, , , ,

Indonesia Targetkan Penurunan Emisi Karbon 29% pada 2030

Pemerintah Indonesia sudah menyelesaikan dokumen Intended Nationality Determined Contribution (INDC) dengan target penurunan emisi karbon pada 2030 sebesar 29%. Pasca 2020, pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan. Masyarakat adat disebut-sebut sebagai bagian penting dalam mengatasi perubahan iklim. Draf INDC ini diumumkan di website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selama dua minggu ke depan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan dan Kehutanan di Jakarta, Rabu (2/9/15) mengatakan, angka 29% itu diperoleh dari hasil analisis baik dengan pendekatan teoritik metodik maupun empirik dalam waktu cukup panjang. “Angka 29% ini, angka relatif yang dihitung berdasarkan perkiraan dari kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan, dan kebijakan Indonesia dalam membangun bangsa,” katanya dalam diskusi yang dipandu Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, ini.

Meskipun dari 2030-2030,  perkiraan penurunan emisi sebesar tiga persen menjadi 29%, tetapi dalam metrik ton itu angka besar. Siti belum berani menyebutkan besaran metrik ton total Indonesia karena masih dalam perhitungan. Namun, dia memperkirakan di bawah China, yang menetapkan 1,2-1,4 giga pada 2030. “Amerika Serikat saja, hanya turunkan 0,87 giga. Indonesia sudah ada range, belum bisa disebut tapi perkiraan saya lebih kecil dari China.”

Kini, katanya, antar sektor, masih negoisasi berapa angka yang realistis untuk Indonesia. “Karena kan kita punya industri manufaktur, maritim kita kalau hidup, berarti transportasi laut juga makan emisi banyak. (Di sektor) kehutanan ada angka tapi masih berantem, masih dikompromikan, sekitar range 0,4-0,7 giga.”

Dokumen INDC, kata Siti, akan diserahkan ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), pada minggu kedua atau ketiga September ini. “Ini sebagai langkah Indonesia ikut serta dalam upaya global dalam mengatasi perubahan iklim di COP 21 Paris,” katanya. Conference of the Parties (COP) 21 akan digelar di Paris, pada 30 November sampai 11 Desember 2015.

Dokumen ini, katanya, disusun dengan kerja keras bersama Kementerian LHK, dengan Dewan Pengarah Perubahan Iklim, utusan khusus Presiden, Bappenas dan berbagai kementerian dan lembaga. Dari hasil pemikiran itu, keluar ketahanan nasional terhadap perubahan iklim dalam hal utama yakni, pangan, energi dan penyelamatan sumber daya air.

Siti mengatakan, pada 2030, penekanan emisi terbesar dari sektor energi tak lagi kehutanan. “Mengapa dari land base ke energi karena energi ada transportasi, industri juga gaya hidup. Ke depan kita punya kehidupan berbeda, hingga diperkirakan penyediaan dan langkah-langkah pembangunan akan ke sana. Sekaligus gaya hidup dan cara pahami konservasi dan aktualisasi diharapkan sudah lebih baik,” katanya.

INDC ini, katanya, merupakan dokumen kontribusi niatan formal dari negara yang didokumentasikan  secara nasional. Niatan ini, katanya, dalam bentuk program dan kegiatan yang sudah ada dan yang akan dilakukan Indonesia. “Jadi didasarkan pada kebijakan pemerintah, Nawacita, rencana pembangunan jangka menengah dan lain-lain,” ujar dia.

Guna mendapatkan masukan, termasuk dari kementerian-kementerian dan lembaga, draf INDC ini  diumumkan dan disirkulasikan ke berbagai pihak. “Tunggu dua minggu untuk diberi catatan-catatan oleh masyarakat. Kita sirkulasikan juga kepada kementerian-kementerian kalau masih ingin diperbaiki.”

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim mengatakan, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah mengambil keputusan berbeda dalam mengumpulkan niat semua pihak lewat penyerahan INDC ini. “Niat ini lalu dianalisis. Dari situ mereka bisa mengetahui apakah target stabilisasi iklim bisa tercapai atau tidak. Jadi negara pihak, diberi kesempatan menyampaian niatan. Panduan ada, hingga negara bisa tentukan senidir apa yang akan dicantumkan.”

Untuk Indonesia, tim sepakat yang terpenting konteks dengan mengajukan INDC ini, memberikan gambaran kepada dunia luar bahwa negeri ini punya warna geografi, lingkungan khas hingga harus punya jurus tersendiri dalam mengatasi perubahan iklim.  “Yang kita incer ketahanan iklim dalam menjamin tiga penyangga kehidupan yakni, pangan, energi dan air. Ini sengaja ditajamkan. Kita juga lihat, apa sih keperluan kita? Ini penting dikemukakan Indonesia.”

