Menjelang KTT Bumi di Rio (Rio +20) Presiden SBY ditantang untuk mampu wujudkan pertumbuhan berkelanjutan dan berkeadialan di Indonesia
Dalam pidato berbahasa Inggris yang diberi judul MANIFESTO 2015: Sustainable Growth With Equity yang dibacakan di CIFOR pada 13 Juni 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, pembangunan Indonesia harus diseimbangkan melalui pembangunan ekonomi dan tekanan terhadap masalah lingkungan. Presiden menyatakan, kebijakan nasional akan mengadopsi “pertumbuhan berkelanjutan yang berkeadilan”
Demikian pula, Presiden mengulang kembali komitmen Indonesia untuk mengurangi laju emisi hingga 26 persen tahun 2020 atau hingga 41 persen dengan bantuan Internasional. Dalam pidato ini pula, Presiden telah mengklaim keberhasilan Indonesia mengurangi laju deforestasi selama 10 tahun terakhir dari rata-rata 3,5 juta hektare per tahun menjadi 0,5 juta hektare per tahun.
Kebijakan kehutanan pada dasawarsa tahun 1970-1980 an yang bersifat masif memacu laju ekonomi saat ini telah digantikan oleh kebijakan kehutanan berkelanjutan, termasuk diantaranya mencadangkan wilayah konservasi hingga 35 persen dari keseluruhan hutan tropis.
Presiden menyadari, Indonesia saat ini menjadi sorotan dunia, karena merupakan negara pelepas emisi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Bahkan, bila dihitung hanya dari emisi yang terlepas dari kawasan hutan (khusus kawasan gambut) maka Indonesialah negara paling tinggi menjadi pelepas emisi.
Menarik untuk menyimak pidato Presiden berdasarkan dua aspek, pertama apakah penurunan klaim deforestasi wujud dari ‘kualitas’ pengurangan deforestasi yang sebenarnya? kedua, pernyataan Presiden tentang pertumbuhan dengan keadilan, apakah kebijakan pemerintah selama ini telah konsekuen untuk menjalankan itu semua? Apakah keadilan yang dimaksud Presiden telah menyentuh pula kebutuhan kesejahteraan dasar bagi masyarakat yang tinggal di daerah rural, di pinggir dan di dalam hutan alih-alih untuk mengejar pengakuan prestasi dunia?
Mengutip pernyataan yang disampaikan oleh Daniel Murdiyarso kepada Metro TV (13 Juni 2012), peneliti senior CIFOR itu menyebutkan, tujuan Indonesia mengurangi laju emisi hingga 26 persen untuk tahun 2020 adalah do-able jika Indonesia mampu mengerem laju kerusakan dan deforestasi di lahan gambut. Jika dari sekitar 15 juta hektare lahan gambut, Indonesia mampu menyelamatkan separuhnya (6-7 juta hektare), maka target pemerintah dapat tercapai.
Forest Watch Indonesia, dalam laporannya berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia (2009), menyebutkan, sepanjang 2000 – 2009 tutupan hutan di lahan gambut yaitu sekitar 10,77 juta hektare, yaitu 51 persen dari luas lahan gambut Indonesia, telah mengalami deforestasi seluas 2 juta hektare.
Deforestasi hutan gambut terluas terjadi di Sumatera yaitu sekitar 0,98 juta hektare, dimana konversi lahan gambut adalah untuk menjadi perkebunan sawit dan bubur atau kayu kertas (pulp wood) atau HTI (Hutan Tanaman Industri).
Di Riau, yang merupakan salah satu carbon stock terbesar (lahan gambut 4,044 juta hektare) merupakan provinsi pelepas emisi yang tertinggi di Indonesia, sebesar 358 juta ton karbon dioksida (MtCO2e). Tidak aneh, jika berturut-turut provinsi pelepas emisi diikuti oleh provinsi-provinsi yang memiliki hutan gambut luas yaitu Kalimantan Tengah (324 juta ton) dan Kalimantan Timur (255 juta ton) per tahun. Menghargai upaya Presiden yang telah mengeluarkan Inpres Moratorium Hutan No. 10/2011 yang berupaya penangguhan pemberian izin HPH baru di hutan alam primer dan kawasan lahan gambut merupakan langkah penting dalam memenuhi komitmen sukarela Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Namun dengan usia Inpres yang hanya dua tahun, sangat rentan ekosistem wilayah hutan dan gambut dapat terus dipertahankan untuk selanjutnya.
