi utara telah membawa penyakit baru. Strain flu burung H5N1 tahun 2021 telah menginfeksi dan membunuh seekor beruang kutub, yang menjadi kasus pertama di dunia.
Patogen yang sangat menular ini dapat berpindah antar spesies, dan penularannya kepada spesies yang berada di wilayah Arktik yang terisolasi, amatlah mengkhawatirkan. Spesies di bagian Bumi utara ini secara evolusi telah terisolasi dalam jangka waktu lama, dan memiliki sedikit kekebalan terhadap penyakit.
Dalam beberapa dekade terakhir, para peneliti pun telah menjadi saksi bagaimana perilaku dan jumlah satwa liar di darat dan laut Arktik telah berubah dramatis. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan pemanasan global yang cepat dan cuaca yang ekstrim.
Kawasan Arktik yang Sedang Berubah
Pakar iklim dan kebijakan Arktik Joel Clement menyebut bahwa wilayah Arktik saat ini sedang berubah menjadi lebih hangat dan basah. Perubahan ini membuka wilayah yang sebelumnya membeku sepanjang tahun menjadi lautan.
“Habitat terkikis seiring dengan surutnya gletser dan es laut, garis pantai yang tenggelam, dan lapisan es yang mencair. Teluk yang membeku sepanjang tahun kini dipenuhi bongkahan es biru yang terapung kini berubah menjadi laut terbuka,” jelasnya.
Ini membawa konsekuensi bagi satwa-satwa Arktik, walrus contohnya. Satwa mamalia besar ini sekarang lebih sering berkumpul di garis pantai yang penuh sesak dan sempit, akibatnya ini membawa risiko bagi individu-individu muda. Anak-anak walrus pun jadi lebih sering terinjak oleh satwa dewasa berbobot lebih dari 1 ton, saat mereka bergerak panik.
Lemming, -sejenis pengerat yang hidup di padang tundra Arktik, kini dilaporkan kesulitan makanan, bersarang, dan bergerak selama delapan bulan musim dingin yang terjadi. Mereka harus menanggung fluktuasi suhu, salju, dan hujan yang semakin parah, jelas ahli ekologi Dorothee Ehrich, pakar di Climate Ecological Observatory for Arctic Tundra dan Arctic University di Norwegia.
“Laju perubahan [pada rantai makanan] sangat sulit untuk dipahami,” sebut Kyle Joly, ahli biologi dari US National Park Service. Hal ini mempersulit satwa dalam berburu, mencari makan, dan meningkatkan tekanan hewan lain yang datang dari selatan.
Seluruh ekosistem yang terhubung dalam rantai makanan pun terdampak. Mulai dari plankton mikroskopis dan krustasea yang menjadi dasar seluruh jaringan rantai makanan, hingga paus beluga dan beruang kutub, sampai 200 spesies burung migran yang berkembang biak di Arktik.
Lalu pertanyaan: Akankah spesies satwa ini dapat beradaptasi untuk bertahan hidup?
Es Laut yang Terus Menghilang
Sejumlah besar organisme Arktik amat bergantung pada es laut selama sebagian atau bahkan seluruh siklus hidupnya.
Mereka berenang atau berlindung di bawah es; menempel di bawah bongkahan es atau berburu dari atas; meringkuk di celah es; menggunakan es sebagai tempat tidur; tempat berkembang biak; tempat mencari makan; hingga menjadikan es sebagai tempat bepergian dari satu tempat ke tempat lain.
Es di kutub membentang ribuan mil dan menyentuh pantai di delapan negara. Es ini meluas dan menyusut selaras dengan siklus tahunan siang dan malam yang berlangsung selama berbulan-bulan.
Namun dalam 40 tahun terakhir, kawasan Arktik telah kehilangan sekitar 75% volume es lautnya, yang diukur pada setiap akhir musim pencairan musim panas. Hal ini berarti hilangnya luas dan ketebalan es laut rata-rata hingga setengahnya. Ini merupakan bukti paling mencolok mengenai perubahan iklim di Bumi.
“Menyusutnya habitat hanyalah salah satu dari banyak masalah yang mengancam satwa liar. Es adalah ‘mesin kehidupan’ Arktik, dan pabrik makanan yang produktif,” jelas Knud Falk, ahli ekologi di Program Pemantauan Keanekaragaman Hayati Circumpolar.
