Hutan Jambi: Sejuta Hektar Mati, Alih Fungsi Hutan Terus Menanti…

Penolakan masyarakat terhadap ekspansi bisnis kehutanan kembali terjadi. akhir pekan silam, masyarakat 18 desa di Kabupaten Sarolangun dan Merangin, Provinsi Jambi, menolak rencana masuknya perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di wilayah mereka yang merupakan hulu Sungai Batanghari. Penolakan masyarakat tersebut dikemukakan Koordinator Poros Masyarakat Kehutanan Merangin (PMKM), Rudiansyah, kepada Kompas.com di Kota Jambi, Jumat 8 Juni silam.

Kawasan yang dialokasikan pemerintah menjadi HTI untuk dikelola PT Hijau Arta Nusa, berada di dua blok yaitu Blok I seluas 11.434 hektar pada hutan produksi Sungai Aur, dan Blok II seluas 10.299 hektar pada hutan produksi Sungai Manau. “Masyarakat menolak, karena kawasan yang dicadangkan ini sebagian besar sudah berupa kebun warga,” ujarnya. Ia melanjutkan, sungai-sungai di kawasan itu merupakan sumber irigasi teknis Sembilang yang mengairi sawah di wilayah Kecamatan Tabir.

Kawasan tersebut juga merupakan hunian Orang Rimba (Suku Anak Dalam). Sungai-sungai yang mengalir di sana merupakan sumber penghidupan masyarakat. “Apabila terjadi pembukaan lahan , rentan mengakibatkan banjir,” lanjutnya. Menurut Rudiansyah, kawasan rencana HTI tersebut memiliki topografi sangat bergelombang, dengan tegakan hutan yang masih baik. Kemiringan areal curam di atas 40 persen, terutama pada wilayah Sarolangun.

Merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan ini sudah selayaknya dimasukkan menjadi kawasan lindung. ” Bukannya malah dialokasikan menjadi HTI,” tutur Rudiansyah masih kepada Kompas. Berdasarkan survei lapangan Tim Monitoring Harimau Sumatera, kawasan tersebut juga merupakan daerah jelajah Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae ) dan sejumlah jenis satwa kunci lainn ya. Belum lama ini, lanjutnya, konflik antara manusia dan harimau sumatra telah mengakibatkan 2 orang luka parah dan 1 orang meninggal.

Kondisi hutan di Provinsi Jambi sejauh ini memang kian mengkhawatirkan. Dalam sepuluh tahun, sebanyak satu juta hektare hutan di Jambi hilang alias punah. Demikian ditegaskan Arif Munandar, Direktur Eksekutif Walhi Jambi dalam diskusi tentang hutan di kantor Walhi, kepada Jambi Independent. Ia menjelaskan, pada tahun 1990-an, Jambi masih memiliki tutupan lahan berupa hutan yang masih dominan. Berdasarkan analisis Citra Landsat, katanya, tutupan hutan di Jambi hampir 50 persen dari 5,2 juta hektare luas total kawasan Provinsi Jambi.

Secara keseluruhan pada tahun 1990, masih terdapat 2,4 juta hektare hutan atau sekitar 49.97 persen dari seluruh luas Provinsi Jambi. Terlihat nyata perubahan tutupan lahan hutan pada periode sepuluh tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2000, tutupan lahan hutan hanya tinggal 1,4 juta hektare atau sekitar 29,66 persen dari luas Jambi seluruhnya.

Ia menyebutkan, telah terjadi pengurangan luas tutupan lahan hutan hampir 1 juta hektare, tepatnya sebesar 989.466 hektare atau sekitar 20,31 persen tutupan lahan hutan di Jambi hilang dalam jangka waktu sepuluh tahun. Ia menjelaskan, tahun 2000 tutupan lahan hutan dataran rendah dan pegunungan mengalami pengurangan sebesar 435.610 hektare atau 8,94 persen dari tutupan hutan tahun 1990. Sedangkan untuk hutan rawa mengalami pengurangan tutupan hutan sampai tahun yang sama adalah sebesar 553.856 hektare atau 11,37 persen dari tutupan hutan.