Jika tidak terdapat perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia yang signifikan, apakah ekosistem hutan dan lahan gambut di Indonesia masih akan tersisa dalam luasan yang mencukupi setelah Inpres ini selesai masa berlakunya? Bagaimana jaminan lahan gambut sekitar 2,21 juta hektare yang berada dalam konsesi Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri dan Hak Guna Usaha terdapat sekitar 2,21 juta ha (FWI, 2009) tidak akan terganggu untuk seterusnya? Apakah setelah berakhirnya masa kepresidenan SBY tahun 2014, akan terdapat keinginan politik kuat tetap mencapai target penurunan emisi 26 persen tahun 2020?
Menjadi sebuah rahasia umum, bahwa sumberdaya alam di Indonesia, -termasuk hutan ,- merupakan ‘bancakan’ yang berkorelasi erat dengan perubahan situasi ekonomi dan politik. Angka deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi pada era awal reformasi (2000-2004). Demikian pula eksploitasi alam akan bertambah seiring pelaksanaan kampanye politik seperti pilkada maupun pemilihan umum. Hutan tentu tidak bisa meninggalkan prinsip berkeadilan sosial, pengelolaan hutan tidak bisa diletakkan dalam tindak teknoratik semata tanpa upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat rural, di sekitar maupun di dalam hutan. Maraknya konflik tanah yang memperebutkan areal hutan, yang melibatkan negara, pemegang konsesi dan rakyat setempat pada wilayah hutan akan menyebabkan upaya-upaya untuk pelestarian hutan menjadi dekonstruktif.
Kita menyambut baik, semua upaya yang dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah negara lain dalam melestarikan hutan. Namun, alih-alih hanya menggantungkan kerja sama dengan negara lain untuk menjaga hutan dan cadangan stok karbon yang ada melalui berbagai kerja sama yang telah terjalin saat ini.
Sejak tahun 2001, sejumlah inisiatif menjaga hutan di Indonesia telah dilakukan antara lain, melalui inisiatif internasional seperti proses Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT); perjanjian bilateral antara Indonesia dan sejumlah pengimpor kayu utama. JUga berbagai instrumen pasar seperti sertifikasi kayu hingga proses skema pembayaran hutan/ karbon seperti REDD dan REDD+.
Namun, upaya ini tidak akan berhasil maksimal jika keadilan sejati belum dilakukan. Jika pemerintah maupun pemda masih berpihak kepada pemilik modal daripada pemberdayaan masyarat setempat, budaya korupsi masih belum dapat dan sulit diberantas serta praktik ekonomi rente masih melekat dalam pengelolaan hutan. Dengan kata lain hukum dan keadilan belum menjadi panglima di negara ini.
Indonesia harus bercermin, bahwa kita dianugerahi negeri unik sebagai negara adidaya kekayaan sumberdaya hayati. Akan lebih bermanfaat jika pengelolaan sumber daya hutan melalui pengelolaan masyarakat dan rehabilitas lahan yang akan membantu masyarakat Indonesia menciptakan peluang pasar baru untuk jasa ekosistem. Demikian pula, sektor bisnis di Indonesia harus membuktikan bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan siap menjadi pemimpin pasar (market leader) untuk hal ini.
Indonesia telah membuktikan, ekonomi mampu bertumbuh dalam kisaran enam sampai tujuh persen per tahun di tengah-tengah krisis ekonomi yang melanda belahan dunia yang lain seperti Eropa dan Amerika Utara. Kita akan menyambut gembira jika pemerintah mampu menciptakan sistem yang kondusif bagi peningkatan nilai tambah produk yang memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan. Tidak semata-mata mengandalkan kepada ekonomi berbasis eksploitasi alam tanpa menimbang kelestarian.
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh The Economics of Ecosystems and Biodiversity, hampir 100 juta penduduk Indonesia bergantung kepada layanan ekosistem bagi hal-hal seperti makanan, udara, air bersih, perumahan dan bahan bakar. Jasa lingkungan jika dihitung adalah dua persen dari total PDB Indonesia, -lebih tinggi dari sektor kehutanan eksploitatif, – dan merupakan 75 persen dari total PDB untuk rumah tangga miskin di Indonesia. Hingga diharapkan mampu menjadi daya ungkit untuk pengentasan kemiskinan di pedesaan.
Dalam kaitan kunjungan Presiden menghadiri KTT Bumi di Rio, mungkin Presiden berkesempatan mempelajari Brazil dari dekat. Sebuah negeri yang pada tahun 2004 merupakan negeri paria, dengan deforestasi tinggi, saat ini mampu mengurangi 75 persen laju kerusakan hutan. Dengan pemanfaatan teknologi dan penegakan hukum yang baik, kini Brazil telah mampu berevolusi menjadi negara yang lepas dari jebakan krisis ekonomi dan menjadi negara dengan perekonomian terkuat di Amerika Selatan.