Saat es mencair secara alami di akhir malam tahunan, alga berkembang biak di tepian es, yang diikuti oleh fitoplankton yang tumbuh subur di bawah sinar matahari musim panas.
Keberadaan mereka menarik zooplankton yang sebagian besar adalah krustasea mikroskopis yang disebut copepoda, yang menjadi makanan ikan-ikan kecil. Di tingkat rantai berikutnya ada ikan cod kutub dan ikan-ikan besar lainnya, burung laut, paus beluga, dan empat spesies anjing laut.
Dalam penelitian selama beberapa dekade, para peneliti mengidentifikasi 143 spesies Arktik yang memakan fitoplankton. Seringkali mereka melakukan migrasi atau berkembang biak bertepatan dengan tumbuh suburnya organisme yang berhubungan dengan es. Namun lokasi dan jumlah makanan telah berubah seiring melelehnya es, yang berdampak pada satwa yang ada.
Camar gading pualam contohnya, sepanjang tahun mereka membutuhkan es untuk bersarang. Saat kawasan Arktik memanas, populasinya menurun drastis. Sekitar 70% menghilang dari wilayah utara Kanada sejak tahun 1980-an.
Dalam sebuah penelitian di jurnal Nature Communications, tanpa adanya es, maka keberadaan burung laut ini menjadi pertanyaan. Apakah mereka masih tetap akan bertahan di dekade 2030-2050.
Beruang kutub sebagai spesies ikonik Arktik adalah contoh nyata dari perubahan iklim. Mereka semakin sulit menemukan platform bentangan es untuk berburu. Mangsa favorit mereka, anjing laut cincin juga semakin langka.
Para peneliti melaporkan semakin banyak beruang kutub yang ditemukan berburu di darat, eksistensi mereka menjadi ancaman baru bagi burung-burung yang bersarang di darat. Perilaku ini diamati oleh Robert Rockwell, seorang ahli ekologi dari American Museum of Natural History di Hudson Bay Lowlands.
Beruang-beruang es itu kini mengincar koloni burung laut, merusak sarang burung camar gading, angsa salju, dan spesies burung lainnya. Berdasarkan perhitungan Rockwell, seekor beruang dapat mengonsumsi 270 butir telur bebek eider dalam tiga hari. Dampak akhirnya terhadap populasi burung masih perlu diobservasi lebih jauh.
Kehidupan di Daratan yang Semakin Sulit bagi Satwa
Ciri-ciri perubahan iklim, seperti peningkatan dan perubahan suhu, serta cuaca ekstrem kini menjadi hal lumrah di wilayah utara. Kyle Joly memberikan contohnya. Dalam sebuah survei untuk rusa besar di Alaska Utara November 2022, timnya mencatat suhu rata-rata di lokasi penelitian 5,6°C.
“Padahal, sepuluh tahun sebelumnya saat kami melakukan survei yang sama, suhunya -39°C,” katanya.
Kondisi ekstrem ini tentu akan memberikan dampak terbesar pada cara spesies beradaptasi. Salju yang tadinya sangat halus, kini membeku sekeras batu selama gelombang panas musim dingin dan badai hujan yang sering terjadi.
Dalam kondisi seperti itu, lanskap kutub berubah, sehingga sulit bagi satwa untuk bergerak atau mencari makanan.
Tumbuhan tempat satwa herbivora bertahan hidup terperangkap di bawah lapisan es. Tumbuhan tidak lagi bisa diakses oleh hewan yang berlindung di balik tumpukan salju, seperti tikus, ptarmigan, belibis, dan lemming.
Secara khusus, peneliti menjumpai bahwa kesulitan yang dialami lemming berdampak pada keseluruhan ekosistem. Mereka tidak dapat lagi membuat terowongan secara luas, dan terjebak di area kecil sehingga memiliki kecenderungan untuk menghabiskan persediaan makanan.
Ini berdampak pada aspek reproduksi, -karena keterbatasan makanan, pada akhirnya mereka hanya mampu membesarkan lebih sedikit anak. Akibatnya jumlah mereka semakin susut. Padahal hewan pengerat ini adalah mangsa dari rubah arktik, burung camar, musang, burung hantu dan sejumlah predator lain.