“Laju kehilangan tutupan hutan tersebut dipicu oleh berbagai sebab, seperti konversi lahan hutan menjadi pengunaan lain terutama untuk perkebunan besar dan lahan budidaya lainnya, aktivitas HPH, HTI, dan pertambangan yang tidak sepenuhnya bekerja sesuai dengan aturan yang telah ada,” jelasnya. Diakuinya, berkurangnya tutupan hutan ini diperparah dengan maraknya industri pengolahan kayu illegal yang menyumbang sangat besar terhadap menjamurnya aktivitas illegal logging. Bahkan industri pengolahan kayu legal pun juga berperan pada beberapa kasus. Seperti keinginan untuk mengkonversi hutan tersisa menjadi perkebunan besar kelapa sawit, pemberian izin HTI pada hutan alam, dan maraknya illegal logging karena tidak berjalannya penegakan hukum.

Provinsi Jambi yang memiliki luas sekitar 5 juta hektare persegi, kata dia, seperlima di antaranya sudah dikuasai perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Ini disebabkan karena pemerintah daerah setempat telah memberikan rekomendasi areal pencadangan untuk HTI mencapai 110.755 hektare. “Izin tersebut sudah diberikan kepada 18 perusahaan HTI dengan lahan yang telah dikelola seluas 663.809 hektare belum lagi ditambah dengan rekomendasi baru yang akan dikeluarkan Gubernur Jambi di areal 79.006 hektare,” bebernya kepada Jambi Independent.

Dengan adanya kebijakan ini, lanjutnya, bisa memicu adanya konflik lahan dan bencana ekologis. Konflik lahan itu sendiri, kata dia, hampir terjadi di setiap wilayah di provinsi dan tidak jarang menimbulkan korban jiwa di kalangan masyarakat. Seperti terjadi aksi penembakan dilakukan aparat keamanan yang mem-back up PT Wirakarya Sakti, terhadap salah seorang warga Senyerang, Kabupaten Tanjungjabung Barat, akhir tahun 2010. Konflik lain juga terjadi antara warga masyarakat Desa Pemayungan, dengan PT Lestari Asri Jaya, dan masyarakat Desa Lubukmadrasah dengan PT Rimba Hutani Mas, keduanya masuk dalam kawasan Kabupaten Tebo.

“Konflik ini melahirkan intimidasi, kekerasan, penggusuran dan penghancuran perkebunan milik masyarakat daerah ini,” bebernya. Karena itu, dia mengingatkan hendaknya pemda berpikir ulang untuk memberikan izin baru bagi investor yang hendak menguasai hutan di Jambi. Selain kerusakan yang bakal ditimbulkan, kehadiran mereka juga bakal memicu terjadinya konflik tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh Jambi Independent dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, terdapat sebanyak 10 perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang masih aktif sampai dengan Desember 2001 dengan jumlah total pencadangan areal seluas 349.408 Ha. Sementara, perusahaan HTI pulp yang masih aktif hanya satu yaitu PT Wirakarya Sakti dengan izin luas areal 350.000 hektare hingga tahun 2010. Kemudian, sampai Desember 2002, kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pelepasan hampir seluas 344.932 hektare. Luasan itu meliputi 38 pengajuan yang sebagian besar diusulkan untuk perkebunan.

Daya tarik pertama adalah setelah memperoleh izin pemanfaatan kayu (IPK), sebuah perusahaan dapat menebang habis kawasan tersebut dan menjual kayunya kepada industri pengolahan kayu. Daya tarik kedua adalah prospek perkebunan kelapa sawitnya sendiri. Hal ini menunjukkan kenapa hanya sekitar 30 persen saja lahan yang direalisasikan penanamannya di Jambi. “Motivasi utama pengajuan izin perkebunan adalah mengincar keuntungan dari kayu,” tegasnya.

Sementara, Ujeng anggota Walhi lainnya mengatakan, pihaknya bersama NGO yang peduli lingkungan, seperti Komunitas Konservasi Indonesia Warsi dan tim peduli Harimau Sumatera, saat ini tengah mengamati dan mengadvokasi terhadap rencana pemerintah Provinsi Jambi memberikan IUPHHK-HTI, khususnya kepada PT Hijau Artha Nusa.

