,

2012 Sudah Lebih 32 Orang Tewas Demi Tambang di Bangka

Penambangan timah sangat parah di Bangka. Korban jiwa dan kerusakan lingkungan terjadi. Dalam tahun 2012 saja lebih dari sudah 32 orang meninggal tertimbun lubang tambang rakyat di Bangka. Guna menyelamatkan masyarakat dan lingkungan di daerah ini, penambangan timah harus dibatasi ketat, terutama di laut, karena berdampak sangat luas.

Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi di Jakarta, Kamis(6/9/12) mengatakan, jumlah tambang inkonvensional atau tambang rakyat di Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan mencapai lebih dari 10.000, melibatkan lebih dari 50.000 warga. Sebagian pelaku tambang timah ini  menambang lokasi-lokasi yang tercakup wilayah milik PT Timah.

“Pemerintah perlu melakukan pembinaan bagi tambang inkonvensional agar tidak lagi mengorbankan jiwa, tidak merusak lingkungan yang mengakibatkan dampak kesulitan air minum karena daerah sumber air  banyak di tambang,” katanya saat rilis mini riset  Walhi tentang tambang di Bangka.

Foto: Walhi Nasional

Pembinaan ini, termasuk memperkenalkan dan mendukung ekonomi alternatif selain pertambangan seperti pertanian lada, perikanan, dan lain-lain. Namun, mengatasi persoalan tambang ini harus menghindarkan cara-cara kekerasan. Tahun 1970-an di Belinyu, Bangka, diperkirakan 500 orang tewas karena “penertiban tambang rakyat” oleh pemerintah Orde Baru.

Beberapa tahun terakhir ini, penambangan mulai terjadi di laut, setelah cadangan timah di darat menipis. Tahun 2011, jumlah tambang rakyat apung di laut mencapai lebih dari 1.000 unit di seluruh wilayah perairan.

Menurut Pius, penambangan ini akan menyebabkan kerusakan langsung terhadap terumbu karang, juga sedimentasi.  “Ikan tinggal di daerah yang memiliki terumbu karang. Akibatnya, tangkapan ikan nelayan berkurang. Mereka harus melaut lebih ke tengah, karena daerah dekat pantai banyak rusak akibat penambangan di laut.”

Tambang di darat. Foto: Walhi Nasional
Beberapa tahun terakhir, tambang timah mulai beralih ke laut. Foto: Walhi Nasional

Semula, nelayan cukup menangkap ikan pada jarak maksimal empat mil laut, kini harus menaruh alat tangkap (bagan) pada jarak hingga 15 mil laut. Kondisi ini membuat biaya operasi penangkapan ikan naik karena perlu bahan bakar lebih banyak. “Juga makin tidak aman karena lebih jauh dari darat, dan berada di daerah perlintasan kapal besar hingga potensi kecelakaan makin besar, dan telah menimbulkan korban jiwa,” ucap Pius.

Kerusakan yang terjadi tak didukung reklamasi yang baik.  Pemeriksaan BPK tahun 2009 menunjukkan, rekalamasi tambang tidak berlajan sebagaimana mestinya.

Audit terhadap PT.Timah menyatakan, pekerjaan reklamasi oleh CV. Dirgantara, rekanan PT.Timah, hanya sejumlah 12.022 pohon atau 38,47 persen hidup dari seharusnya 31.250 batang. Lalu, penggunaan bibit yang masih kecil tidak dapat beradaptasi dengan lahan pasca tambang, tidak memperhatikan posisi lubang tanam, dan  keadaan tanaman tidak sesuai umur tanaman dan tidak sesuai spesifikasi teknis.

Pemeriksaan Bidang K3LH atas pekerjaan PD Mulia Kreasi Utama diketahui, realisasi penanaman hanya 17.469 batang atau 65 persen dari seharusnya 26.875 pohon.

Dengan kondisi ini, Walhi menilai penambangan di laut harus dibatasi pada lokasi ketat. Sebab, limbah tambang di laut berupa logam berat dan sedimentasi bisa mempengaruhi organisme hingga jarak 50 kilometer.

Saat ini, pengawasan pemerintah terhadap penambangan timah di laut sangat lemah. Terlebih pada malam hari, penambangan menggunakan kapal hisap masuk ke dalam kawasan kurang dari dua mil dari pantai.  Padahal kawasan ini banyak terumbu karang.

“Penambangan timah harus dibatasi secara ketat.” Penambangan timah, katanya,  tidak boleh di kawasan perikanan nelayan dan petani. Juga di kawasan-kawasan yang harus dilindungi karena memiliki keragama hayati penting.

“Pembeli timah global, perusahaan tambang, smelter, juga harus memastikan timah yang mereka olah tidak merusak lingkungan dan menyebabkan hilangnya nyawa.” Serta ikut memulihkan lingkungan yang rusak. “Jika tidak, masa depan Bangka, akan kehabisan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan berbahaya bagi kesehatan,” kata Pius.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,