Cuaca musim dingin yang ekstrem juga berdampak buruk pada muskox. Dengan semakin banyaknya kelembapan yang terjadi, atmosfer yang makin menghangat, hujan badai dan badai salju yang berlangsung dalam kurun 100-500 tahun terakhir, kini menjadi satu hal biasa di ujung belahan Bumi utara itu.
Muskox, –hewan ungulata Arktik kini harus bertahan hidup di musim dingin yang sangat dingin. Mereka biasanya menggali salju lembut untuk mencari lumut dan rerumputan untuk di makan, kini hal itu sulit dilakukan, setelah badai dan hujan salju besar, dan cuaca beku.
Setelah sebuah peristiwa hujan salju musim dingin yang singkat namun parah di tahun 2003, para peneliti menemukan ‘kuburan’ 20.000 individu muskox di Pulau Banks di dataran tinggi Arktik Kanada. Mereka mati kelaparan, karena tidak dapat mencari rumput yang terkurung di bawah es.
Muskox, adalah spesies yang paling menderita akibat dampak perubahan iklim selama beberapa dekade terakhir. Setelah tiga musim dingin berturut-turut dengan rekor hujan salju di Nunavut Bathurst Island Complex pada 1994-1997, setidaknya 80% total populasi muskox musnah.
Beberapa hewan Arktik juga tidak tahan terhadap panas yang menyengat. Spesies burung murre paruh tebal misalnya. Bulu hitamnya secara evolusi dirancang mampu menyerap panas yang membantu mereka bertahan hidup di suhu dingin Arktik yang dingin.
Kini sebaliknya, warna hitam tersebut dapat ‘terpanggang’ di bawah sinar matahari yang mencapai suhu 24°C, yang membuat suhu tubuh mereka meningkat hingga 46°C.
Setelah gelombang panas laut terkuat yang pernah tercatat, yaitu periode 2014-2016 di Pasifik Timur Laut, puluhan ribu murre sekarat, mati, dan terdampar di pantai Teluk Alaska hingga ke California. Data perkirakan menyebut jika satu juta individu mungkin tewas di laut, melemah karena panas, dan kelaparan di tengah berkurangnya pasokan makanan
Perubahan ‘Menu’, Akibat Perubahan Rantai Makanan yang Berubah
Setiap ekosistem membentuk jalinan kehidupan rumit yang berevolusi selama ribuan tahun. Di lingkungan kutub yang keras, hanya sedikit makanan yang mampu menggerakkan sistem ini.
Fitoplankton dan zooplankton (copepoda) yang mengelilingi es di dekat pantai telah memberi makan bagi satwa penghuni Arktik terbesar yaitu paus kepala busur, yang memakan mereka melalui filter di mulutnya.
Spesies mikroskopis ini menyediakan minyak, kalori dan energi tinggi, yang membuat paus kepalau busur mampu bertahan menghadapi cuaca dingin.
Di Samudera Atlantik bagian utara yang memanas, spesies fitoplankton dan copepoda asli ini semakin berkurang. Mereka pun perlahan-lahan tergantikan oleh spesies selatan yang lebih kecil dan kurang bergizi yang bergeser wilayah jelajahnya semakin ke utara.
Dovekie, sejenis burung laut yang memakan crustacea zooplankton, adalah spesies kunci ekosistem Arktik. Burung seukuran burung robin hitam-putih ini adalah jenis burung yang jarang ditemui di wilayah utara. Namun keberadaannya penting bagi ekosistem.
Guano dan cangkang telur dari koloni besar yang bersarang di lereng bukit menyuburkan tanah dibawahnya. Tanah subur itu, memungkinkan tumbuhan berkembang, dan menyediakan pakan bagi jenis-jenis burung, dan herbivor seperti lemming, kelinci dan rusa kutub.
Predator teratas seperti rubah arktik, burung gyrfalcon, dan beruang kutub pada gilirannya akan memangsa rantai di bawahnya, termasuk dovekie.
Namun penelitian menunjukkan bahwa populasi copepoda yang menjadi makanan dovekie telah beralih dari spesies Arktik yang kaya kalori ke spesies Atlantik yang kurang bergizi.
Karena berkurang dan berubahnya sumber makanan, induk dovekie kini harus terbang lebih jauh, menyelam lebih dalam di laut, atau membawa lebih banyak makanan untuk memberi makan bagi anak-anak mereka.