Perusahaan ini, kata dia, merupakan perusahaan kehutanan yang mengembangkan energi biomassa, berupa produksi pellet kayu untuk pemenuhan kebutuhan perusahaan energi biomassa di Korea Selatan.  PT Hijau Artha Nusa ini beroperasi di dua kabupaten, yaitu kabupaten Merangin seluas 21.843 hektare dan Kabupaten Sarolangun 10.947 hektare. Mirisnya, kata dia, sebagian besar luasan tersebut merupakan serapan bagi daerah aliran sungai Batang Merangin yang menjadi komoditi utama bagi warga Jambi.

“Kita akan berupaya untuk melakukan advokasi khusus di kawasan ini, karena juga merupakan kawasan bagi tempat hidup suku anak dalam atau orang rimba, sebagian besarnya sudah menjadi kawasan perkebunan masyarakat serta sebagai habitat Hariamau Sumatera,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakan, areal ini masuk dalam 17 desa, antara lain di Desa Barunalo, Nalogedang, Telun, Danau, Seling, Kandang, Kotorayo, Kapuk, Medanbaru, Pulauaro, Muaroseketuk, Muarojernih, Rantaunagarau, Muarolangeh, Tanjungputus, Tanjungberingin, Pulauterbakar, Muarakibul (dalam Kabupaten Merangin). Sedangkan pada Kabupaten Sarolangun mencakup Desa Pancakarya, Lubukbedorong, Meribung, Ranggo, Kampungtujuh dan Desa Pemuncak.

Warga di 17 desa tersebut dalam wilayah Kabupaten Merangin terdapat 6.070 kepala keluarga, sebagian besar atau sebanyak 5.550 keluarga sebagai petani karet.

Rudiansyah, Koordinator Poros Masyarakat Kehutanan Merangin (PMKM), yang merupakan gabungan dari KKI warsi, Walhi, Lembaga Tiga Beradik dan Pundi Sumatera, menyatakan pihaknya telah mendesak pemerintah tidak memberikan IUPHHK-HTI kepada PT Hijau Artha Nusa dan mendukung penolakan warga di 17 desa dalam empat Kecamatan di Kabupaten Merangin.

“Kita melihat, apa yang telah menjadi kebijakan dikeluarkan pemerintah daerah Provinsi Jambi dalam memberi izin terhadap perusahaan besar perkebunan terutama bagi hutan tanaman industri, sudah tidak mempertimbangkan dampak lingkungan saja, tapi juga mengabaikan hak-hak masyarakatnya,” ujarnya.

PMKM sendiri, lanjutnya, memberikan rekomendasi kawasan hutan itu harus dikelola masyarakat melalui skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pola ini untuk menghindari terjadinya konflik masyarakat dengan perusahaan, konflik manusia dengan satwa, dan menghindari resiko bencana ekologis serta menghindari adanya marjinalisasi orang rimba.

Selain itu, berdasarkan analisis kajian lingkungan hidup strategis RTRW Provinsi Jambi menyebutkan, kerusakan hutan Jambi juga disebabkan oleh maraknya illegal logging. Aktivitas ini terjadi secara luas, sistematis, dan seperti tidak terjangkau oleh hukum yang berlaku. Bahkan, Taman Nasional yang berada di Provinsi Jambi yaitu Taman Nasional Berbak (TNB), Taman Nasional Bukit Tiga puluh (TNBT) dan Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD) juga terus menjadi sasaran illegal logging dan berbagai tekanan lainnya. Taman Nasional Berbak misalnya, masih dengan motif yang sama aktivitas illegal logging dipicu oleh munculnya sawmill liar di sekitar TNB dan sawmill lain di luar Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jalur distribusi illegal logging di TNB disarat dari dalam hutan kemudian pada musim hujan ditarik melalui parit-parit dan kanal yang sudah tersedia.

Kayu-kayu yang sudah berada di dalam parit disusun dan diikat menjadi rakit untuk kemudian ditarik dengan pompong -perahu bermotor besar–sampai pinggiran laut Pelabuhan Pering. Dari sini kayu-kayu ilegal ditumpuk dan siap diangkut ke berbagai tujuan. TNBD juga tidak lepas dari sasaran aktivitas illegal logging.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,