Negara lain, katanya,  dalam INDC ada yang hanya menekankan mitigasi, hampir tidak ada adaptasi. “Indonesia mau berimbang. Adaptasi dan mitigasi berimbang.” Mengapa adaptasi penting, katanya, karena Indonesia, memiliki pantai terpanjang kedua setelah Kanada dan layak huni.

“Sebagian besar penduduk, kegiatan-kegiatan ekonomi kita itu di pantai. Pantai sangat rentan dengan perubahan iklim. Kita perkirakan kenaikan permukaan laut bisa sampai akhir enam meter di akhir abad ini. Adaptasi penting, kalau pantai terganggu orang banyak akan kesulitan, baik pemukiman, kesehatan, air dan macam-macam,” ucap Sarwono.

Dengan begitu, problem khas Indonesia harus dikemukakan dalam dokumen ini. Kalau tidak,  Indonesia hanya akan didorong mitigasi saja. Selain itu, katanya, Indonesia negara kepulauan dan banyak pulau-pulau kecil. Dari prediksi Kementerian Kelautan dan Perikanan, sampai akhir abad ini bisa 1.500 pulau kecil tenggelam oleh peningkatan permukaan air laut. “Kita punya apa sebagai bangsa itu harus dioperasionalkan dalam perjuangan ini. Presiden juga ada Nawacita. Kita bisa formulasikan itu. Ujung-ujungnya, harus lindungi kesejahteraan rakyat dengan konsep ketahanan iklim.”

Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, Senin (31/8/15), Presiden menyambut baik dokumen ini dan menekankan peran masyarakat adat dalam menghadapi itu. “Kita punya latar belakang budaya yang bikin jadi petarung dalam perubahan iklim.”

Senada diungkapkan Utusan Khusus Presiden, Rahmat Witoelar. Menurut dia, masing-masing negara punya kekhususan tersendiri dan tak bisa dikelompok-kelompokkan. Kesalahan lalu PBB, dengan mengelompokkan negara-negara dalam kelompok yang sebenarnya tak tepat. Hal inilah, yang coba diubah  dan disadari hingga masing-masing negara diminta memasukkan INDC sesuai dengan karakteristik. INDC ini, katanya, dibuat dengan tak mengada-ngada, mendukung perjuangan dunia tetapi tak mengabaikan kondisi pembangunan di dalam negeri.

Sarwono K (Ketua DPPI, paling kiri), bersama Siti Nurbaya, Menteri LHK, Rahmat Witoelar, Urusan Khusus Presiden dan Wimar Witoelar (Pendiri YPB) dalam diskusi soal CPO 21 dan INDC di Manggala Wanabhakti, Rabu (2/9/15). Foto: Sapariah Saturi
Sarwono K (Ketua DPPI, paling kiri), bersama Siti Nurbaya, Menteri LHK, Rahmat Witoelar, Urusan Khusus Presiden dan Wimar Witoelar (Pendiri YPB) dalam diskusi soal CPO 21 dan INDC di Manggala Wanabhakti, Rabu (2/9/15). Foto: Sapariah Saturi

Belum sejalan dan tak jelas

Dokumen INDC yang diumumkan KLHK mendapat tanggapan organisasi lingkungan. Mereka menilai langkah-langkah yang tercantum belum sejalan dengan agenda pengurangan emisi. Terutama dalam dokumen itu, pemerintah masih terlihat menggantungkan batubara sebagai alat memenuhi kebutuhan energi.

“Dokumen itu memperlihatkan kondisi business as usual. Sebenarnya ada potensi kita keluar dari kondisi itu. Hampir semua argumentasi INDC, aspek-aspek ekonomi jadi referensi utama. Padahal, keluar dari referensi mainstream ekonomi sebenarnya menjadi tantangan,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional dalam diskusi di Jakarta, Rabu (2/9/15).

Menurut dia, Indonesia akan terperangkap dalam konsep energi yang sudah ada. “Penggunaan batubara di banyak PLTU tak seperti yang kita harapkan.”

Abetnego menyoroti rencana pemerintah membangun pembangkit listrik 35.000 MW, mayoritas dari batubara yang akan membuat emisi makin besar.

“Dalam dokumen INDC, soal energi, pemerintah mengandalkan dua hal, efisiensi dan renewble. Tapi tak jelas. Energi terbarukan juga tak jadi isu sentral dalam RPJMN. Lebih banyak batubara dan hidropower.”

Dia menilai, dokumen INDC hal yang berbau politis karena baru efektif 2020. Pemerintah yang berkuasa saat ini tak akan terlibat kecuali mencalonkan kembali dan terpilih.