Kekurangan nutrisi berakibat pada anak-anak burung yang tumbuh dewasa dengan berat badan yang lebih rendah. Ini berisiko dan mengancam kelangsungan kehidupan mereka dalam menghadapi siklus musim dingin berikutnya.
Banyak hewan, -termasuk guillemot hitam dan anjing laut harpa, juga terpaksa menghabiskan lebih banyak energi untuk makan dan membesarkan keturunannya. Ikan kod kutub adalah mata rantai penting lainnya dalam rantai makanan mereka.
Ikan pelagis yang kaya nutrisi minyak ini tumbuh subur pada suhu di bawah nol, bertelur di bawah es, tumbuh sangat cepat, dan menopang banyak hewan. Namun berubahnya suhu, menyebabkan mereka tergantikan oleh ikan cod atlantik yang berekspansi ke utara. Jenis ini lebih tidak kaya nutrisi seperti jenis asli cod arktik.
Invasi Spesies dari Selatan
Pergeseran zooplankton dan ikan cod atlantik hanyalah bagian kecil dari fenomena yang lebih besar. Saat ini, batas antara ekosistem Subarktik dan Arktik sedang mengalami penyesuaian. Menghangatnya suhu wilayah Arktik mendorong masuknya pendatang dari selatan, baik di lautan maupun di darat.
Pendatang baru seperti rubah merah, rusa besar, kelinci sepatu salju, dan mamalia boreal pun mulai mengalahkan atau mengusir penghuni lama.
Beruang grizzly kini bergerak ke utara dan memangsa muskox yang tinggal di Arktik. Berang-berang Amerika Utara yang invasif telah membangun sekitar 12.000 kolam di Alaska bagian barat.
Burung laut selatan semakin banyak jumlahnya, termasuk elang laut yang terbang di atas laut Bering dan Chukchi. Mereka bersaing untuk mendapatkan makanan dengan burung-burung yang menetap, bersarang, dan bermigrasi di kawasan Artktik selama ini.
Kehidupan tumbuhan pun terus berubah. Semak dan pepohonan makin bergerak ke atas garis lintang. Jenis-jenis ini menyingkirkan lumut dan kerak lumut yang menyediakan makanan musim dingin bagi banyak spesies.
Bahkan mamalia laut terbesar pun berada di bawah ancaman. Daerah yang tertutup es dulunya merupakan tempat berlindung yang aman bagi paus kepala busur, beluga, dan narwhal. Sekarang mereka harus menghadapi paus pembunuh (orca) yang menyerbu perairan Arktik yang bebas es. Para peneliti berspekulasi, bahwa suatu saat orca dapat menggeser beruang kutub sebagai predator utama di kawasan ini.
Beberapa spesies merespons perubahan iklim dengan berpindah ke tempat yang lebih tinggi, seperti burung hantu bersalju, yang bersarang jauh di utara Siberia. Sebagian besar dari 200 spesies burung yang selama ini berkembang biak di Arktik juga mengubah kebiasaan mereka.
Salah satu contoh dramatisnya adalah lapland longspur (sejenis burung yang mirip burung pipit). Pada tahun 2017 lalu, para peneliti menemukan burung-burung itu bersarang lebih 640 kilometer jauh ke utara wilayah jelajah mereka sebelumnya di Greenland timur.
“Habitat di bagian terdingin di planet ini terus menyusut,” sebut Falk. “Ini dapat meningkatkan persaingan di Arktik diantara jenis yang berebut posisi dalam permainan perubahan ruang.”
Masa Depan Tanpa Kepastian
Perubahan iklim bukanlah satu-satunya gangguan yang disebabkan aktivitas manusia di Arktik. Kawasan ini juga terdampak dari berkembangnya industri seperti eksplorasi minyak dan gas, pertambangan laut, penangkapan ikan komersial, serta pelayaran trans-Arktik dan pariwisata yang sedang berkembang pesat.
Aktivitas industri menyebabkan pencemaran logam berat yang terbawa angin dan arus laut dan mencemari kutub, termasuk mikroplastik, pestisida, PFAS, PCB, merkuri, dan zat beracun persisten lainnya.
