,

Fenomena di Jambi: Habisi Hutannya dan Jual Satwanya

Kondisi hutan Jambi yang terus tergerus dari tahun ke tahun kini diikuti oleh fenomena semakin maraknya perburuan satwa liar untuk diperdagangkan. Seiring dengan habisnya habitat, sejumlah satwa juga menjadi komoditi dagangan yang dinilai menguntungkan di pasar gelap. Dari catatan tribunnews, Jambi seperti diakui sendiri oleh Kepala Seksi Pembalakan Ilegal dan Tumbuhan dan Satwa Wilayah I  BKSDA Jambi, Fahrurozi, merupakan wilayah dengan banyak kasus lolosnya hewan dari tangan petugas akibat ketidaktegasan mereka.

“Banyak hewan seperti harimau, trenggiling, orang hutan, dan satwa lindung lainnya dijual masyarakat keluar provinsi. Dan ini terbukti setelah penjual tersebut ditangkap di provinsi lain. Ini menunjukkan kurangnya keamanan dan pengawasan dari Kepolisian Kehutanan (Polhut) maupun aparat di Jambi,” kata Fahrurrozi.,

Sementara itu, kepada Jambi Independent, Kasat Polisi Hutan (Polhut) Provinsi Jambi, Krismanko Padang mengatakan, volume kerusakan hutan di wilayah Jambi akibat penebangan liar tiap tahunnya mencapai angka 24 ribu hektare lebih. Ini artinya, sekitar 2 persen dari total hutan di Jambi yang mencapai 2 juta hektare. Menurutnya, kondisi hutan Jambi telah mengalami penyusutan cukup drastis. Penyusutan tersebut seluas 767 ribu hektarwe atau sekitar 26,04 persen jika dibandingkan luas hutan pada tahun 1985 yang mencapai 2,9 juta hektare.

Keterkaitan antara menyusutnya luasan hutan dan maraknya perdagangan satwa liar ini semakin jelas, jika melihat data yang ada di lapangan saat ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, setidaknya ada 18 perusahaan yang turut terlibat dalam merusak dan menjarah kayu hutan di wilayah Jambi. Dari 18 perusahaan itu, 13 di antaranya HTI pertukangan (Aktif), 3 HTI pulp (aktif).

Parahnya lagi, ada dua perusahaan yang mendapat izin pengelolaan HTI, tapi berstatus tidak aktif. Diduga perusahaan itu hanya mengambil kayunya saja, lalu pergi dan tidak menjalankan aktivitasnya setelah kayu habis.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Irmansyah, kepada Jambi Independent menjelaskan, kerusakan hutan di Jambi memang sangat parah. Akibat penjarahan, kata dia, hutan di Jambi saat ini diperkirakan hanya tinggal 40-45% saja.

Ia menegaskan, ekspansi hutan oleh perambahan memang cenderung meningkat tiap tahun. Ia mencontohkan, adanya pendudukan lahan Taman Nasional Kerinci Sebelat sebanyak 2.000 kepala keluarga (KK) menjadi bukti. “Ada juga modus penjarahan tersistem. Ada perusahaan yang telah mendapat izin tapi tidak melaksanakan kegiatan di lapangan,” katanya.

Peta Tata Guna Hutan Jambi. Sumber: Departemen Kehutanan RI. Klik untuk memperbesar peta. Desain: Mongabay Indonesia

Meningkatnya penetrasi modal, yang memancing perubahan area hutan menjadi wilayah perkebunan dan tempat tinggal, terus menekan habitat satwa yang ada di Jambi. Dari laporan Tribunnews, salah satu satwa yang dinilai paling menguntungkan untuk dijual adalah trenggiling. “Paling banyak trenggiling. Kita perkirakan di semua kabupaten kemungkinan perbulan 300-500 ekor trenggiling hilang dijarah, dan dijual ke provinsi tetatangg untuk dikirim ke luar negeri,” jelas Kasat Polhut, Krismanko Padang. BKSDA katanya, bukannya tak pernah turun menekan angka perburuan. Namun belum berhasil mengungkap jaringannya.

Kondisi diperparah dengan tiadanya kesadaran warga terkait perlindungan trenggiling. Belum lagi permintaan tinggi, dan iming-iming harga jual trenggiling yang tinggi, khususnya kulit dihargai Rp 500 ribu per kilogram. “Kabarnya, sisik saja bisa dijual Rp 20 ribu per butir. Jadi siapa yang tidak tergiur,” ungkap Krismanko Padang kepada Tribunnews 15 September 2012 silam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,