Penelitian: Pembentukan Kabupaten Baru Musnahkan Hutan Tropis Indonesia

Hari Senin 22 Oktober 2012 silam Dewan Perwakilan Rakyat nampaknya akan meluluskan pembentukan sebuah kabupaten baru di Indonesia, yaitu Kalimantan Utara. Empat kabupaten lain yang masuk pembahasan adalah Pangandaran, Pantai Selatan, Manokwari Selatan, dan Pegunungan Arfak di Papua.  Kendati upaya ini dinilai sebagai langkah untuk meningkatkan otonomi daerah, namun hal ini ternyata dinilai menjadi sebuah langkah yang akan menyulitkan Indonesia untuk menekan laju deforestasi jika kondisi saat ini masih terus berlangsung.

Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang diterbitkan tahun lalu oleh London School of Economics (SE), Massachusetts Intitute of Technology (MIT) dan South Dakota State University (SDSU), yang mengaitkan antara meningkatnya otonomi lokal dengan meningkatnya angka deforestasi antara tahun 1998 hingga 2009. Para peneliti melihat bahwa siklus pemilihan kepala daerah sebagai sumber utama deforestasi ini. Para politisi di wilayah-wilayah yang memiliki hutan tropis, cenderung bergantung secara finansial kepada para penebang hutan, pengembang perkebunan dan para petambang untuk mendanai kampanye mereka. Semakin gencar kampanye, maka semakin besar hutang para politisi kepada para perusak hutan ini.

Kesimpulan ini didapat berdasarkan analisis perubahan tutupan hutan di berbagai ‘zona hutan’ di daerah-daerah kabupaten baru, yang meningkat pesat dari hanya sekitar 291 menjadi 498 sejak gerakan desentralisasi tahun 1998 hingga 2009. Para peneliti menemukan bahwa propinsi yang dipecah ke dalam kabupaten baru meningkatkan insiden deforestasi di propinsi tersebut sekitar 7.8%.

Para peneliti menemukan bahwa pembalakan liar meningkat pada saat kampanye dan proses pilkada berlangsung, namun berkurang drastis setahun setelah pilkada selesai, dan berganti dengan  konversi hutan yang meningkat, untuk pertambangan maupun perkebunan. Perubahan dari pembalakan liar ke penebangan yang legal dinilai sebagai sebuah langkah balas budi dari para kandidat yang menang atas dukungan para pebisnis kehutanan terhadap kampanye dan telah memuluskan langkah mereka ke tampuk kekuasaan.

“Kami menyimpan sebuah ‘siklus penebangan politik’ dimana pemerintah lokal menjadi lebih permisif terhadap pembalakan liar menjelang pilkada,” ungkap peneliti. “Kami menemukan bahwa di wilayah-wilayah yang dilarang dilakukan penebangan meningkat sekitar 42% setahun sebelum pilkada berlangsung…pembalakan liar ini kemudian turun secara drastis sekitar 36% di tahun pemilihan dan tidak diketahui kelanjutannya setelahnya.”

“Di wilayah konversi, kami menemukan kenaikan penebangan sekitar 40% di tahun pemilihan umum dan peningkatan sebesar 57% di tahun berikutnya setelah pemilihan.”

Karena kelas menengah yang relatif kecil dan faktor-faktor lain, pemilu lokal di Indonesia sering didanai oleh orang-orang dan perusahaan yang terkait dengan industri ekstraktif seperti logging, pertambangan, dan pengembangan perkebunan. Hal ini penting karena bupati memegang banyak kekuasaan ketika terkait keputusan tentang lahan apa yang akan digunakan untuk pertanian dan perkebunan, dan apakah pembalakan liar akan ditoleransi.

Lebih luas, temuan ini menunjukkan bahwa jika hubungan antara pemilu dan deforestasi tidak dipatahkan, maka peningkatan unit politik bisa memperburuk tekanan untuk penebangan dan mengkonversi hutan, serta berpotensi melemahkan program pemerintah pusat untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan gambut (REDD +). Kalimantan Utara dan Papua Barat sangat rentan karena kedua daerah mempertahankan tutupan hutan yang cukup besar dan sudah menderita deforestasi.

“Jika program REDD tidak dirancang dengan mempertimbangkan aktor-aktor lokal yang saat ini mendapatkan manfaat besar dari penebangan legal dan ilegal, maka program ini tidak mungkin efektif.”

CITATION: Robin Burgess, Matthew Hansen, Benjamin Olken, Peter Potapov, and Stefanie Sieber. The Political Economy of Deforestation in the Tropics. London School of Economics. January 2011

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,