Nasib Petani Polobangkeng, Inilah Aksi Ketua Dewan, dan TNI/Polri Kala Bela PTPN XIV

Konflik Petani Polobangkeng Utara, Takalar, Sulawesi Selatan,  versus PTPN XIV,  kembali memanas. Pada Senin (27/10/14),  polisi dan tentara berjaga di kebun didukung Ketua DPRD. Petani bertahan dengan lahan mereka. Pemukulan petani terjadi.  Petani tua renta terhempas ditarik sang ketua Dewan. Bahkan, ada tentara mengeluarkan pistol mengancam warga. “Ayo tembak saja pak. Tembak itu!”

Konflik ini muncul sejak 2004. Akhir 1970-an, warga di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar mendengar pabrik pengolahan gula tebu akan dibangun, di dekat rumah mereka. Bayangan kehidupan lebih baik segera datang, kampung makmur, dan masyarakat sejahtera. 

Orang-orang pun senang. Perusahaan bakal mengelola dan menyewa lahan-lahan pertanian  mereka selama 25 tahun. Mulailah pengukuran tanah 1980-1981, setiap hektar yang memiliki kelengkapan surat P2 atau rincik–sertifikat – akan dibayar Rp236.000 ribu dan tanah tak memiliki rincik Rp125.000.

Namun, harapan hanya diawang-awang. Lahan raib dan warga hanya sebagai buruh serabutan. Kehidupan makin susah, beberapa warga memilih menjadi tukang becak di Makassar, buruh bangunan, atau buruh tani di kampung lain. Ketika kontrak lahan usai 2004, beberapa kelompok masyarakat mulai mempertanyakan, namun perusahaan berdalih telah membeli sejak awal.

Petani menolak PTPNXIV yang sudah habis masa HGU, beroperasi di lahan--yang menurut petani disewa selama 25 tahun--kini masa kembali kepada mereka. Kesepakatan-kesepakatan terjadi, tetapi selalu dipatahkan dalam pelaksanaan. Foto: Eko Rusdianto
Petani menolak PTPNXIV yang sudah habis masa HGU, beroperasi di lahan–yang menurut petani disewa selama 25 tahun–kini masa kembali kepada mereka. Kesepakatan-kesepakatan terjadi, tetapi selalu dipatahkan dalam pelaksanaan. Foto: Eko Rusdianto

Dari sinilah persoalan mulai rumit. Warga menginginkan lahan 4.500 hektar keluar dari HGU dan kembali kepada petani. Tahun 2008, seratusan warga membuat aksi, tapi tak digubris. Tahun 2009, kembali aksi. Perusahaan menyambut dengan pengawalan Polri dan tentara. Puluhan warga mendapat hadiah pukulan dari pentungan, hingga ada yang tertembak, dan puluhan orang masuk penjara.

Hampir sepanjang tahun, konflik warga dan PTPN XIV Takalar terus terjadi. Pada Oktober  2014, konflik terjadi sampai tiga kali. Semua diakhiri tindakan refresif. Dialog buntu.

Untuk kesekian kali, pada Senin (27/10/14), sejak pukul 09.00 ratusan warga yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng (STP) mendatangi lahan pengelohan tebu perusahaan di Kelurahan Parangluara. Aparat keamanan dari Polisi Pamong Praja, kepolisian dan TNI telah bersiap di lokasi.

Warga beranggotakan para petani tua, muda, dan perempuan berdiri berhadap-hadapan. Dua traktor dan satu buldoser mengolah lahan beberapa ratus meter. Warga berdiri di depan traktor. Mereka mengacungkan kepalan tangan dan berteriak memberi semangat. “Kami ingin dialog, namun pengolahan lahan harus berhenti dulu,” kata warga.

Setelah berhadapan dengan tentara, brimob dan preman bayaran,  warga tak berdaya. Mereka hanya bisa melihat traktor bekerja mengolah tanah. Foto: Eko Rusdianto
Setelah berhadapan dengan tentara, brimob dan preman bayaran, warga tak berdaya. Mereka hanya bisa melihat traktor bekerja mengolah tanah. Foto: Eko Rusdianto

“Oh tidak bisa,” kata suara muncul dari kubu perusahaan.

“Enak saja. Mana bisa begitu. Kalian itu seperti negara saja. Ini tanah negara.”

Di lahan itu, ikut hadir Nirwan, sekretaris daerah Takalar, Ketua DPRD Takalar Muhammad Jabir Bonto, dan Dandim 1426 Takalar Letkol Inf Wirawan Eko Prasetyo. Mereka berdiri di depan warga dan menawarkan solusi. “Sudahlah, program saat ini setiap keluarga tergabung dalam serikat tani memperoleh lahan dua hektar. Lahan ini bukan hak milik, tetap dimiliki perusahaan. Harus menanam tebu bukan tanaman lain,” kata Nirwan.

“Tebu ini pasar jelas. Negara memerlukan produksi gula tebu 3 juta ton per tahun. Kita hanya mampu sebagian. Hasil tebu inilah, ibu-ibu dan bapak-bapak beli beras.”