“Jadi ini praktik jangka pendek. Komitmen pemerintah sebelumnya menurunkan emisi 26% dan 41% dengan bantuan luar seharusnya jadi landasan. Dalam INDC tidak jelas bagaimana peran Indonesia melawan perubahan iklim.”

Pius Ginting, Kepala Unit kajian WalhiNasional mengatakan,  seharusnya dokumen INDC bisa memperjuangkan pengurangan emisi dalam batubara.  Sebab, emisi terbesar selain deforestasi juga energi.

“Bappenas bilang, pada 2030, emisi energi akan mengalahkan alihfungsi lahan dan hutan. Kita lihat di PLTU Paiton, misal. Disana ada  sembilan unit pembangkit batubara. Dampaknya membuat nelayan mengalami penurunan tangkapan ikan akibat kerusakan terumbu karang. Warga dekat PLTU mengalami pencemaran udara. Sayuran juga  terpapar debu batubara. Akibatnya produksi turun.”

Begitu juga di PLTU Cirebon. Hasil tangkapan ikan nelayan menurun, dan tanah tercemar. Garam petani berubah menjadi kehitaman.

Indonesia, katanya, emitor CO2 terbesar keenam dunia. Sekitar 25% dari energi. Ada 50 PLTU terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera dengan kapasitas 19.404 MW.

“Penggunaan batubara paling besar untuk pembangkit listrik. Ini menimbulkan emisi lebih besar dibandingkan transportasi dan pemukiman,” katanya.

Sisi lain, kini terjadi fenomena penurunan permintaan batubara secara global. Termasuk permintaan dari China dan India, yang menjadi tujuan utama ekspor. Tren berubah, perusahaan batubara ramai-ramai memasok untuk dalam negeri.

Pius meminta pemerintah merevisi kebijakan energi nasional. Dalam dokumen KEN, penggunaan batubara akan dikurangi mulai 2030. “Batubara harus segera dikurangi.” Melihat dokumen INDC, Pius pesimis Indonesia bisa menurunkan emisi sektor energi.

Arif Fiyanto, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace  Indonesia mengatakan, mengacu pada draf INDC, menyebut teknologi batubara ramah lingkungan.

“Di dokumen INDC jelas disebutkan green coal technology yang dimaksud Bappenas dan penyusun dokumen adalah teknologi ultra super critical untuk pembangkit baru. Efesiensi meningkat 32% ke 42%,” katanya.

Saat ini,  ada tiga teknologi PLTU global: sub-critical, super-critical, dan ultra-super-critical. Teknologi ultra-super-critical ini, katanya, diklaim digunakan di Batang dan sekarang di Jepara. Targetnya, 60% PLTU menerapkan teknologi ini 2030. “Teknologi batubara bersih itu mitos.”

Klaim teknologi batubara bersih, katanya, mengacu pembakaran lebih efisien. Sederhananya, kalau PLTU dengan teknolohi sub critical, menghasilkan 100 watt, katakanlah perlu membakar satu ton batubara, dengan teknologi ini perlu 600 kg.

“Jadi pembakaran batubara lebih efisien tetapi sama sekali tidak berbicara pengurangan emisi signifikan atau tidak. Jadi antara sub-critical dan ultra super-critical, pengurangan emisi hanya 10-12%. Akhirnya ini hanya berbicara bagaimana PLTU batubara mendapatkan keuntungan maksimal dengan memanfaatkan teknologi ini.”

Dalam konteks pembangunan 35.000 MW, akan  menghasilkan 90,37 juta ton emisi karbon pada 2019. Jika semua PLTU menggunakan teknologi mutakhir sekalipun, emisi dihasilkan sangat besar. Dari setiap 1.000 MW, emisi karbon 5,4 juta ton per tahun. Dengan kapasitas 22.000 MW, berarti emisi karbon 119 juta ton. Pada 2030,  terakumulasi menjadi 1.309 juta ton. “Tambahan luar biasa.”

Togu Pardede, Direktorat Energi, Tambang dan Geothermal Bappenas mengatakan, dalam kaitan pengurangan emisi, penting melihat hal itu secara terintegrasi dan komprehensif. Tak hanya sektor energi, juga kehutanan dan lain-lain sebagai penyumbang emisi.

“Jadi kita bisa menghitung kapan mengembangkan energi sekaligus menurunkan emisi realistis. Sekarang, sedang digarap Bappenas merevisi RAN GRK di berbagai sektor. Agar bisa melihat kapan bisa menurunkan emisi.”

Dia menyadari, belum ada teknologi penggunaan batubara PLTU benar-benar bersih. Hal ini, seharusnya, jadi pertanyaan negara maju.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,