Banyak kontaminan yang mempunyai dampak kesehatan yang serius bagi satwa Arktik, seperti terganggunya fungsi otak, kanker, dan gangguan reproduksi.
Dalam jangka panjang, beberapa spesies Arktik akan berhasil bertahan lebih baik dibandingkan spesies lainnya.
Rolf Ims, seorang profesor ekologi Norwegia, menyebut satwa yang mampu bertahan dalam perubahan ekosistem di Arktik kemungkinan besar adalah spesies generalis yang mampu beradaptasi dengan ceruk iklim yang lebih luas, mampu menjelajah wilayah baru, atau beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru.
Namun, seiring dengan meningkatnya perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya, ketidakpastian besar masih tetap jadi tanda tanya. Tidak ada seorang pun yang tahu seperti apa yang bakal terjadi di masa depan.
“Spesies dapat beradaptasi seiring waktu, tetapi waktu mereka amat terbatas dan rantai di dalam ekosistem sangat rumit. Saya tidak yakin spesies mana yang bakal bertahan, mendominasi dan di mana,” jelas Clement.
Tulisan asli: The new Arctic: Amid record heat, ecosystems morph and wildlife struggle. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
Referensi:
Mathilde, P., Fateux, D., Gauthier, G., Domine, F., & Lamarre, J. (2021). Snow hardness impacts intranivean locomotion of arctic small mammals. Ecosphere Naturalist, 12(11). doi:10.1002/ecs2.3835
Koch, C. W., Brown, T. A., Amiraux, R., Ruiz-Gonzalez, C., MacCorquodale, M., Yunda-Guarin, G. A., … Yurkowski, D. J. (2023). Year-round utilization of sea ice-associated carbon in Arctic ecosystems. Nature Communications, 14(1). doi:10.1038/s41467-023-37612-8
Kim, Y.-H., Min, S.-K., Gillett, N. P., Notz, D., & Malinina, E. (2023). Observationally-constrained projections of an ice-free Arctic even under a low emission scenario. Nature Communications, 14(1). doi:10.1038/s41467-023-38511-8
Putkonen, J., Grenfell, T. C., Rennert, K., Bitz, C., Jacobson, P., & Russell, D. (2009). Rain on snow: Little understood killer in the North. Eos, 90(26), 221-222. doi:10.1029/2009EO260002
Piatt, J. F., Parrish, J. K., Renner, H. M., Schoen, S. K., Jones, T. T., Arimitsu, M. L., … Sydeman, W. J. (2020). Extreme mortality and reproductive failure of common murres resulting from the northeast Pacific marine heatwave of 2014-2016. PLOS ONE, 15(1). doi:10.1371/journal.pone.0226087
Davidson, S. C., Bohrer, G., Gurarie, E., LaPoint, S., Mahoney, P. J., Boelman, N. T., … Hebblewhite, M. (2020). Ecological insights from three decades of animal movement tracking across a changing Arctic. Science, 370(6517), 712-715. doi:10.1126/science.abb7080
Hassen, Y. A. (2016). The impacts of mining on Arctic environment and society from corporate social responsibility and sustainability development perspectives (Master’s thesis, Stockholm University, Stockholm, Sweden). Retrieved from https://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:930657/FULLTEXT01.pdf
Carlsson, P., Breivik, K., Brorström-Lundén, E., Cousins, I., Christensen, J., Grimalt, J. O., … Wöhrnschimmel, H. (2018). Polychlorinated biphenyls (PCBs) as sentinels for the elucidation of Arctic environmental change processes: A comprehensive review combined with ArcRisk project results, Environmental Science and Pollution Research, 25(23), 22499-22528. doi:10.1007/s11356-018-2625-7
Miller, S., Wilder, J., & Wilson, R. R. (2015). Polar bear–grizzly bear interactions during the autumn open-water period in Alaska. Journal of Mammalogy, 96(6), 1317-1325. doi:10.1093/jmammal/gyv140
***
Walrus memiliki pola makan yang beragam, mulai dari memakan lusinan genera organisme laut, namun spesies ini lebih menyukai moluska bivalvia yang didapatkan dengan menyelam dan merumput di sepanjang dasar laut dangkal. Foto: Steve Winter.
Krisis Iklim Global: Tahun 2023 Mencatat Rekor Suhu Laut Terpanas