Nirwan melanjutkan pidato. Dia memgang microphone “Setelah ada lahan kerjasama, dibentuklah koperasi. Jadi perusahan akan membeli dengan harga baik. Pabrik gula ada untuk mensejahterakan rakyat, tidak mungkin merugikan masyarakat,” kata Nirwan.

“Bagaimana dengan lahan kami. Kami ingin keluar dari HGU. Sebesar apapun tanah kami, akan kami garap. Jangan dikuasai PTPN. Kami minta 2.000 hektar itu,” kata warga.

“Itu sulit. Soal tanah itu berurusan dengan pengadilan. Harap ibu-ibu dan bapak-bapak tahu. Lahan dalam HGU ini inventaris negara, jangankan 2.000 hektar, puluhan meter tak boleh. Saya (pemerintah daerah) pernah meminta 30 hektar untuk dikeluarkan dari HGU tapi di pusat (Jakarta) tak mengizinkan.”

Jelang pukul 12.00 pertemuan tak menghasilkan kesepakatan. Perusahaan memilih istirahat di bawah tenda besi dan warga di sela-sela pematang, atau berlindung di bawah pohon. Matahari siang itu begitu menyengat. Beberapa warga berbagi air minum dan buras untuk penganjal perut.

Petani tua ini terhempas kala dia berusaha mempertahankan lahan. Foto: Eko Rusdianto
Petani tua ini terhempas kala dia berusaha mempertahankan lahan. Foto: Eko Rusdianto

Jelang setengah jam, dari tenda perusahaan beberapa orang yang menggunakan kaos PTPN XIV– menurut warga adalah orang luar  alias preman bayaran–, pegawai perusahaan, bersama aparat bergerak bersama. Gelombang ini dipimpin ketua DPRD Takalar.

Jabir menggunakan safari hitam dan kopiah hitam. Dia meminta karyawan PTPN menjalankan traktor pembajak. “Jalankan. Gas-gas biar suara keluar. Satu dua tiga. Hei karyawan PTPN kesini, halangi warga,” katanya memberi instruksi.

Jabir bergerak dengan lincah. Tangan menunjuk-nunjuk.

“Mana Pol PP, ambil barisan.”

Warga tak tinggal diam. Beberapa kaum perempuan berdiri di depan ban traktor pembajak, yang tinggi mencapai dua meter. “Allahu Akbar,” seru beberapa warga. Warga makin rapat. Tiba-tiba seorang lelaki tua terhempas di tanah. Saya melihat Jabir menarik petani itu dengan kuat. Situasi makin memanas.

Jabir seperti orang kalut. Dia berjalan atau berlari dan tak berhenti bicara. Dia ikut memburu warga dan berusaha menangkap.

“Mana polisi, tangkap saja mereka. Cari yang provokator,” teriak Jabir.

“Apa lagi, hayo bergerak. Ini kita sudah dengan ketua Dewan,” kata tentara yang memegang tongkat.

“Kasih jalan saja itu traktor, tidak mungkin mereka bertahan,” teriak yang lain.

Situasi tak terkendali. Warga melintas “di garis” pembatas berusaha ditangkap kepolisian, TNI dan pegawai PTPN. Saya melihat beberapa kali terjadi pemukulan, tak terkecuali perempuan didorong keras hingga terhempas. Saya terkejut ketika tentara mengeluarkan pistol dan mengancam warga. “Ayo tembak saja pak. Tembak itu.”

Jelang pukul 15.00 kondisi mulai tenang. Warga kelelahan. Puluhan pasukan Brimob yang membawa senapan lars panjang, membuat formasi mengelilingi warga.

“Lihat takut itu mereka. Hayo jalankan traktor. Mana orang PTPN,” perintah Jabir.

Para petani dijaga ketat aparat. Foto: Eko Rusdianto
Para petani dijaga ketat aparat. Foto: Eko Rusdianto

Pelan-pelan warga mengalah. Traktor pembajak berjalan dengan bebas. Tanaman ubi jalar yang berdekatan dengan lahan pengolahan tak luput diratakan. Warga dari kejauhan hanya bisa melihat.

Sampai kapan konflik lahan ini akan berkahir? “Kami tak ingin konflik. Kami tak mau seperti ini. Yang kami minta sederhana, lahan kami yang dulu di sewa PTPN dikembalikan. Jika itu dipenuhi, semua selesai,” kata warga, Hasnawati Daeng So’na.

“Bagaimana mungkin ada itu ada tawaran, setiap keluarga dapat dua hektar. Ada warga menanam tebu, disuruh mandor di pabrik. Tebu panen terus diambil perusahaan. “Sampai sekarang belum dibayar,” lanjut Daeng So’na.

Ismar dari Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA) telah mendampingi warga sejak 2009, menyayangkan kejadian ini. “Setiap kali warga mempertanyakan status lahan mereka, selalu perusahaan meggunakan kekuatan militer. Ironis.”

“Tak mungkin warga melawan. Kekuatan warga satu-satunya hak mereka. Secara fisik, cangkul dan sabit petani tak mungkin melawan militer.”

Para petani berhadap-hadapan dengan tentara, polisi dan perusahaan didukung 'wakil rakyat' daerah itu. Foto: Eko Rusdianto
Para petani berhadap-hadapan dengan tentara, polisi dan perusahaan didukung ketua ‘wakil rakyat’ daerah itu. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,